Konten dari Pengguna

Kebahagiaan Hakiki: Bukan Sekadar Kaya, tapi Bermakna

Syaefunnur Maszah
Sedang riset IM Doktoral Unpak, Sekretaris Jenderal Parsindo, & Wakil Ketua DPC Peradi.
21 Februari 2025 15:04 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syaefunnur Maszah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Bahagia kala 'ngeteh' bersama teman (Foto: Dok. Syaefunnur Maszah)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Bahagia kala 'ngeteh' bersama teman (Foto: Dok. Syaefunnur Maszah)
ADVERTISEMENT
Dalam kehidupan modern, kebahagiaan sering kali disalahartikan sebagai pencapaian materi. Banyak orang menganggap kebahagiaan hanya bisa diraih dengan uang melimpah, rumah mewah, mobil sport, dan motor gede. Pandangan ini mendorong banyak individu untuk menjadikan kekayaan sebagai tujuan utama hidup, dengan keyakinan bahwa semakin banyak yang dimiliki, semakin bahagia mereka. Namun, apakah kebahagiaan benar-benar hanya soal kepemilikan materi?
ADVERTISEMENT
Sejak zaman kuno, para filsuf telah membahas hakikat kebahagiaan. Aristoteles memperkenalkan konsep eudaimonia, yakni kebahagiaan sebagai pencapaian potensi tertinggi manusia, bukan sekadar kesenangan sesaat. Sementara itu, Seneca dari mazhab Stoik berpendapat bahwa kebahagiaan sejati berasal dari ketenangan batin dan hidup yang selaras dengan kebajikan. Pemikiran ini bertentangan dengan pandangan umum yang mengaitkan kebahagiaan dengan kepemilikan harta benda semata.
Dalam perspektif sekuler, kebahagiaan sering dikaitkan dengan kesejahteraan psikologis dan kepuasan hidup. Teori self-determination dari Deci dan Ryan menekankan bahwa kebahagiaan sejati berasal dari pemenuhan kebutuhan otonomi, kompetensi, dan keterhubungan sosial. Sementara itu, kaum ateis cenderung melihat kebahagiaan sebagai hasil dari pengalaman subjektif, kebebasan berpikir, dan pencarian makna hidup tanpa ketergantungan pada konsep ketuhanan.
ADVERTISEMENT
Islam memiliki konsep kebahagiaan yang lebih luas, meliputi dimensi dunia dan akhirat. Al-Qur’an dalam Surah Ar-Ra’d ayat 28 menyebutkan, “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menjelaskan bahwa kebahagiaan sejati bukan berasal dari harta yang melimpah, melainkan dari hati yang bersih dan keyakinan yang teguh kepada Allah. Dalam Islam, kebahagiaan sejati (sa’adah) adalah keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan ruhani, bukan sekadar kemewahan duniawi.
Obsesi terhadap materi dapat membawa dampak negatif yang luas. Mereka yang menjadikan kekayaan sebagai tujuan utama cenderung menghalalkan segala cara untuk mencapainya. Budaya the end justifies the means berkembang, di mana segala bentuk kecurangan, termasuk korupsi, penipuan, eksploitasi, bahkan kolonialisme dan penjajahan, dianggap sah demi akumulasi kekayaan. Sejarah menunjukkan bagaimana bangsa-bangsa imperialis merampas sumber daya negara lain demi kejayaan ekonomi mereka, tanpa peduli pada penderitaan yang ditimbulkan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, penolakan ekstrem terhadap materi juga dapat menimbulkan dampak negatif. Beberapa ajaran atau ideologi mengagungkan kemiskinan sebagai jalan menuju kebahagiaan, sehingga menanamkan sikap pasrah dan menolak usaha untuk meningkatkan kualitas hidup. Pandangan ini dapat melahirkan budaya malas, ketergantungan, dan menghambat kemajuan sosial. Islam sendiri tidak mengajarkan untuk mencintai kemiskinan, tetapi menekankan pentingnya keseimbangan—mencari rezeki dengan cara halal tanpa menjadikannya sebagai satu-satunya tujuan hidup.
Pemahaman yang keliru tentang kebahagiaan membuat banyak orang terjebak dalam ilusi. Mereka yang mengejar materi tanpa batas akan kehilangan ketenangan batin, sementara mereka yang menolak materi secara ekstrem justru menghambat potensi mereka. Kebahagiaan sejati tidak terletak pada seberapa banyak yang dimiliki, tetapi pada bagaimana seseorang menemukan makna dalam hidupnya. Hidup yang seimbang, penuh rasa syukur, dan memiliki tujuan yang lebih tinggi adalah kunci untuk mencapai kebahagiaan sejati.
ADVERTISEMENT
Menyadari bahwa kebahagiaan bukan sekadar soal materi, tetapi juga soal keseimbangan hidup, akan mengubah cara pandang seseorang dalam mengejar kebahagiaan. Kekayaan bisa menjadi sarana untuk kebaikan jika digunakan dengan bijak, tetapi jika dijadikan tujuan akhir, ia hanya akan menjadi jebakan tanpa akhir. Kebahagiaan sejati lahir dari hati yang tenteram, jiwa yang bersyukur, dan hidup yang memiliki makna lebih dalam.