Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Makan Pakai Tangan Atau Sumpit?
13 Desember 2022 22:55 WIB
Tulisan dari Swara Unsada tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tresna Putra G.
Ditulis pada 4 Agustus 2022
Pernahkah kalian makan menggunakan tangan? Sebagai warga negara Indonesia, umumnya kita mengonsumsi suatu makanan dengan menggunakan tangan. Bahkan untuk sebagian masyarakat mungkin sudah menjadi persepsi yang melekat bahwasanya makan menggunakan tangan melambangkan Indonesia. Lantas, apakah persepsi ini masih bertahan di era globalisasi seperti sekarang?
ADVERTISEMENT
Dalam suatu kesempatan, Prof. Dr. Ir. Murdijati Gardjito menyatakan bahwa makan dengan menggunakan tangan dan jari-jarinya memang merupakan khas Indonesia sampai adanya sendok dan garpu yang dibawa pedagang kolonial Eropa dan Portugis pada sekitar abad 16.
Dampak dari suatu globalisasi salah satunya adalah invasi budaya asing yang menjalar dan memenangkan hati masyarakat. Contoh sederhana dalam aspek ini ialah cara makan dari budaya asing yang kini menjadi lazim untuk dilakukan. Di era digital yang semakin berkembang ini, masyarakat tidak lagi sulit dalam mengakses dan mendekatkan diri dengan budaya-budaya luar yang sebelumnya tidak ada di Indonesia. Ekspansi budaya asing sekarang tidak lagi selalu melalui perdagangan ataupun pariwisata. Hanya dengan memegang gadget masing-masing, setiap individu dapat mendekatkan diri dengan budaya dari luar melalui akses digital. Dengan mudahnya akses dan informasi yang didapat masyarakat terhadap budaya-budaya asing, maka banyak aspek budaya dalam masyarakat yang kini mulai terpengaruh. Contoh kecil dari aspek tersebut adalah budaya cara makan masyarakat yang berkembang dari menggunakan tangan hingga sumpit bahkan untuk makanan sederhana sekalipun.
ADVERTISEMENT
Dalam keseharian, sering kali kita menyaksikan atau bahkan mungkin melakukan sendiri ketika kita memakan kue kukus atau gorengan menggunakan tangan. Seiring perkembangan budaya asing melalui digital ke seluruh lapisan masyarakat, kini tak jarang kita jumpai orang memakan dimsum atau camilan ringan dengan menggunakan sumpit. Sumpit sendiri sudah sejak lama ada di negara kita.
Menurut para ahli, sumpit bahkan sudah ada lebih dahulu dari garpu dan sendok yakni sejak abad ke 14 sudah menyebar ke pelosok Asia termasuk Asia Tenggara. Umumnya kita menggunakan sumpit hanya untuk olahan makanan China atau makanan memanjang seperti mi, kwetiau, dan lain sebagainya. Sumpit memiliki berbagai bentuk berdasarkan negara pelopornya seperti China, Jepang dan Korea.
Namun kini, variasi sumpit juga sudah berkembang di kalangan masyarakat. Bentuk sumpit buatan Korea kini menjadi paling populer penggunaannya. Hal ini mungkin terjadi seiring budaya Korea yang meresap ke hampir seluruh lapisan masyarakat melalui film dan drama Korea yang menjadi tayangan unggulan baik di Indonesia maupun ranah Internasional.
ADVERTISEMENT
Kini masyarakat awam sekalipun mengetahui rasanya mengonsumsi makanan ringan dan kudapan menggunakan sumpit. Setelah penetrasi budaya yang berlangsung melalui media digital, banyak pelaku usaha juga memanfaatkan momentum dengan membuka gerai atau kedai makanan bernuansa Korea berikut dengan menu, bahan dan tata cara makannya. Budaya dan persepsi mengenai makan menggunakan tangan dan jari mungkin masih bertahan untuk kalangan-kalangan tertentu, tetapi kita tidak bisa menutup mata bahwa praktis dan mudahnya masyarakat dalam mempelajari budaya asing seperti sumpit juga bisa saja mendominasi aspek budaya lainnya.
Hal ini terkesan sederhana, perihal urusan tata cara makan yang menjadi budaya tergeser oleh tren dalam waktu yang cukup singkat. Memang sulit jika harus mempertanyakan bagaimana cara menanggulanginya karena kita hidup di era globalisasi dimana pelaku ekonomi dengan aturan pasar bebas dapat melakukan apapun selama itu tidak menyalahi aturan.
ADVERTISEMENT
Seakan memudarnya budaya makan menggunakan tangan belum cukup, beberapa kalangan anak muda kini mulai menanggapi hal tersebut dengan istilah “barbar” atau bahkan memberi stigma kampung terhadap budaya makan menggunakan tangan dan jari. Padahal tidak ada standar cara makan tertentu yang menjadi acuan masyarakat itu tertinggal atau tidak.
Masalah degradasi budaya dalam cakupan lebih luas mungkin saja terjadi. Jauh lebih berdampak dibanding sekadar budaya cara makan kita yang terkesan sepele, tetapi berdampak terhadap pudarnya suatu identitas bangsa.
Pergeseran budaya asing yang masuk sudah seharusnya menjadi perhatian pemerintah khususnya Kemendikbud. Dengan kapasitas dan kuasa yang dimiliki Kemendikbud, sudah seharusnya melakukan filtrasi terhadap budaya-budaya asing yang masuk ke Indonesia untuk agar kemudian dapat bersifat kolaboratif dengan budaya lokal yang sudah ada sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Hal ini penting, karena dengan demikian masyarakat akan tetap mampu menerima budaya asing yang masuk tanpa menghilangkan norma-norma dan nilai kebudayaan yang melekat sebelumnya. Bagaimanapun juga, dampak globalisasi tentu saja memiliki aspek positif dan baik jika dinilai dari sudut pandang tertentu. Menjadi tugas kita bersama untuk menjaga budaya agar tetap harmonis meskipun menghadapi invasi budaya asing.
Bahasan mengenai cara makan menggunakan tangan dan sumpit ini hanya sebuah gambaran dalam aspek yang sangat kecil dan lingkup yang sempit. Jika dikaji lebih jauh, kita akan menemukan hal-hal yang lebih besar di dalamnya. Tentu saja jauh lebih darurat, lebih bahaya, dan jelas lebih berdampak terhadap nilai-nilai budaya sebagai salah satu identitas bangsa kita. Degradasi budaya ini bisa saja mencakup hal yang lebih besar seperti penggunaan bahasa. Sudah sering kita jumpai dalam berbagai situasi di lapangan, orang sudah lebih sering berkata “okay” daripada “baiklah” dan atau lebih sering mengucapkan “thanks” daripada “terima kasih”. Pemerintah harus mencanangkan program tentang betapa indahnya dan patut disanjungnya budaya yang kita miliki.
ADVERTISEMENT
Pemerintah tidak akan pernah menang melawan rasa keingintahuan dari masing-masing individu. Seiring perkembangan iptek yang melaju pesat, inovasi pemerintah dalam melakukan kalkulasi dan kajian terhadap perlindungan budaya juga harus ditingkatkan. Karena menyukai suatu budaya tertentu adalah hak dari setiap masyarakat, namun perlu ditekankan bahwasanya menjaga kelestarian budaya juga adalah kewajiban bersama sebagai masyarakat Indonesia.
Patut diingat, budaya asing masuk ke negara kita tanpa membayar pajak ataupun melalui perizinan seperti dunia perdagangan atau industri impor atau ekspor. Budaya asing hadir melakukan penetrasi dengan gratis dan bahkan kita cari dengan sendirinya tanpa paksaan. Seiring perkembangan media digital yang tidak terbendung, bukan tidak mungkin pergeseran budaya ini menjalar lebih banyak dan bahkan mampu menghilangkan beberapa nilai-nilai adat, sosial dan budaya lokal yang ada di negara kita.
ADVERTISEMENT
Para pemuda di negara ini harus diberikan pemahaman yang lebih tajam dan tegas bahwasanya mencintai budaya sendiri bukanlah sesuatu yang memalukan. Dan nilai-nilai budaya kita sama tinggi derajatnya dengan budaya asing yang diagungkan oleh masyarakat aslinya. Selama diseminasi dari pemerintah berjalan dengan baik, memungkinkan adanya masyarakat yang sadar dan paham tentang degradasi budaya ini.
Apersepsi kaum muda harus diarahkan untuk selalu bangga dengan budaya yang dimiliki oleh bangsa ini. Bahkan dimulai dari hal sederhana seperti budaya cara makan menggunakan tangan dan jari. Semoga dalam waktu mendatang aspek ini mendapat perhatian lebih banyak dan menjadi pemicu masyarakat yang sadar budaya.