Cerita di Balik Razia Polisi

syarifudin taufiq
sangat ingin menulis tentang sepakbola
Konten dari Pengguna
10 Mei 2017 14:47 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari syarifudin taufiq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Polisi tengah melakukan razia rutin untuk menertibkan pengendara sepeda motor di Jakarta. Sebagian besar dari mereka ditilang karena melanggar peraturan lalu lintas. (Foto: Aditya Noviansyah)
Dengan berat hati cerita ini harus saya tulis, untuk jajaran kepolisian Indonesia khususnya kepolisian Wates, Yogyakarta. Kurun waktu dua hari ini setelah saya masih merasa kecewa dengan tindakan kepolisian Wates ketika melakukan razia di jalan Wates menuju Purworejo.
ADVERTISEMENT
Kejadian ini berlangsung hari Senin, 8 Mei 2017 sekitar pukul sembilan waktu setempat. Ketika itu saya dengan teman saya akan berangkat menuju Temon untuk melanjutkan riset dan pembuatan film dokumenter di sana. Pada saat perjalanan kami terkena razia, lalu teman saya yang menyetir motor sedikit kaget karena baru sadar hanya membawa SIM tanpa STNK, lalu apa boleh buat akhirnya teman saya terkena tilang.
Saat penilangan berlangsung, teman saya disuruh mengikuti polisi yang membawa surat tilang. Di sana sudah terparkir dua mobil polisi dengan jarak sekitar lima meter berhadapan. Teman saya dengan santai mengikuti polisi ke arah mobil sebelah selatan mobil satunya. Di sana teman saya ditanyai kenapa tidak membawa STNK, dari mana, mau kemana, apa keperluannya, hingga nama. Teman saya hanya menjawab singkat seadanya hal-hal yang ditanyakan polisi itu. Tidak lama teman saya disuruh untuk menuju ke arah mobil satunya dan polisi itu memberikan surat tilang ke polisi lain yang berada di mobil sebelah utara.
ADVERTISEMENT
Sudah selesai surat tilang dibuat teman saya disuruh untuk menandatangani surat tilang itu, kemudian polisi itu meminta untuk teman saya pulang dan membawa STNK di rumah sebelum melanjutkan perjalanan. Sontak kami bingung. Padahal teman saya sudah mendapat surat tilang dan SIM sudah ditahan. Lalu, kami tanyakan, kalau begitu kami tidak perlu dapat surat tilang jika kami pulang ke rumah dan membawa STNK. Setelah percakapan yang muter-muter dan cukup panjang, akhirnya polisi tetap meminta untuk membawa STNK dan saya tetap di TKP. Tanpa pikir panjang karena waktu terbuang sia-sia di sana, teman saya pun menuruti perintah dari polisi itu.
Karena merasa bosan menunggu, saya mengamati tingkah dan ucapan polisi yang sedang menilang di kedua mobil yang bersebrangan itu. Setelah beberapa orang terkena tilang, ternyata pola licik yang polisi lakukan terlihat. Jadi, ketika orang baru datang dan akan diberi surat tilang, mereka diarahkan ke arah mobil sebelah selatan, di sana sudah menunggu dua orang polisi dengan surat tilanggnya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Lalu, merekan ditanyai, jika orang itu menjawab dengan singkat seadanya, maka orang itu akan dipindahkan ke arah mobil sebelah utara. Lain halnya jika orang itu menjawab panjang lebar meminta keringanan atau apalah supaya mereka tidak ditilang saat itu, mereka akan tetap di mobil sebelah selatan.
Saya berdiri diantara kedua mobil itu tidak sengaja mendengar percakapan dari mobil arah selatan, polisi itu menanyakan, jika ingin diurus di sini polisi bisa memberikan "jasa" dengan syarat orang yang ditilang memberikan uang dengan nominal yang diinginkan polisi. Berulang-ulang polisi itu mengatakan "jasa" untuk mengurus tilangan mereka di pengadilan. Akhirnya, mereka tidak perlu untuk repot-repot terkena tilang pada saat itu. Pada saat itu pula saya mendapati satu orang yang memberikan uang 50 ribu kepada polisi dengan langsung menyelipkan ke dalam buku tilang.
ADVERTISEMENT
Sekitar 10 menit saya berdiri di situ dengan sesekali memainkan handphone. Akhirnya saya ditegur oleh polisi yang berjarak cukup jauh dari mobil ketika menyalakan kamera. Ditanyailah saya dengan pertanyaan "kamu lagi ngapain?", "sudah ditilang?" "lalu, kenapa kamu masih di sini?". Setelah itu saya disuruh untuk tidak berdiri di sekitar situ, dengan nada keras dan memaksa polisi itu menyuruh saya agar cepat pindah. Lalu, saya tidak mau karena saya inginnya di situ, apa salahnya? Teman saya sudah ditilang dan disuruh mengambil STNK tapi saya suruh menunggu di situ, ya saya lakukan. Menunggu!
Datanglah polisi yang terlihat lebih tua dari polisi-polisi lainnya. Dia mendekati saya dan menarik kasar baju bagian dada meyuruh untuk cepat berpindah dari situ. Berkali-kali saya tetap tidak mau, dan akhirnya saya berkata dalam bahasa Jawa Kromo, "Mboten sah kasar-kasar, Pak! Salah kulo niku nopo?" (tidak perlu kasar-kasar, Pak! salah saya apa?).
ADVERTISEMENT
Polisi itu hanya menjawab "Jangan berdiri di situ!, pindah sebelah sana!". Karena saya tidak mau saya berusaha untuk balik lagi ke tempat saya berdiri, tapi polisi itu berkali kali menyeret saya. Akhirnya datang tiga polisi sekaligus mendekati mengeroyok saya dengan pertanyaan dan suruhan untuk tidak berdiri di sana.
Apa boleh buat, akhirnya saya dengan sedikit gemetar menuruti mereka, dan satu polisi berusaha berdialog menggunakan bahasa yang lebih halus, menanyai hal yang sama berulang ulang, sengaja agar saya sibuk dengannya dan tidak kembali ke tempat saya berdiri. Muak dengan pertanyaan yang mengira saya tidak paham dengan apa yang harus dibawa ketika berkendara dan bahkan tidak ada hubungannya sama sekali dengan saya berdiri di antara dua mobil polisi tadi. Saya hanya menjawab singkat "ya", tapi polisi itu masih tetap mengajak saya berdialog sambil sesekali terbata-bata.
ADVERTISEMENT
Tidak lama, teman saya datang dan mengajak untuk langsung melanjutkan perjalanan, lalu polisi itu langsung menyalami saya dan mengucapkan, "Selamat melanjutkan perjalanan dan hati-hati di jalan"