Konten dari Pengguna

Industri Kecantikan: Inovasi, Regulasi, dan Tanggung Jawab

Syaefunnur Maszah
Sedang riset IM Doktoral Unpak, Sekretaris Jenderal Parsindo, & Wakil Ketua DPC Peradi.
17 Februari 2025 10:22 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syaefunnur Maszah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Industri kecantikan terus mengalami transformasi signifikan, terutama di era digital yang semakin mempercepat munculnya tren baru. Media sosial menjadi panggung utama bagi berbagai produk dan teknik kecantikan yang sering kali dikemas dengan narasi persuasif oleh para influencer. Namun, di balik kilauan tren tersebut, terdapat tantangan yang perlu diwaspadai, mulai dari standar kecantikan yang semakin tidak realistis hingga risiko kesehatan akibat praktik yang tidak memiliki dasar medis. Fenomena ini tidak hanya berdampak pada pola konsumsi masyarakat tetapi juga pada persepsi terhadap estetika dan kesehatan secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Artikel "Beyond the Gloss: Navigating Viral Beauty Trends and Truths," oleh Sylviana Hamdani, The Jakarta Post, Senin, 20 Januari 2025, mengulas fenomena maraknya influencer yang mempromosikan prosedur estetika tanpa keahlian medis, seperti kasus "seorang influencer". Artikel ini menyoroti bagaimana kepercayaan publik terhadap influencer dapat membahayakan kesehatan, terutama di tengah pertumbuhan industri kecantikan Indonesia yang meningkat 21,9 persen pada 2023. Dengan pasar yang bernilai Rp 140 triliun, kecantikan bukan lagi sekadar kebutuhan personal tetapi telah menjadi sektor bisnis yang berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional. Namun, pesatnya perkembangan ini juga menimbulkan dilema etis dan sosial, di mana standar kecantikan semakin dikendalikan oleh tren viral ketimbang prinsip kesehatan yang berkelanjutan.
Dari perspektif gaya hidup dan budaya, fenomena ini menunjukkan bagaimana masyarakat modern semakin mendefinisikan identitas mereka melalui penampilan fisik. Kecantikan tidak lagi sebatas kepuasan diri tetapi juga sebagai bentuk validasi sosial. Jika dahulu kecantikan lebih dikaitkan dengan kesehatan kulit dan perawatan berbasis bahan alami, kini tekanan untuk mengikuti standar tertentu justru mendorong masyarakat untuk mengadopsi praktik yang terkadang tidak aman. Budaya kecantikan yang berkembang pesat ini mencerminkan perubahan pola pikir dari nilai estetika yang organik menjadi estetika instan yang didorong oleh komersialisasi.
ADVERTISEMENT
Dari sudut pandang bisnis, industri kecantikan semakin menjadi arena persaingan yang sengit, di mana pemasaran berbasis influencer menjadi strategi utama. Kemampuan individu dalam membangun citra personal yang menarik di media sosial dapat langsung berpengaruh terhadap daya tarik produk kecantikan yang mereka promosikan. Namun, dalam lanskap bisnis yang serba cepat ini, transparansi dan kredibilitas sering kali menjadi persoalan. Kasus seperti "seorang influencer" tersebut membuktikan bahwa tanpa regulasi yang ketat, industri ini dapat membuka celah bagi praktik yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, edukasi konsumen menjadi elemen penting agar masyarakat tidak mudah terjebak dalam tren tanpa memahami implikasi jangka panjangnya.
Jika menilik budaya perawatan kecantikan klasik Indonesia, pendekatan yang digunakan lebih menekankan keseimbangan antara kecantikan dan kesehatan. Jamu tradisional, lulur, serta penggunaan minyak alami menjadi bagian dari filosofi kecantikan yang berakar pada pemeliharaan tubuh secara holistik. Prinsip ini menekankan bahwa kecantikan bukan hanya soal tampilan luar, tetapi juga kondisi tubuh yang sehat. Berbeda dengan tren kecantikan modern yang cenderung instan dan berbasis koreksi, budaya kecantikan klasik lebih menitikberatkan pada pencegahan dan perawatan jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Dari perspektif universal dan Islam, perawatan tubuh dan kesehatan adalah bagian dari amanah dalam menjaga diri. Dalam Islam, konsep ihsan menekankan pentingnya memperlakukan diri dengan baik, termasuk dalam hal kebersihan dan penampilan. Rasulullah SAW sendiri memberikan contoh bagaimana menjaga kebersihan gigi dengan siwak dan merawat rambut dengan minyak. Namun, Islam juga mengingatkan agar kecantikan tidak menjadi tujuan yang melampaui keseimbangan, apalagi jika sampai menimbulkan mudarat atau membahayakan diri sendiri. Perspektif ini relevan dalam menghadapi tren kecantikan modern yang sering kali mendorong seseorang untuk melakukan perubahan drastis demi memenuhi standar estetika tertentu.
Pelajaran yang dapat diambil dari fenomena ini adalah pentingnya literasi kecantikan yang lebih kritis. Konsumen perlu memahami bahwa tidak semua tren yang viral sesuai dengan kebutuhan individu. Selain itu, pemerintah dan otoritas terkait harus berperan aktif dalam mengawasi praktik kecantikan agar tidak ada lagi kasus yang membahayakan kesehatan masyarakat. Edukasi tentang perawatan kulit yang berbasis sains juga harus diperkuat, sehingga masyarakat tidak hanya mengandalkan opini influencer tetapi juga memahami prinsip dasar kesehatan kulit dan tubuh.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, industri kecantikan harus berkembang dengan keseimbangan antara inovasi dan tanggung jawab. Teknologi dalam dunia kecantikan dapat memberikan manfaat besar jika digunakan dengan etika dan regulasi yang jelas. Kesadaran untuk menjaga kesehatan dan kecantikan secara seimbang adalah kunci agar tren kecantikan tidak hanya menjadi fenomena sesaat, tetapi juga memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat secara berkelanjutan.
Ilustrasi Kecantikan (Fóto: Dok. Syaefunnur Maszah)