Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
15 Ramadhan 1446 HSabtu, 15 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Ketegangan Trump-Zelensky: Masa Depan Dukungan AS untuk Ukraina
1 Maret 2025 15:57 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Syaefunnur Maszah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky pada 28 Februari 2025 berlangsung dalam atmosfer yang jauh dari kesopanan diplomatik pada umumnya. Dihadiri juga oleh Wakil Presiden JD Vance, diskusi yang seharusnya menjadi forum strategis justru berubah menjadi ajang perdebatan sengit yang menunjukkan dua kepentingan yang saling tarik-menarik. Trump, dengan gaya khasnya yang tanpa basa-basi, mempertanyakan secara langsung apakah AS masih perlu memberikan dukungan tanpa batas kepada Ukraina. Zelensky, yang datang dengan harapan mendapatkan komitmen lebih kuat dari Washington, justru harus berhadapan dengan tekanan yang tidak biasa dari pemimpin negara yang selama ini menjadi pendukung utama negaranya.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana artikel The Washington Post berjudul "Contentious Trump-Zelensky Meeting Threatens U.S. Support for Ukraine" oleh Michael Birnbaum dan Matt Viser, pertemuan ini mencerminkan realitas baru dalam hubungan AS-Ukraina. Trump menegaskan bahwa Washington tidak akan lagi memberikan bantuan tanpa prasyarat yang jelas, sementara Zelensky berusaha meyakinkan bahwa Ukraina tidak hanya membutuhkan dukungan, tetapi juga berperan sebagai benteng pertahanan bagi kepentingan Barat di Eropa Timur. Ketegangan mencapai puncaknya ketika Trump dengan nada tajam menyatakan bahwa AS “tidak akan selamanya menjadi ATM bagi negara lain,” sebuah pernyataan yang jelas mengejutkan Zelensky.
Zelensky, yang selama ini terbiasa dengan dukungan AS di bawah kepemimpinan sebelumnya, terpaksa mengubah pendekatannya. Tidak lagi hanya berbicara tentang ancaman Rusia, ia harus meyakinkan bahwa Ukraina mampu membawa keuntungan strategis bagi AS. Meski tetap mempertahankan gestur diplomatiknya, Zelensky tidak bisa menyembunyikan ekspresi frustrasi atas perubahan sikap Washington yang semakin menuntut konkretisasi dari Kyiv. Ia bahkan beberapa kali membalas pernyataan Trump dengan nada yang lebih tegas dari biasanya, menandakan bahwa perdebatan ini bukan sekadar diplomasi biasa, tetapi pertarungan kepentingan yang nyata.
ADVERTISEMENT
Dari perspektif Trump, pendekatan ini sejalan dengan visinya tentang politik luar negeri yang lebih pragmatis. Ia tidak ingin AS terjebak dalam komitmen tanpa batas yang tidak memberikan manfaat langsung bagi negaranya. Dengan menekan Ukraina agar menunjukkan lebih banyak hasil nyata, Trump berusaha memastikan bahwa bantuan yang diberikan benar-benar berkontribusi pada stabilitas global, bukan sekadar menguras sumber daya AS. Ini bukan berarti AS ingin meninggalkan Ukraina, tetapi Trump ingin membentuk ulang hubungan ini agar lebih berbasis kepentingan timbal balik.
Implikasi dari pertemuan ini bagi hubungan AS-Ukraina sangat kompleks. Secara positif, ini bisa menjadi momentum bagi Kyiv untuk memperkuat strategi politik dan militernya secara lebih mandiri. Dengan tuntutan AS yang semakin ketat, Ukraina harus membangun kepercayaan internasional yang lebih luas, tidak hanya bergantung pada Washington. Namun, di sisi lain, perubahan kebijakan AS yang lebih transaksional ini dapat melemahkan posisi Ukraina di hadapan Rusia, terutama jika negara-negara Eropa lainnya tidak segera mengambil peran yang lebih besar dalam mendukung Kyiv.
ADVERTISEMENT
Lebih luas lagi, peristiwa ini memberikan gambaran baru tentang bagaimana diplomasi global bergerak di era keterbukaan tanpa filter. Transparansi yang sering kali keras dan konfrontatif bisa jadi lebih efektif dalam membangun hubungan yang berkelanjutan dibanding retorika diplomatik yang penuh basa-basi. Dunia kini menyaksikan bahwa negosiasi antarnegara tidak lagi hanya tentang kesopanan, tetapi juga tentang kejujuran dalam menegosiasikan kepentingan nasional.
Ke depan, pertemuan ini bisa menjadi preseden bagi pendekatan diplomatik yang lebih realistis dan berbasis hasil. Ketika para pemimpin dunia berani menyatakan ekspektasi mereka secara gamblang, hubungan antarnegara bisa menjadi lebih jelas dan terarah. Dengan cara ini, diplomasi tidak hanya menjadi alat menjaga hubungan baik, tetapi juga sarana menciptakan stabilitas global yang lebih kuat dan bertanggung jawab.
ADVERTISEMENT