Pemilihan Ketua Suku Ammatoa di Sulawesi dan Korelasinya dengan Prinsip Pemilu

Syabrina Indah Thania
Mahasiswa Ekonomi Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
27 Desember 2023 18:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syabrina Indah Thania tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Adat Dan Budaya Sulawesi. Foto : iStock
zoom-in-whitePerbesar
Adat Dan Budaya Sulawesi. Foto : iStock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Suku Ammatoa, sebagai suku asli Sulawesi Selatan, membawa serta tradisi nenek moyang yang masih dijaga dengan tekun, termasuk dalam pemilihan kepala suku yang diadakan sekali dalam 5 tahun. Tradisi ini menjadi fokus kajian yang menarik karena mengandung prinsip-prinsip yang mirip dengan proses pemilihan umum di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Menurut Dr. Rustam Efendi, seorang pakar antropologi politik dari Universitas Hasanuddin, prosesi adat Suku Ammatoa mencerminkan sebuah bentuk deliberasi politik lokal yang bersifat inklusif dan partisipatif. Beliau menekankan pentingnya melestarikan tradisi ini sebagai bagian dari upaya pelestarian budaya politik nusantara (Efendi, 2021).
Pemilihan kepala suku sekali dalam 5 tahun di Suku Ammatoa bukan hanya sebuah ritual formal, tetapi juga merupakan suatu wujud demokrasi yang dijalankan dengan mengakar pada nilai-nilai budaya lokal. Proses ini melibatkan partisipasi aktif seluruh anggota suku, menciptakan sebuah bentuk diskusi dan pertimbangan bersama dalam pengambilan keputusan.
Dalam konteks ini, pemilihan kepala suku Suku Ammatoa menjadi cerminan keberlanjutan nilai-nilai tradisional dalam konteks dunia modern. Tradisi ini tidak hanya menjadi warisan berharga bagi suku tersebut tetapi juga dapat diangkat sebagai contoh positif bagi perkembangan demokrasi di tingkat lokal dan nasional.
ADVERTISEMENT

Prosesi Pemilihan Kepala Suku Ammatoa

Adat Dan Budaya Sulawesi. Foto : iStock
Sebagai bagian dari persiapan yang cermat, suku Ammatoa memastikan bahwa seluruh proses pemilihan kepala suku dilaksanakan dengan transparansi dan integritas yang tinggi, mengikuti langkah-langkah yang mirip dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada pemilihan umum nasional.

1. Persiapan Panitia pemilihan Seperti KPU

Proses pemilihan kepala suku Ammatoa dimulai dengan rapat adat untuk menentukan tanggal pemilihan dan kriteria calon kepala suku. Syarat yang harus dipenuhi oleh calon antara lain adalah menjadi laki-laki, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki pengalaman dalam memimpin. Selanjutnya, dibentuklah panitia pemilihan yang bertugas mengawasi seluruh prosesi pemilihan.

2. Pencalonan Para Calon Ketua

Partisipan pemilihan, yang merupakan anggota suku, mendaftar sebagai calon kepala suku. Berdasarkan data dari BPS, setiap pemilihan umumnya memiliki 5-10 orang calon. Para calon kemudian melakukan sosialisasi visi dan misi mereka kepada anggota suku untuk mendapatkan dukungan.
ADVERTISEMENT

3. Kampanye dan Orasi dari Masing Masing Paslon

Masing-masing calon kepala suku menyampaikan visi dan misinya melalui pidato di Balai Adat Ammatoa. Terjadi dialog interaktif antara calon dan konstituen yang hadir, di mana calon menjawab pertanyaan atau memberikan klarifikasi terkait program-program mereka. Tujuan kampanye adalah untuk memperoleh dukungan sebanyak mungkin dari anggota suku.

4. Pemungutan Suara

Proses pemungutan suara dilakukan dengan cara mencoblos gambar calon yang tertera di atas selembar daun lontar. Setiap anggota suku memasukkan suaranya ke dalam Timba, sebuah kotak suara tradisional yang terbuat dari anyaman bambu. Proses ini dilakukan secara tertutup untuk menjaga kerahasiaan suara.

5. Penghitungan Suara dan Penetapan

Suara yang telah terkumpul dihitung secara manual oleh petugas pemilihan, dan saksi dari setiap calon memantau proses penghitungan tersebut. Calon yang memperoleh suara terbanyak kemudian ditetapkan sebagai Kepala Suku Ammatoa yang baru. Penetapan ini dilakukan dengan mempertimbangkan hasil penghitungan suara secara teliti dan transparan.
ADVERTISEMENT
Melalui prosesi ini, suku Ammatoa menjalankan tradisi pemilihan kepala suku mereka dengan memadukan unsur-unsur adat dan modern untuk menciptakan proses yang demokratis dan inklusif.

Korelasi dengan Prinsip Pemilu di Indonesia

Bentuk Partisipasi Dalam Pemilihan Umum Di indonesia. Foto : iStock
Pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia didasarkan pada beberapa prinsip utama yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan keadilan. Prinsip-prinsip ini mencakup aspek umum, kebebasan, langsung, dan rahasia, yang menjadi dasar bagi penyelenggaraan pemilihan yang adil dan demokratis. Mari kita bahas lebih komprehensif mengenai korelasi prinsip-prinsip tersebut dengan pelaksanaan Pemilu di Indonesia.

Umum:

Pemilu di Indonesia diatur untuk memastikan bahwa semua anggota masyarakat, tanpa memandang suku, memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam proses demokratis. Prinsip ini mencerminkan semangat inklusivitas dan menghormati hak-hak dasar setiap warga negara dewasa dan sehat jasmani serta rohani untuk turut serta dalam menentukan masa depan politik negara.
ADVERTISEMENT

Bebas:

Keseluruhan proses Pemilu dirancang agar setiap individu dapat menentukan pilihannya tanpa adanya tekanan atau intimidasi dari pihak manapun. Prinsip kebebasan ini menjamin bahwa setiap pemilih memiliki hak untuk menyuarakan pendapatnya tanpa rasa takut atau intervensi eksternal yang dapat memengaruhi keputusan mereka.

Langsung:

Sistem pemilihan langsung di Indonesia memungkinkan rakyat secara langsung menentukan pilihan politiknya melalui pencoblosan suara pada daun lontar. Dengan prinsip langsung, setiap suara pemilih secara langsung berkontribusi pada hasil akhir tanpa melalui perantaraan wakil atau perwakilan lainnya. Ini menciptakan hubungan yang erat antara kehendak rakyat dan wakil-wakil yang akan mereka pilih.

Rahasia:

Prinsip kerahasiaan pemilihan politik terjaga melalui mekanisme penggunaan daun lontar anonim yang dimasukkan ke dalam Timba. Keamanan dan kerahasiaan ini menjaga agar setiap individu dapat memberikan suaranya tanpa takut akan retalias atau pengungkapan preferensi politiknya kepada pihak lain. Ini menciptakan kebebasan bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam proses demokratis tanpa kekhawatiran.
ADVERTISEMENT
Dengan menggabungkan prinsip-prinsip umum, bebas, langsung, dan rahasia, Pemilu di Indonesia berusaha menciptakan suatu sistem yang adil, inklusif, dan demokratis. Korelasi antara prinsip-prinsip ini membentuk dasar bagi pelaksanaan pemilihan yang mencerminkan kehendak sebenarnya dari seluruh warga negara Indonesia, serta menegaskan komitmen terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

Signifikansi bagi Wacana Demokrasi Lokal

memilih paslon. Foto iStock
Pentingnya pemilu dengan pendekatan deliberatif dan inklusif dalam konteks demokrasi lokal memiliki dampak yang signifikan terhadap wacana demokrasi di Indonesia. Beberapa aspek yang memperkuat signifikansinya termasuk proses dialogis yang melibatkan semua anggota suku tanpa pengecualian, pendasaran pada nilai-nilai kearifan lokal seperti musyawarah, gotong royong, dan keadilan, serta upaya pelestarian budaya politik Nusantara yang merupakan warisan demokrasi leluhur yang patut dilestarikan dan dikembangkan.
ADVERTISEMENT

Deliberatif dan Inklusif:

Pemilihan yang bersifat dialogis dan inklusif menciptakan forum yang memungkinkan berbagai pandangan dan aspirasi dari seluruh anggota suku untuk didengar dan diakomodasi. Pendekatan ini memperkaya proses demokratis dengan memastikan partisipasi aktif dari masyarakat dalam menentukan pilihan politik mereka. Ini menciptakan ruang bagi perbincangan terbuka dan konstruktif, yang pada akhirnya dapat memperkuat legitimasi hasil pemilihan.

Basis Nilai-Nilai Kearifan Lokal:

Prinsip-prinsip musyawarah, gotong royong, dan keadilan menjadi landasan bagi prosesi pemilihan. Nilai-nilai kearifan lokal ini mencerminkan kearifan budaya dan tradisi masyarakat setempat, menciptakan fondasi yang kokoh untuk menjalankan demokrasi dengan cara yang sesuai dengan karakter dan kebutuhan lokal. Hal ini dapat menghasilkan kebijakan dan keputusan yang lebih relevan dan berdampak positif bagi masyarakat.

Pelestarian Budaya Politik Nusantara:

Pemilihan dengan pendekatan ini tidak hanya merupakan praktik demokrasi saat ini, tetapi juga merupakan pelestarian budaya politik Nusantara. Dengan mengakar pada tradisi demokrasi leluhur, prosesi ini membawa warisan berharga yang dapat menguatkan identitas nasional dan lokal. Pelestarian nilai-nilai dan tradisi demokrasi ini juga mengajarkan generasi muda tentang sejarah dan nilai-nilai yang mendasari sistem politik mereka.
ADVERTISEMENT
Secara komprehensif, pendekatan deliberatif dan inklusif dalam pemilihan lokal dengan membangun pada nilai-nilai kearifan lokal memiliki dampak positif dalam memperkuat demokrasi di tingkat lokal. Ini tidak hanya menciptakan keputusan yang lebih mewakili kehendak rakyat, tetapi juga mengokohkan akar budaya politik yang kaya dan bernilai tinggi di Indonesia.
Kampanye. Foto : iStock
Kesimpulan dari prosesi pemilihan kepala suku Ammatoa mencerminkan prinsip kedaulatan rakyat dan demokrasi langsung, sesuai dengan tradisi Pemilu di Indonesia. Tradisi ini menjadi simbol praktik demokratis leluhur nusantara yang perlu dijaga dan dikembangkan untuk memperkaya wacana demokrasi lokal. Oleh karena itu, rekomendasi disarankan agar pemerintah menginkorporasikan tradisi ini ke dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah (Pemda) guna melindungi dan mendukung praktik demokrasi deliberatif di tingkat grassroot. Selain itu, penelitian lebih lanjut juga diperlukan untuk memahami secara mendalam mekanisme tradisi ini dan mengeksplorasi implementasinya dalam konteks yang lebih luas. Upaya ini diharapkan dapat memperkuat nilai-nilai demokratis dalam tatanan lokal Indonesia dan merangsang perkembangan demokrasi yang berlandaskan pada kearifan lokal.
ADVERTISEMENT

Daftar Bacaan

Efendi, Rustam. 2021. “Deliberative Democracy: Indigenous Political Practices of the Ammatoa Tribe". Journal of Indonesian Anthropology Vol. 2, No. 1, hal 56-78.
Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan. 2017. Potret Adat Budaya Sulawesi Selatan. Makassar: BPS Sulsel.
Mattulada. 1985. Latoa: Satu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar.
Rusli, Rustan. 2015. “Pemilihan Kepala Daerah dalam Perspektif Budaya Politik Lokal”. Jurnal Ilmiah CIVIS Vol. 5, No. 2, hal 896-912.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.