Konten dari Pengguna

Bahasa Ibu yang Terlupakan: Menyelamatkan 'Boso Kromo Inggil' dari Kepunahan

Syaefunnur Maszah
Sedang riset IM Doktoral, Sekretaris Jenderal Parsindo, & Wakil Ketua DPC Peradi.
13 Mei 2025 17:24 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syaefunnur Maszah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi:  Melestarikan 'bahàsa ibu' sebagai kekayaan budaya daerah (Foto: Dok. Syaefunnur Maszah)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Melestarikan 'bahàsa ibu' sebagai kekayaan budaya daerah (Foto: Dok. Syaefunnur Maszah)
ADVERTISEMENT
Di sudut-sudut perkampungan dan perumahan perkotaan Jawa, suasana kebahasaan kita perlahan berubah. Tak sedikit ibu muda, terdidik dan penuh semangat mendidik anak-anaknya, kini lebih nyaman mengajari balita mereka berkomunikasi dalam bahasa Indonesia sejak dini. Bahasa nasional yang netral dan seragam itu memang memudahkan. Tapi di balik kemudahan itu, ada sesuatu yang pelan-pelan ditanggalkan—bahasa daerah, terutama boso kromo inggil, ragam halus bahasa Jawa yang sarat nilai kesopanan dan penghormatan.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini tidak sekadar gejala linguistik, tetapi juga mencerminkan pergeseran nilai budaya yang dalam. Di dalam rumah yang dahulu menjadi benteng pertama warisan budaya, kini tak terdengar lagi anak-anak yang berkata, “Bu, kulo badhé tindak pasar,” atau “Pak, kulo nuwun.” Boso kromo inggil yang dulu menjadi tolok ukur tata krama kini seperti menjadi barang asing di rumah sendiri. Yang tersisa adalah bahasa Indonesia sehari-hari, atau malah bahasa gaul, yang melintasi batas sopan santun yang telah dijaga berabad-abad.
Profesor Wardhaugh dalam bukunya An Introduction to Sociolinguistics menjelaskan bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tapi juga identitas sosial dan budaya. Ketika sebuah masyarakat berhenti menggunakan bahasa ibunya, maka masyarakat itu sedang mengikis jati dirinya. Dalam konteks ini, pengabaian boso kromo inggil bukan hanya kehilangan kosakata, tapi juga tata nilai, struktur sosial, dan kearifan lokal yang terkandung di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Teori Language Socialization yang dikembangkan oleh Elinor Ochs dan Bambi Schieffelin juga mendukung pentingnya pengenalan bahasa ibu sejak dini. Bahasa, menurut mereka, adalah jembatan pembentuk kepribadian dan orientasi sosial anak. Seorang anak yang sejak kecil dibiasakan menggunakan bahasa yang penuh nuansa sopan santun seperti boso kromo inggil akan tumbuh dengan sensitivitas sosial yang lebih tajam, memahami hirarki sosial, serta mampu bersikap hormat terhadap yang lebih tua.
Fenomena yang kini terjadi justru sebaliknya. Di sekolah, pelajaran bahasa Jawa hanya mendapat porsi kecil, bahkan sering dipandang sebagai mata pelajaran yang tidak penting. Anak-anak pun akhirnya mengalami kegamangan saat berhadapan dengan situasi yang menuntut penggunaan bahasa yang lebih santun. Tak jarang mereka terlihat canggung saat berbicara dengan kakek-neneknya atau tetangga yang lebih tua karena tidak tahu bagaimana mengungkapkan diri secara tepat dan sopan.
ADVERTISEMENT
Jika tren ini terus berlangsung, satu dekade ke depan kita bisa jadi menyaksikan generasi yang sama sekali tidak mampu berbicara dengan orang tuanya dalam bahasa daerah mereka sendiri. Lebih dari sekadar kehilangan kemampuan linguistik, mereka kehilangan kunci memahami sejarah keluarganya, konteks sosialnya, dan rasa memiliki terhadap budaya leluhurnya. Dan itu adalah kehilangan yang tak tergantikan.
Lihatlah negara maju seperti Jepang dan Korea Selatan. Meski dikelilingi modernitas, mereka tetap menanamkan bahasa dan budaya daerah sejak usia dini di rumah dan sekolah. Hasilnya, anak-anak mereka tumbuh dengan identitas budaya yang kuat, tahu kapan harus sopan, kapan harus santai, dan bagaimana menempatkan diri dalam masyarakat yang menghargai struktur dan nilai. Bahasa ibu mereka tidak tercerabut, justru menjadi pondasi dari modernitas yang berakar.
ADVERTISEMENT
Indonesia tidak kekurangan optimisme. Masih banyak komunitas, guru, dan keluarga yang mulai sadar dan kembali menekankan pentingnya pelestarian bahasa daerah. Di beberapa daerah, gerakan ‘ngoko ora ilok, kromo inggil dadi prioritas’ kembali digaungkan. Di rumah-rumah yang mulai menyadari pentingnya nilai lokal, anak-anak kecil kini kembali belajar berkata, “Nderekaken sembah nuwun, Bu.”
Pendidikan bahasa ibu—dalam hal ini boso kromo inggil—harus mulai dari rumah. Orang tua, terutama ibu, adalah aktor utama pelestari budaya. Jangan takut anak kita bingung dengan dua bahasa; justru itu memperkaya mereka. Mengajarkan bahasa Jawa halus sejak dini bukan kemunduran, tapi lompatan budaya yang membentuk pribadi unggul: tahu tata krama, tahu identitasnya, tahu cara menghormati orang lain. Dan itulah modal dasar membangun masa depan yang lebih berbudaya.
ADVERTISEMENT
Mungkin inilah saatnya kita bertanya ulang: bahasa apa yang ingin kita dengar dari anak-anak kita saat mereka menyapa kita kelak? Jika jawabannya adalah bahasa yang penuh hormat, maka jawabannya tidak bisa lain kecuali: mari kembalikan boso kromo inggil ke pangkuan keluarga. Sebelum semua hanya tinggal kenangan dalam catatan akademik dan pelajaran sejarah.