Konten dari Pengguna

Kepolisian AS: Berkarakter Sipil & Tidak Ada Pangkat Jenderal

Syaefunnur Maszah
Sr Human Capital Steategist, Sekjen Parsindo, Wk Ketua Peradi DPC
12 Oktober 2025 13:00 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Kepolisian AS: Berkarakter Sipil & Tidak Ada Pangkat Jenderal
Kepolisian AS tak berpangkat jenderal seperti militer. Struktur hierarkisnya kini makin sipil, berorientasi pelayanan publik, dan efektivitasnya ditentukan oleh kepercayaan masyarakat. #userstory
Syaefunnur Maszah
Tulisan dari Syaefunnur Maszah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Polisi bersepeda di demonstrasi George Floyd di Uptown Charlotte, AS. (Sumber: Clay Banks, under the Unsplash License)
zoom-in-whitePerbesar
Polisi bersepeda di demonstrasi George Floyd di Uptown Charlotte, AS. (Sumber: Clay Banks, under the Unsplash License)
ADVERTISEMENT
Struktur organisasi sering disebut sebagai tulang punggung lembaga penegak hukum. Dalam teori klasik, semakin rapi dan tinggi struktur suatu institusi, semakin efektif pula kinerjanya. Namun, dalam dunia kepolisian Amerika Serikat, teori itu kini mulai goyah. Di tengah perubahan sosial dan teknologi yang begitu cepat, struktur hierarkis yang kaku justru sering kali memperlambat respons polisi terhadap kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks.
ADVERTISEMENT
Kepolisian di Amerika memiliki sejarah panjang dengan struktur yang menyerupai militer. Pangkat seperti sergeant, lieutenant, captain, dan chief mencerminkan warisan sistem komando yang mengandalkan kedisiplinan dan rantai perintah. Namun, seiring waktu, struktur ini mulai beradaptasi. Polisi Amerika kini lebih berorientasi sipil dibandingkan militer dengan pendekatan yang menekankan akuntabilitas publik dan keterlibatan komunitas. Tidak ada pangkat “jenderal” seperti dalam militer; kepala polisi adalah pejabat sipil yang tunduk pada hukum dan diawasi oleh pemerintah lokal atau dewan kota.
Pertanyaannya kemudian: Apakah struktur hierarkis seperti ini masih relevan dengan tuntutan zaman? Apakah diferensiasi jabatan dan lapisan komando yang panjang benar-benar meningkatkan kinerja polisi dalam melindungi masyarakat? Pertanyaan itu menjadi fokus utama penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Nicholas A. Salimbene dari Sam Houston State University.
ADVERTISEMENT
Dalam jurnal berjudul Police Organizational Structure and Police Performance atau Organisasi Kepolisian dan Kinerja Kepolisian, penulis Nicholas A. Salimbene, PhD—dari Department of Criminal Justice and Criminology, Sam Houston State University, Huntsville, Texas, USA, terbit Agustus 2021—mengumpulkan data dari 357 departemen kepolisian besar di seluruh Amerika Serikat. Hasilnya menunjukkan bahwa struktur organisasi tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja polisi ketika faktor komunitas dimasukkan. Beberapa elemen demografis memang memengaruhi tingkat kejahatan dan penyelesaian kasus (clearance rate), tetapi efeknya tidak konsisten.
Ilustrasi polisi Amerika Serikat Foto: AFP/ Angela Weiss
Salimbene menemukan bahwa kompleksitas struktural—baik diferensiasi fungsional, hierarkis, maupun okupasional—tidak otomatis meningkatkan efektivitas kerja kepolisian. Justru, dalam banyak kasus, struktur yang terlalu berlapis cenderung menciptakan jarak antara pengambil keputusan di tingkat atas dan pelaksana di lapangan. Hal ini menyebabkan hilangnya kelincahan dan kecepatan dalam merespons masalah publik, yang pada akhirnya menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga kepolisian itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Teori yang digunakan untuk menjelaskan temuan ini adalah Structural Contingency Theory dari Donaldson (1995), yang menekankan bahwa efektivitas organisasi bergantung pada kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan eksternal. Salimbene meminjam kerangka ini untuk menunjukkan bahwa polisi yang terlalu kaku dengan struktur hierarkis justru kehilangan kemampuan adaptifnya. Dalam konteks modern, efektivitas tidak lagi bergantung pada tinggi atau rendahnya hierarki, tetapi pada fleksibilitas dan responsivitas organisasi terhadap perubahan sosial.
Kepolisian yang terlalu birokratis cenderung menilai keberhasilan dari ketaatan prosedural, bukan dari hasil pelayanan publik. Dalam sistem seperti ini, inisiatif petugas di lapangan sering terbentur batas formal dan rantai komando. Padahal, di era yang menuntut kecepatan dan keterbukaan, kemampuan mengambil keputusan cepat di lapangan jauh lebih penting daripada menunggu instruksi dari atas. Hierarki yang panjang bisa memperlambat reaksi terhadap krisis atau konflik di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Namun, bukan berarti hierarki harus dihapus. Struktur tetap penting untuk menjaga koordinasi, disiplin, dan akuntabilitas. Yang dibutuhkan adalah redefinisi peran hierarki agar lebih luwes dan terbuka terhadap arus informasi dari bawah. Kepala polisi di berbagai kota besar kini lebih banyak berfungsi sebagai manajer publik ketimbang komandan lapangan. Mereka dituntut memiliki kemampuan manajemen, komunikasi, dan diplomasi dengan komunitas, bukan sekadar ketegasan komando seperti dalam institusi militer.
Kantor Polisi New York. (Sumber: Janne Simoes, under the Unsplash License)
Di banyak kota seperti Los Angeles, Boston, New York dan Seattle, reformasi kepolisian telah mengarah ke model organisasi yang lebih datar (flat organization). Jabatan masih ada, tetapi pengambilan keputusan dibuat lebih kolektif. Polisi di lapangan diberi ruang untuk berinovasi, memecahkan masalah komunitas, dan menyusun strategi berdasarkan konteks lokal. Model ini terbukti meningkatkan efektivitas karena memperkuat kepercayaan publik sekaligus mempercepat alur tanggapan terhadap peristiwa kriminal.
ADVERTISEMENT
Hierarki yang terlalu tinggi, menurut Salimbene, justru bisa menimbulkan efek psikologis negatif bagi petugas. Petugas merasa jauh dari pusat kekuasaan dan kurang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Akibatnya, muncul rasa tidak memiliki terhadap kebijakan organisasi, yang pada gilirannya menurunkan motivasi dan kinerja individu. Ketika polisi lapangan merasa sekadar pelaksana perintah, kreativitas dan empati sosialnya melemah.
Di sisi lain, ketika organisasi lebih terbuka dan desentralistik, muncul kepercayaan antar-level jabatan. Hubungan antara atasan dan bawahan lebih bersifat kolaboratif daripada komando. Polisi yang merasa dipercaya cenderung lebih bertanggung jawab dan lebih proaktif dalam bertugas. Inilah bentuk kinerja efektif yang ditekankan oleh banyak lembaga penegak hukum modern di Amerika.
Ilustrasi polisi Amerika Serikat Foto: AFP/ Timothy A. Clary
Dalam perspektif Salimbene, efektivitas polisi seharusnya diukur bukan hanya dari angka kriminalitas yang menurun, melainkan juga dari sejauh mana polisi mampu membangun kepercayaan dan rasa aman di komunitasnya. Struktur hierarkis yang tidak adaptif bisa menghambat pencapaian tujuan ini. Oleh karena itu, pembenahan kinerja kepolisian tidak cukup hanya mengubah pangkat atau jumlah jabatan, tetapi juga mengubah cara pandang terhadap fungsi hierarki itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Implikasinya jelas: kepolisian yang ingin tetap relevan di masa depan harus menyeimbangkan antara struktur dan fleksibilitas. Hierarki masih dibutuhkan untuk menjaga sistem tanggung jawab dan kendali, tetapi tanpa mengorbankan kemampuan organisasi untuk belajar dan beradaptasi. Polisi masa kini dituntut menjadi pelayan masyarakat yang cerdas, bukan sekadar prajurit yang patuh perintah.
Salimbene menegaskan, “Organisasi kepolisian yang besar dan kompleks belum tentu lebih efektif daripada yang kecil dan sederhana.” Pesan ini menohok karena mengingatkan bahwa keberhasilan polisi tidak diukur dari megahnya struktur, tetapi dari kemampuan institusinya berinteraksi secara manusiawi dengan publik yang mereka layani. Polisi yang efektif tidak yang paling kuat dalam komando, tetapi yang paling cepat memahami denyut masyarakat.