Konten dari Pengguna

Antara Hormat pada 'Bos' dan Taat pada Presiden

Syaefunnur Maszah
Sedang riset IM Doktoral, Sekretaris Jenderal Parsindo, & Wakil Ketua DPC Peradi.
21 April 2025 11:47 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syaefunnur Maszah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Dilema dua raja (Sumber: reyna. Under the Unsplash License)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Dilema dua raja (Sumber: reyna. Under the Unsplash License)
ADVERTISEMENT
Dua pekan setelah Idulfitri, publik dikejutkan oleh pernyataan dua menteri aktif dalam Kabinet Presiden Prabowo yang secara terbuka menyebut mantan Presiden Joko Widodo sebagai “bos” mereka, dalam sebuah kunjungan silaturahmi ke kediaman Jokowi di Surakarta. Pernyataan ini menarik perhatian bukan hanya karena status Jokowi yang telah purnatugas, tetapi juga karena momentum tersebut bertepatan dengan ketidakhadiran Presiden Prabowo Subianto yang sedang melakukan kunjungan diplomatik ke lima negara di Timur Tengah.
ADVERTISEMENT
Secara kasat mata, kunjungan dan penyebutan "bos" ini dapat dianggap sebagai bagian dari tradisi Idulfitri—sebuah bentuk penghormatan kepada tokoh senior dalam konteks budaya dan politik Indonesia. Namun, dalam ruang baca politik, simbol seringkali mengandung makna yang lebih dalam. Seperti yang dikemukakan analis dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Nicky Fahrizal, dalam artikelnya Yerica Lai - The Jakarta Post berjudul “Prabowo Faces Leadership Test as Jokowi’s Influence Lingers” (20 April 2025), kunjungan tersebut mencerminkan bahwa pengaruh Jokowi belum sepenuhnya surut, bahkan setelah masa jabatannya berakhir.
Penting untuk diingat bahwa Jokowi kini bukan hanya mantan presiden, tetapi juga ayah dari Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Posisi ini memberinya ruang simbolik dan politis yang unik dalam tatanan kekuasaan baru. Dalam tradisi politik patronase Indonesia, hubungan personal dan jejaring loyalitas sering kali menempati posisi krusial dalam menjaga stabilitas dan kesinambungan kebijakan. Di sinilah makna kata “bos” menjadi relevan untuk ditafsirkan ulang—apakah sekadar penghormatan, atau simbol dualitas loyalitas di tengah transisi kekuasaan?
ADVERTISEMENT
Dari sudut pandang Presiden Prabowo, situasi ini menjadi semacam ujian awal dalam membangun otoritas politiknya secara penuh. Ia dituntut tidak hanya untuk merangkul warisan pemerintahan sebelumnya, tetapi juga untuk menegaskan arah baru yang khas dalam kepemimpinannya. Mengacu pada teori Max Weber tentang otoritas legal-rasional, legitimasi Prabowo sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara mesti ditegakkan tidak hanya berdasarkan struktur formal, tetapi juga melalui penguatan persepsi publik bahwa ia adalah pusat pengambilan keputusan politik saat ini.
Publik tentu tidak buta terhadap tanda-tanda simbolik yang dipertontonkan di ruang terbuka. Dalam masyarakat demokratis, gestur politik sekecil apa pun bisa menjadi pemicu diskursus yang lebih besar. Apalagi, ketika persepsi tentang intervensi kekuasaan lama masih membayang, kekhawatiran akan munculnya shadow presidency—yakni pengaruh informal dari mantan presiden terhadap pemerintahan yang sedang berjalan—menjadi wacana yang perlu diperhatikan secara serius.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, terlalu cepat menyimpulkan bahwa konsolidasi kekuasaan Prabowo melemah juga tidak bijak. Pemerintahan baru masih dalam tahap awal penataan. Dalam konteks ini, perlu ada optimisme bahwa Prabowo mampu mengelola dinamika tersebut dengan pendekatan yang cerdas: menghormati simbol politik masa lalu tanpa kehilangan arah dan identitas kepemimpinannya sendiri.
Prabowo memiliki peluang besar untuk menunjukkan bahwa ia adalah pemimpin yang tidak hanya kuat secara militer dan diplomatik, tetapi juga piawai dalam membaca simbol politik domestik. Ia dapat menjadikan momen ini sebagai pijakan untuk memperkuat kabinetnya, mereformasi komunikasi politik, dan menegaskan posisi strategisnya sebagai pengendali utama jalannya pemerintahan.
Pada akhirnya, publik berharap agar hubungan antara mantan presiden, wakil presiden, dan presiden terpilih dapat berjalan dalam harmoni yang sehat, tanpa mengaburkan batas konstitusional dan loyalitas struktural. Kehadiran “bos” boleh jadi masih terasa, tetapi ketaatan terhadap presiden aktif harus menjadi pedoman utama dalam demokrasi yang matang.
ADVERTISEMENT