Konten dari Pengguna

Indonesia-Tiongkok: Meningkatkan Kerja Sama, Menjaga Jarak Strategis

Syaefunnur Maszah
Sedang riset IM Doktoral, Sekretaris Jenderal Parsindo, & Wakil Ketua DPC Peradi.
28 Mei 2025 9:08 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Indonesia-Tiongkok: Meningkatkan Kerja Sama, Menjaga Jarak Strategis
Pendalaman hubungan Indonesia-Tiongkok penting, namun perlu keseimbangan agar kemitraan strategis tetap menjamin kedaulatan dan membuka ruang kolaborasi dengan berbagai mitra global lainnya.
Syaefunnur Maszah
Tulisan dari Syaefunnur Maszah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Negara Tiongkok (Sumber: Arthur Wang. Under the Unsplash License)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Negara Tiongkok (Sumber: Arthur Wang. Under the Unsplash License)
ADVERTISEMENT
Hubungan Indonesia dengan Tiongkok semakin intensif, terutama dalam bidang ekonomi, investasi, dan perdagangan. Kunjungan Perdana Menteri Tiongkok Li Qiang ke Jakarta pada 25 Mei 2025 merupakan momen penting yang memperlihatkan bagaimana kedua negara semakin memantapkan kemitraan strategis. Presiden Prabowo Subianto menyambut Li dengan prosesi kehormatan di Istana Negara, diiringi penandatanganan kesepakatan bisnis bernilai miliaran dolar AS. Namun, di balik seremoni diplomatik tersebut, publik perlu mencermati arah hubungan ini secara lebih kritis.
ADVERTISEMENT
Tiongkok saat ini menjadi mitra dagang terbesar Indonesia. Proyek-proyek besar seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung dan kawasan industri terpadu Morowali menjadi simbol dominasi Tiongkok dalam lanskap investasi domestik. Meski hal ini mencerminkan kepercayaan dan daya tarik Indonesia sebagai destinasi ekonomi, timbul pertanyaan: apakah Indonesia tengah bergeser dari posisi nonblok ke poros Tiongkok dalam dinamika global?
Ketegangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang terus meningkat, ditambah dengan kebijakan tarif yang proteksionis dari pemerintahan Donald Trump, menjadikan negara-negara seperti Indonesia berada dalam posisi yang kompleks. Meningkatkan hubungan dengan Tiongkok mungkin menjadi strategi pragmatis untuk mencari alternatif ekonomi. Namun, kebijakan luar negeri Indonesia tidak boleh semata-mata ditentukan oleh kalkulasi ekonomi jangka pendek, melainkan perlu mempertimbangkan kepentingan jangka panjang dalam menjaga keseimbangan kekuatan global dan kedaulatan nasional.
ADVERTISEMENT
Seperti disebut dalam editorial dari The Jakarta Post berjudul "Deepening Sino-Indonesia Ties", 27 Mei 2025, hubungan ekonomi Indonesia dan Tiongkok sudah sangat dekat—bahkan dinilai “terlalu dekat”. Selain penandatanganan investasi senilai lebih dari US$10 miliar yang dilakukan saat kunjungan Prabowo ke Beijing pada November 2024, kerja sama antara kamar dagang kedua negara juga menunjukkan kecenderungan mempererat relasi B2B yang melibatkan korporasi besar milik negara dan swasta. Hal ini membuka peluang, namun juga memunculkan potensi dominasi struktural Tiongkok di sektor-sektor strategis Indonesia.
Namun hubungan yang terlalu erat ini menyimpan sejumlah persoalan mendasar. Skirmish di Laut Cina Selatan antara kapal Tiongkok dan nelayan Indonesia terus terjadi tanpa penyelesaian tuntas. Masuknya pekerja asal Tiongkok dalam jumlah besar ke proyek-proyek strategis di Indonesia juga menimbulkan keresahan sosial dan ekonomi di tengah masyarakat. Selain itu, produk Tiongkok membanjiri pasar domestik dengan harga murah, yang berpotensi mematikan pelaku usaha lokal di sektor UMKM.
ADVERTISEMENT
Kecurigaan historis terhadap motif politik Tiongkok juga belum sepenuhnya hilang. Warisan trauma nasional atas dugaan keterlibatan Partai Komunis Tiongkok dalam politik Indonesia pada 1960-an masih menyisakan ketegangan di kalangan politisi dan militer. Meskipun hubungan diplomatik baru dipulihkan tahun 1990, ketegangan ini sesekali muncul dalam bentuk wacana nasionalisme atau bahkan xenofobia. Oleh karena itu, penguatan kerja sama ekonomi seharusnya tidak mengabaikan dimensi politik dan sejarah.
Perlu diingat bahwa ketergantungan ekonomi yang berlebihan pada satu negara, tak peduli seberapa kuat ekonomi negara tersebut, dapat menjadi bumerang. Ketika Indonesia terlalu menggantungkan diri pada Tiongkok untuk pembiayaan proyek-proyek besar, maka ruang manuver politik luar negeri dan otonomi kebijakan nasional pun menjadi terancam. Kita bisa belajar dari negara-negara Afrika yang terjebak dalam utang besar akibat proyek-proyek infrastruktur yang dibiayai oleh pinjaman Tiongkok.
ADVERTISEMENT
Demi menjaga kedaulatan dan posisi tawar, Indonesia perlu merumuskan kebijakan diversifikasi mitra ekonomi. Jepang, Korea Selatan, Australia, India, serta negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan sesama anggota ASEAN, harus menjadi bagian dari strategi kerja sama ekonomi yang seimbang. Kerja sama dengan berbagai kekuatan ekonomi dunia akan menghindarkan Indonesia dari jebakan ketergantungan tunggal dan memperkuat posisi tawar Indonesia di meja diplomasi internasional.
Pemerintah Indonesia juga harus memastikan bahwa seluruh kerja sama yang dijalin tidak merugikan kepentingan nasional, baik dari sisi ekonomi, keamanan, maupun kedaulatan. Pemeriksaan terhadap isi perjanjian, komposisi tenaga kerja, alih teknologi, dan dampak jangka panjang harus dilakukan secara transparan dan akuntabel. Jangan sampai ketergesa-gesaan dalam menjaring investasi justru membuka celah bagi intervensi asing dalam ranah domestik.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, pendalaman hubungan Indonesia-Tiongkok harus dilakukan dengan sikap terbuka namun tetap kritis. Perlu ada kehati-hatian. Pendalaman hubungan ini jangan sampai membuat Indonesia terlalu bergantung pada Tiongkok. Meskipun ketergantungan pada AS dapat berkurang, pemerintah harus tetap memperdalam hubungan ekonomi dengan negara lain di kawasan seperti Jepang, Korea Selatan, Australia, India, OKI serta tetangga-tetangga ASEAN. Hanya dengan pendekatan yang seimbang, Indonesia dapat menjaga kedaulatan dan kemandirian dalam percaturan global yang kian kompleks.