Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.7
26 Ramadhan 1446 HRabu, 26 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Kekebalan Presiden dan Stabilitas Konstitusi Amerika
24 Maret 2025 10:30 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Syaefunnur Maszah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Trump v. United States tahun lalu telah mengguncang fondasi hukum tata negara sekaligus menegaskan prinsip penting dalam sistem presidensial: perlindungan terhadap kekuasaan eksekutif dalam menjalankan tugas resminya. Putusan ini menetapkan bahwa presiden memiliki kekebalan pidana atas tindakan resmi, yakni segala hal yang bisa melibatkan atau secara masuk akal berkaitan dengan tugas inti seorang kepala negara. Meski kontroversial, keputusan ini dapat dilihat sebagai langkah penting untuk menjaga stabilitas eksekutif dan kelangsungan sistem pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Dalam artikel utama dari Jamelle Bouie di The New York Times berjudul “The Repercussions of Trump v. United States May Finally Be Hitting Justice Roberts” (22 Maret 2025), berbagai kritik terhadap putusan ini diulas secara tajam. Bouie mengutip pakar hukum tata negara seperti Akhil Reed Amar yang menyatakan bahwa rumusan Mahkamah tidak memiliki dasar kuat dalam teks, struktur, maupun sejarah Konstitusi. Ia juga mengangkat pandangan para hakim yang menolak putusan tersebut, dipimpin oleh Hakim Sonia Sotomayor, yang memperingatkan bahwa keputusan itu akan menciptakan zona bebas hukum di sekitar presiden, menjadikannya seperti raja.
Namun, bila ditinjau lebih dalam, pandangan tersebut mengabaikan satu prinsip mendasar dalam sistem presidensial Amerika: perlunya presiden menjalankan tugas-tugas kenegaraan tanpa ancaman kriminalisasi oleh lawan politik. Tindakan resmi seperti pengambilan keputusan militer, pemberian grasi, atau perintah eksekutif, memerlukan ruang gerak yang luas dan bebas dari intervensi yudisial yang dapat membatasi fungsi konstitusional presiden. Kekebalan hukum dalam konteks ini bukan bentuk impunitas, melainkan perisai institusional terhadap potensi kekacauan konstitusional.
ADVERTISEMENT
Penting dicatat bahwa putusan ini tidak serta-merta membebaskan presiden dari segala bentuk pertanggungjawaban. Kekebalan hanya berlaku atas tindakan yang berada dalam lingkup tugas resmi, bukan perilaku pribadi atau tindak pidana yang tak berkaitan dengan jabatan. Dengan batas ini, Mahkamah Agung tetap menjaga prinsip akuntabilitas sambil menegaskan otonomi cabang eksekutif dari campur tangan cabang yudikatif dalam wilayah tugas resmi presiden.
Dukungan terhadap putusan ini datang dari kalangan yang melihat pentingnya membentengi lembaga kepresidenan dari tekanan politik yang dapat merusak kesinambungan pemerintahan. Jika presiden bisa dituntut secara pidana atas setiap keputusan resmi, maka lawan politik di masa depan akan menjadikan pengadilan sebagai alat balas dendam politik. Hal ini bukan hanya berbahaya bagi demokrasi, tapi juga menciptakan ketidakstabilan sistemik yang bisa mengganggu tatanan negara.
ADVERTISEMENT
Dari perspektif kepentingan nasional, keputusan ini mencerminkan keprihatinan Mahkamah Agung terhadap potensi politisasi hukum yang makin meluas. Presiden perlu diberi ruang untuk mengambil keputusan sulit, termasuk dalam situasi darurat nasional, tanpa rasa takut akan tuntutan hukum dari pemerintahan berikutnya. Keputusan ini memberi pesan kuat bahwa sistem hukum tidak dapat digunakan untuk menggugat tindakan resmi yang berakar pada wewenang konstitusional presiden.
Bagi rakyat Amerika, putusan ini menjadi pengingat akan pentingnya membangun sistem checks and balances yang sehat, bukan dengan menjebak lembaga eksekutif melalui instrumen hukum, tetapi dengan memperkuat pengawasan legislatif dan pemilihan umum yang jujur. Keseimbangan antara kekuasaan dan pertanggungjawaban tidak selalu harus ditegakkan melalui jalur kriminalisasi, melainkan melalui mekanisme politik yang telah diatur dalam konstitusi.
ADVERTISEMENT
Pelajaran penting dari putusan ini adalah bahwa negara hukum bukan hanya soal menindak pelanggaran, tetapi juga soal menjaga agar tiap cabang kekuasaan dapat menjalankan fungsinya secara maksimal dan bebas dari intimidasi institusional. Mahkamah Agung, lewat putusan ini, bukan sedang membela individu, tetapi membela prinsip bahwa negara harus menjamin stabilitas dan integritas kekuasaan yang sah.