Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Hedonisme, Jerat Baru dalam Rantai Rusak Penegakan Hukum
14 April 2025 14:05 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Syaefunnur Maszah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dalam dunia hukum yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan, kabar mengejutkan datang dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada 19 Maret 2025, tiga korporasi besar yang menjadi terdakwa dalam kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO)—Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group—divonis ontslag atau lepas oleh majelis hakim (detikNews 14 April 2025). Putusan ini memantik sorotan publik, terlebih setelah Kejaksaan Agung mengendus dugaan praktik suap yang melibatkan tiga hakim yang mengadili perkara tersebut. Suap itu diduga diberikan sebagai kompensasi atas vonis lepas yang mereka jatuhkan terhadap para terdakwa korporasi.
ADVERTISEMENT
Pengungkapan lebih lanjut menguak sisi lain dari perkara ini: gaya hidup mewah yang dijalani oleh para penegak hukum yang seharusnya hidup sederhana, netral, dan menjunjung tinggi integritas. Sejumlah barang mewah seperti super car dan motor gede berharga fantastis diamankan oleh tim penyidik dalam penggeledahan, memperkuat dugaan bahwa kehidupan hedonis menjadi bagian dari motif di balik keputusan hukum yang mencederai rasa keadilan masyarakat. Hedonisme, yang identik dengan pengejaran kesenangan tanpa batas, kini menjelma menjadi musuh dalam selimut di tubuh lembaga peradilan.
Filsuf Yunani Kuno, Epikouros, pernah mengingatkan bahwa kebahagiaan sejati tidak berasal dari kepuasan instan atau harta berlimpah, tetapi dari kebijaksanaan dan pengendalian diri. Pandangan ini terasa sangat relevan ketika kita menyaksikan bagaimana para penegak hukum justru terjebak dalam logika kenikmatan sesaat dan menggadaikan integritas mereka demi kemewahan duniawi. Ketika penegak hukum menggantungkan nilai hidupnya pada materi, maka runtuhlah pijakan moral yang semestinya menjadi dasar dalam setiap vonis yang dijatuhkan.
ADVERTISEMENT
Ironi besar hadir ketika mereka yang bertugas menegakkan hukum justru mengkhianatinya melalui gaya hidup berlebihan dan keputusan yang menyimpang. Hedonisme, dalam konteks ini, bukan hanya soal selera hidup, melainkan juga cerminan nilai dan prioritas yang sudah menyimpang jauh dari semangat keadilan.
Penegak hukum bukan sekadar profesi, ia adalah panggilan moral yang mensyaratkan kepekaan terhadap penderitaan publik dan kekuatan untuk melawan godaan kuasa serta uang. Dalam konteks ini, penulis sebagai seorang lawyer merasakan benar tantangan dan godaan integritas dalam menangani kasus—terutama ketika harus memilih antara prinsip hukum dan rayuan materi dari pihak-pihak yang ingin memelintir keadilan demi kepentingannya.
Praktik jual beli perkara seperti ini merusak sendi-sendi kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Ketika masyarakat melihat bahwa hukum bisa ditawar-menawar dan keadilan bisa dibeli, maka runtuh pula harapan mereka pada kehadiran negara sebagai pelindung kebenaran. Keputusan lepas yang diwarnai dugaan suap bukan saja mencederai moralitas hukum, tetapi juga menciptakan preseden buruk dalam penanganan korupsi skala besar.
ADVERTISEMENT
Dalam kerangka teoritis modern, filsuf sosial Zygmunt Bauman menyebut hedonisme sebagai bagian dari “kebudayaan cair” di mana manusia kehilangan keteguhan moral dan komitmen sosial karena terhanyut dalam arus konsumtif tanpa makna. Fenomena ini menjangkiti elite-elite yang seharusnya menjadi penjaga nilai, termasuk para penegak hukum. Jika pengadilan tidak lagi menjadi tempat mencari keadilan, tetapi berubah menjadi pasar gelap keputusan hukum, maka bahaya bukan hanya menimpa satu perkara, tetapi merambat pada seluruh ekosistem hukum.
Bagi Indonesia yang sedang berjuang menegakkan supremasi hukum dalam demokrasi yang kian dewasa, praktik semacam ini menjadi tamparan keras. Pendidikan hukum, pengawasan internal, hingga seleksi ketat terhadap integritas penegak hukum harus diperkuat. Namun yang lebih utama adalah menanamkan nilai bahwa menjadi penegak hukum bukanlah jalan menuju kemewahan, melainkan amanah yang harus dijaga dengan kesederhanaan dan tanggung jawab moral tinggi.
ADVERTISEMENT
Kasus ini seharusnya menjadi momentum reflektif bagi seluruh aparatur penegak hukum di Indonesia untuk kembali pada khittah pengabdian. Keadilan tidak lahir dari kursi empuk atau kendaraan mewah, tetapi dari nurani yang jernih dan pikiran yang merdeka dari kepentingan duniawi. Bila hedonisme terus menjadi gaya hidup, maka kehancuran peradilan tinggal menunggu waktu.
Pada akhirnya, penegakan hukum bukan hanya soal teks peraturan atau logika hukum, tetapi juga tentang karakter. Integritas adalah benteng terakhir. Tanpa itu, setiap pasal bisa dipelintir, setiap perkara bisa diperjualbelikan, dan setiap harapan rakyat bisa dijual kepada penawar tertinggi. Jika kita ingin Indonesia yang adil dan bermartabat, maka hedonisme dalam tubuh penegak hukum harus disingkirkan tanpa kompromi.