Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Dinamika Kebijakan Tanah Kolonial dan Pemberontakan di Cikande 1845
20 Januari 2025 15:32 WIB
·
waktu baca 13 menitTulisan dari Syadila Auliyah Al-Muzakiyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pendahuluan
Pembahasan mengenai dinamika sistem kepemilikan tanah dan pengelolaan masyarakat di Cikande pada abad ke-19 memberikan gambaran kompleksitas interaksi antara kebijakan kolonial, adat lokal, dan perlawanan masyarakat. Artikel ini mengupas peristiwa-peristiwa historis yang melibatkan konflik agraria, kebijakan pemerintah kolonial Belanda, dan pemberontakan masyarakat yang dipicu oleh ketidakadilan sistem pajak dan kepemilikan tanah.
ADVERTISEMENT
Topik ini relevan karena menggambarkan bagaimana kebijakan yang tidak memperhatikan kondisi sosial dan budaya setempat dapat memicu gejolak, sekaligus menunjukkan peran masyarakat dalam mempertahankan hak-haknya. Dengan memanfaatkan catatan sejarah tentang Tjikandi, artikel ini bertujuan untuk memahami dampak kebijakan kolonial terhadap masyarakat lokal serta pembelajaran dari dinamika tersebut bagi kebijakan modern.
Pembahasan
Menurut Dr. S. Ottow, Perjanjian 1814 mengembalikan Jawa ke Belanda, dengan Raja yang berdaulat menetapkan aturan administrasi melalui Reglement van Regering 1815. Elout, Komisaris Jenderal, mengedepankan prinsip kebebasan dalam kebijakannya. Van Hogendorp mendukung hak atas tanah bagi kolonis, sementara Daendels dan Raffles berpendapat bahwa tanah di Jawa dikuasai pemerintah. Raffles menerapkan Domeinrecht, namun kebijakannya merugikan negara. Elout mendukung pemberian hak kepemilikan tanah kepada siapa saja yang memenuhi syarat. kemudian klaim kepemilikan tanah Cikande oleh Le Marchand berdasarkan janji Residen Inggris rumit karena tanah sudah dihuni. Sistem sewa tanah lebih manusiawi daripada sistem paksa, tetapi sulit diterapkan. Vander Capellen memilih mempertahankan sistem Preanger yang lebih stabil finansial. Nasihat Muntinghe pada 1817 menjadi dasar pemberian tanah Cikande. Pada 1818, Komisi Jenderal mempertahankan sistem sewa tanah dengan beberapa perubahan. Dilema muncul antara sistem Preanger, sewa tanah, dan pemberian tanah swasta, yang dipengaruhi oleh ide liberal Eropa, namun pemberian tanah swasta menghadapi resistensi lokal.
ADVERTISEMENT
Sejak kedatangan Komisi Jenderal, hak atas tanah Cikande terbagi antara dua kelompok asing: satu mengklaim Cikande Udik dan lainnya Cikande Ilir. Pada Januari 1819, sebelum Komisi Jenderal dibubarkan, diputuskan bahwa tanah tersebut akan diberikan dengan luas yang wajar dan syarat-syarat yang mempertimbangkan kepentingan para pemohon serta kebutuhan tanah itu sendiri. Vander Capellen menawarkan hak milik bebas atas Cikande Ilir pada 1820, menghapus klaim feodal dan Pemohon Cikande Udik menerima hak milik pada 1822 setelah tenggat waktu diperpanjang, meskipun ada keluhan terkait beban keuangan. Sedangkan Pengusaha mengklaim hak atas tanah yang dijanjikan pada 1816 dan meminta kompensasi untuk tanah yang dibuka penduduk setelahnya. Namun, pemerintah lebih mendukung hak penduduk lokal, menyatakan klaim pengusaha tidak berdasar.
ADVERTISEMENT
Menurut J. Faes, Tanah Cikande Ilir diserahkan kepada John Palmer pada 11 Desember 1828 pemilik akta, dan tanah Cikande Udik kepada Trail & Co. pada 15 Mei 1833, dengan pajak satu per lima hasil panen, sesuai Staatsblad 1817 No. 43 dan Artikel 10 Staatsblad 1836 No. 19 tidak berlaku untuk kedua tanah tersebut. Pada 13 November 1828, Tanah Tjikandi Ilir diserahkan kepada John Palmer dengan harga f 70.000, mencakup wilayah di Residensi Banten oleh komisaris jenderal. Penyerahan ini memberikan hak milik bebas, dikenakan pajak verponding, dan pajak lainnya yang mungkin berlaku. Masyarakat Cikande mengelola sawah secara turun-temurun setelah pemerintahan Sultan, namun klaim mereka atas tanah ditentang oleh Residen Banten. Pada 1867, mereka mengklaim hak turun-temurun meskipun tidak ada bukti sah dari masa Sultan. Undang-Undang Negara 1870 No. 118 dan 1874 No. 79 mengatur pengalihan tanah, membebaskan pemilik tanah dari pajak verponding, dan mewajibkan pembeli menanggung biaya administrasi serta melakukan pengukuran tanah yang diserahkan dalam waktu tiga bulan. Proses ini harus didokumentasikan dengan akta resmi.
ADVERTISEMENT
Dalam buku Over De Reorganisatie Van Het Bestuurstoezicht Over De Particuliere Landerijen Bewesten D E Tjimanoek, Pada 23 Oktober 1867, Tuan F.B. Aser, pemilik tanah Cikande Udik, mengajukan keluhan terkait pengangkatan kepala kampung dan kepala desa. Aser berpendapat bahwa pemilik tanah seharusnya memiliki kewenangan untuk memilih dan memberhentikan kepala desa, meskipun keputusan pemberhentian tetap berada pada Residen. Van Bloemen Waanders mendukung pemilik tanah mengangkat kepala desa dengan persetujuan penduduk, sedangkan Jaksa Agung mendukung hak penduduk untuk memilih kepala desa dengan persetujuan pemilik tanah, dengan keputusan akhir oleh Residen. Laporan Kontrolir Valck mendukung fleksibilitas pengangkatan kepala desa.
Penduduk Cikande memiliki hak atas wilayah yang ditempati, meskipun batasnya tidak jelas. Penguasaan tanah oleh pemukiman melampaui batas yang disepakati. Pemilihan kepala desa di tanah partikelir dapat merugikan pemilik tanah karena kepala desa mewakili kepentingan pemilik. Pasal 54 mengatur bahwa kepala desa dapat diganti jika tidak layak atau tidak menjalankan tugasnya, terutama soal keamanan. Pemilik tanah wajib mengganti jika diminta oleh Pemerintah Daerah, dan jika tidak, Pemerintah Daerah dapat melakukannya tanpa melibatkan pemilik tanah. Praktik ini diterapkan di tanah partikelir lainnya tanpa masalah selama sesuai aturan. Pasal 53 Staatsblad 1836 No. 19 memberi pemilik tanah di Cikande Udik hak untuk menunjuk dan memberhentikan kepala desa dengan persetujuan pemerintah. Jika tidak, pemerintah dapat mengangkat kepala desa. Ketegangan antara pemilik tanah dan Pemerintah Bantam mendorong usulan perubahan pasal ini. Pada 23 Oktober 1868, Dewan Hindia Belanda memutuskan bahwa pemilihan kepala desa di tanah partikelir seperti Cikande Udik adalah urusan hukum publik, bukan privat. Pemerintah kemudian mengarahkan Residen Bantam untuk melaksanakan perubahan sesuai dengan Staatsblad 1836 No. 19 pada 6 Desember 1868.
ADVERTISEMENT
Menurut Dr. W. R. Van Hoëvell, Tuan S. J. Kamphuis, pemilik tanah Cikande Udik, dikenal baik hati dan tidak memberatkan penduduk, yang hanya bekerja sekali setiap sepuluh hari dengan imbalan beras. Berbeda dengan Tuan R., yang sukses mengembangkan tanahnya. Administrator Kamphuis, Tuan P. Allen, berusaha meningkatkan produktivitas dengan menetapkan pajak baru berdasarkan hasil panen padi, yang harus dibayar saat atau sebelum panen. Upaya ini meningkatkan produktivitas meskipun menimbulkan tantangan bagi penduduk.
Pada 1845, pajak di Cikande Udik diubah menjadi sistem berdasarkan luas tanah dan hasil panen, memaksa petani menanggung risiko penuh. Penerapan yang mendadak dan kaku menyebabkan keluhan karena pajak tinggi tanpa toleransi, membuat beberapa petani terpaksa menjual barang untuk membayar pajak. Kebijakan ini dianggap memberatkan dan tidak mempertimbangkan kondisi di lapangan. Pada 1845 juga, kebijakan pajak baru yang membebankan risiko hasil panen pada petani menyebabkan keresahan, diperburuk oleh kelangkaan beras. Amier dari Bajoekoe terpaksa menjual kerbaunya untuk membayar pajak dan disarankan untuk meninggalkan tanah. Ketidakpuasan ini mendorong Amier menghubungi Bapa Sarientan, yang menyarankan solusi melalui kekuatan. Bapa Sarientan meyakinkan Amier bahwa kekerasan adalah cara melawan penindasan, dan bersama merencanakan pembunuhan terhadap para penindas. Setelah lima bulan persiapan, Sarientan kembali pada September 1845 dengan Kiai Gede dan pengikutnya. Mereka memastikan Amier bergabung, dengan dukungan Mas Oebied dan melibatkan desa Kollé, Pamarajang, serta Maroep dengan 100 orang bersenjata, memperkuat rencana pemberontakan.
ADVERTISEMENT
Pada 11 Desember 1845, Amier dan Bapa Sarientan mengunjungi makam Kiai Santri di Kollé, bertemu dengan Kiai Gede, Mas Oebied, dan lainnya, serta melakukan ritual penghormatan. Mereka memutuskan untuk memulai pemberontakan pada malam 12-13 Desember, dengan titik kumpul di dekat desa Krio. Amier mengirim pesan kepada Maroep, yang berjanji membawa 100 orang bersenjata. Pada malam yang ditentukan, Amier, Sarientan, dan kelompok pemberontak menyerang rumah administrasi P. dan Kamphuis, membunuh Kamphuis dan keluarganya. Namun, Sarientan berhasil menyelamatkan tiga anak Kamphuis, menyembunyikan mereka di lumbung padi. Peristiwa ini menggambarkan kekejaman pemberontakan dan usaha Sarientan untuk melindungi anak-anak tersebut. Pada pagi hari, pemberontak membunuh mandor Viering dan pengawas de Puisseau, membuang mayat mereka ke sungai. Istri dan anak-anak Viering tewas, sementara pelayan Eropa melarikan diri ke Tangerang. Pemberontak bersiap melawan setelah menyadari akibat tindakan mereka. Lonceng berbunyi sebagai sinyal pengumpulan orang, dan Tuan R. melarikan diri ke Tanara dengan bantuan kepala mandornya, Djamioen, yang bergabung dengan pemberontak.
ADVERTISEMENT
Pada 13 Desember, setelah perampok menyerang rumah besar di Tjikandi, Ralie mengirim berita ke demang di Onder-Andir, yang diteruskan ke Resident Banten. Kemudian Resident berangkat dengan pasukan, namun diserang oleh 300-400 pemberontak, dan Kepala Pengawas Zillesen terluka. Resident mundur, mengamankan penyeberangan sungai, menempatkan detasemen, dan meminta penduduk setempat berpatroli. Sebelum berangkat dari Serang, Resident mempersiapkan pasukan dan senjata, mengirim Regent Serang untuk menghalangi pergerakan ke Serang dan Pandeglang, serta meningkatkan kewaspadaan. Pemerintah Eropa diminta memperkuat pertahanan, sementara penduduk Pulau Panjang dan pasukan tambahan dari Serang dan Anyer diminta bergabung. Resident juga memblokir jalur komunikasi, menguasai transportasi sungai, dan menempatkan dua kapal untuk menjaga gudang negara.
Laporan yang diterima Resident tentang rencana kerusuhan terbukti benar. Pembunuhan di Tjikandi terkait dengan pemberontakan yang lebih besar, dimulai dari Tjikandi dan meluas ke Tanara, Pandeglang, Jakarta, dan Bogor. Kelompok pemberontak, dipimpin oleh Djaïroen, mantan kepala polisi yang ingin membalas dendam, juga melibatkan pemimpin lain seperti Mas Anom, Mas Djebeng, dan Kiai Goesti Sepoe. Mereka menggunakan nama-nama ini untuk menakut-nakuti rakyat dan tokoh terpelajar.
ADVERTISEMENT
Setiap pribumi sering memakai djimat (talisman) yang dipercaya memberikan perlindungan dan membuat pemakainya kebal, terutama jika diberkati nenek moyang, seperti pada Amier yang dianggap kebal karena noda hitam di tubuhnya. Djiemat juga dapat digunakan untuk memaksa pengakuan kesalahan.
Resident menerima laporan tentang pemberontak berjumlah 600 orang, dipimpin oleh anak-anak Mas Djakaria dan diduga melibatkan orang Tionghoa, meskipun laporan ini dianggap berlebihan. Resident melaporkan pemberontakan yang berkembang pesat, dari kelompok kecil menjadi 600 orang dan berpotensi ribuan. Tanara, dengan hanya 14 pasukan, terancam jatuh, dan wilayah lainnya juga terancam. Resident khawatir pemerintah akan kehilangan kepercayaan rakyat jika tidak segera bertindak, sehingga langkah cepat diperlukan.
Operasi militer dianggap aman karena pemberontak tidak memiliki senjata api. Jalur menuju Cikande Udik menguntungkan, dan posisi di Sungai Onder-Andir memungkinkan mundur jika perlu. Meskipun hujan muson bisa menjadi tantangan, namun cuaca mendukung, dan komunikasi dengan pasukan Bantam terjaga. Resident mengundang komandan militer untuk bertindak segera. Pasukan bergerak pukul 4 pagi, menyeberangi Sungai Onder-Andir, dan tiba di Cikande pukul 8 pagi.
ADVERTISEMENT
Residen dan Kapten Buijs maju hati-hati dengan dukungan tanggul. Letnan Fritsen mengirim detasemen untuk menarik musuh, yang kemudian berhasil. Meriam ditembakkan, memaksa musuh mundur, namun serangan balik terjadi karena kurangnya koordinasi. Setelah pertempuran kacau, musuh akhirnya dipukul mundur dengan tembakan meriam dan serangan terkoordinasi. Jalan menuju rumah besar dibersihkan dengan membakar rumah bambu. Pemberontak yang menganggap diri kebal peluru, seperti Amier, ditangkap namun meninggal karena kondisi fisiknya.
Serangan Residen mencegah pemberontakan besar di Bantam, melemahkan semangat pemberontak. Setelah pertempuran di Cikande, Residen menangkap dan menghukum desa yang terlibat, namun menghentikan langkah keras untuk mengendalikan situasi. Penyelidikan di Cikande Udik mengungkapkan bukti pertemuan pemberontak, dengan Amier dan Sarientan mengungkapkan pemberontakan dimulai setelah sebuah pesta. Seorang mata-mata ditangkap dan mengaku rencana pemberontakan adalah untuk menghancurkan "Perusahaan" dalam 24 jam.
ADVERTISEMENT
Setelah Residen menguasai rumah besar di Cikande Udik, Djaïroen mengaku terpaksa ikut pemberontakan dan melaporkan penyelamatan tiga anak. Pada 15-16 Desember 1845, pasukan Jakarta tiba dan mengambil alih rumah besar, memungkinkan pasukan Serang kembali pada 17 Desember. Residen mempertahankan pasukan di Ciaknde dan pada 19 Desember berkeliling ke distrik untuk berunding dengan kepala daerah. Situasi di Tjimanok tenang berkat pengaruh Djaja Soedirja.
Pohon Waringien Koeroeng, yang dianggap suci dan terkait pertempuran Islam-Buddhisme, memiliki reputasi buruk di Tjimanok. Residen menekankan pentingnya membersihkan nama wilayah dari pemberontakan. Pada 15 Januari, dengan dukungan Djaja Soedirja, pohon tersebut dilaporkan telah ditebang. Di Ciaknde, Bapa Sarientan, yang terlibat dalam pemberontakan, ditangkap dan akhirnya mengungkapkan informasi penting setelah awalnya mengingkari perannya. Mas Djakaria, yang tewas pada 1834, dikenang sebagai simbol pemberontakan di Banten. Anak-anaknya, seperti Mas Adoeng, Mas Anoem, Mas Djebeng, dan Mas Serdang, melanjutkan perjuangan ayah mereka dan merencanakan pemberontakan pada 14 April 1840. Setelah ditangkap dan dibuang, mereka melarikan diri pada 1841 dan diyakini kembali ke Banten. Rumor tentang mereka berkembang, terutama selama bulan Puasa, yang dianggap rawan kerusuhan.
ADVERTISEMENT
Pada 1845, menjelang bulan Puasa, surat mencurigakan tentang anak-anak Pangeran Papah diteruskan ke asisten residen Lebak. Diselidiki, pengirimnya, Antonie, memiliki hubungan dengan keluarga Djakaria. Rumor tentang putra-putra Djakaria muncul selama Ramadan, namun tidak terbukti. Nama keluarga Djakaria digunakan dalam perencanaan pemberontakan di Cikande, dengan Bapa Sarientan mengungkapkan rincian rencananya.
Pada Maret 1845, Bapa Sarientan dipanggil oleh Mas Oebied untuk memulai pemberontakan pada Desember. Sarientan diberi tugas mengumpulkan pengikut secara rahasia, meyakinkan Amier dari Bajoekoe, dan bekerja sama dengan Mas Sakad serta Bapa Sapein untuk mempersiapkan pemberontakan di Cikande Udik. Pada 8 Oktober 1845, mereka mendiskusikan rencana pemberontakan, dan Amier siap bertindak. Konspirasi pemberontakan yang dipimpin Bapa Sarientan berkembang pesat. Setelah pembunuhan di rumah bangsawan Cikande Udik, mereka membalikkan bendera Belanda dan mengumpulkan rakyat. Karena keterlambatan Mas Oebied, Sarientan bertindak lebih cepat. Pemberontak bertempur dengan pasukan Kompagnie, namun kalah setelah serangan meriam dan tembakan senapan. Sementara itu, Mas Oebied mempersiapkan pemberontakan lain dengan memanfaatkan pembunuhan tersebut untuk memprovokasi rakyat.
ADVERTISEMENT
Mas Oebied memiliki kerabat, Sarienam, yang terlibat dalam pemberontakan dan bekerja sama dengan keluarga Djakaria. Sarienam menipu pemilik sawah kaya, Kassidien, dengan mengatakan Antonie adalah cucunya, padahal Antonie mengaku anak Pangeran Papah. Kassidien, yang dekat dengan Oejang, memperkenalkan Oejang sebagai anaknya, memicu semangat balas dendam terhadap pemerintah. Kassidien, yang dihormati sebagai "kiai Rama," mengumpulkan penduduk dan memperkenalkan tokoh penting kepada Bapa Sarientan. Sarientan bekerja dengan Oejang, yang mencari dukungan di selatan dan barat. Antonie, yang menikahi putri Bapa Arie, meyakinkan penduduk Tjipotoi bahwa ia keturunan Mas Djakaria. Oejang, menyamar sebagai Mas Hagong, berhasil meyakinkan Mas Andjong untuk bergabung dalam pemberontakan dengan bantuan seorang kiai.
Konspirasi pemberontakan di Bantam berhasil mengumpulkan dukungan, termasuk bendera biru dengan bulan penuh dan agen komunikasi. Pada 6 Desember 1845, pertemuan direncanakan untuk pemberontakan 13 Desember, namun gagal akibat penjagaan ketat. Kelompok pemberontak tertangkap pada 31 Desember, mengakhiri rencana pemberontakan. Pemberontakan Bantam 1845 melibatkan konspirasi yang memanfaatkan kekuatan mistis dan tradisi untuk menggalang dukungan rakyat. Beberapa tokoh penting, termasuk Resident D. A. Buijn dan Komandan Tuan Buijs, tewas, namun peristiwa ini tetap dikenang. Kejadian ini menyoroti pentingnya kewaspadaan terhadap gerakan rahasia yang memanfaatkan kepercayaan rakyat dan menimbulkan pertanyaan tentang pengetahuan pemerintah Bantam terkait rencana pemberontakan.
ADVERTISEMENT
Bantam memiliki sistem kepemilikan tanah unik, dengan hak tanah individu yang tidak diakui pemerintah. Meskipun sah menurut hukum setempat, Resident Buijn menganggapnya penyalahgunaan. Pada masa Sultan Bantam, penguasa memiliki tanah dan pejabat dibayar dengan tanah serta hak memungut pajak. Setelah 1808, saat kedaulatan diserahkan kepada Belanda, sistem ini runtuh, namun pejabat yang sudah memiliki tanah tetap mempertahankan haknya secara diam-diam. Pembagian tanah di Bantam menyebabkan banyak klaim kepemilikan, merusak struktur sosial. Keluarga kuat menguasai tanah desa, meminggirkan penduduk, dan kepala desa kehilangan pengaruh. Pemilik tanah membangun pemukiman terpisah, sementara polisi desa kesulitan mengawasi, dan banyak penduduk menjadi buruh harian yang hidup berpindah-pindah, memperburuk kesenjangan sosial.
Penutup
Sejarah Cikande memberikan pelajaran penting tentang bagaimana kebijakan agraria yang tidak adil dapat memicu ketegangan sosial dan pemberontakan. Sistem kepemilikan tanah yang diberlakukan pemerintah kolonial cenderung menguntungkan penguasa dan kelompok tertentu, sementara masyarakat lokal sering kali diabaikan hak-haknya. Ketimpangan ini tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga mengganggu stabilitas wilayah secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Sebagai kritik, kebijakan kolonial seperti Domeinrecht dan sistem pajak hasil panen menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap kebutuhan masyarakat lokal. Pemerintah kolonial lebih berfokus pada keuntungan finansial tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kehidupan rakyat. Hal ini menjadi contoh nyata dari kegagalan kebijakan yang tidak berpihak pada keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Sebagai saran, penting bagi pembuat kebijakan di masa kini dan mendatang untuk lebih memahami konteks sosial dan budaya masyarakat sebelum menerapkan kebijakan. Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, perlindungan hak-hak lokal, dan pendekatan yang lebih manusiawi harus menjadi prioritas. Dengan belajar dari sejarah Tjikandi, kita dapat menghindari kesalahan serupa dan menciptakan sistem yang lebih adil dan inklusif. Sejarah ini juga mengingatkan kita bahwa keberlanjutan sebuah kebijakan tidak hanya bergantung pada keuntungan ekonomi, tetapi juga pada penerimaan dan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka
Anon. 1904. Over De Reorganisatie Van Het Bestuurstoezicht Over De Particuliere Landerijen Bewesten De Tjimanoek. Batavia: A. Landsdrukkerij.
Faes, J. 1897. Ontwerp Nieuw Reglement Op De Particuliere Landerijen Bewesten De Tjimanoek. Batavia: H. Prange & Co.
Hoëvell, Dr. W. R. Van. 1859. Zalt-Bommel Joh. Noman En Zoon, Tijdschrift Vooe Nederlandsch Indie 21ste Jaargang. Afl 1-6 Eerste Deel. Koninklike Debliotheck Te’sflage.
Ottow, Dr S. J. 1937. Utrechtsche Bijdragen Tot De Geschiedenis, Het Staatsrecht En De Economie Van Nederlandsch-Indie De Oorsprong Der Conservative Ritchting Het Kolonisatierapport-Van Der Capellen, Uitged En Toelicht. N.V. A. Oosthoek’s Uitgevers Maatschappij Utrecht.