Konten dari Pengguna

Ketidakadilan: Akar Kekacauan Sosial

Syaefunnur Maszah
Sedang riset IM Doktoral, Sekretaris Jenderal Parsindo, & Wakil Ketua DPC Peradi.
11 April 2025 17:07 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syaefunnur Maszah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Ketidakadilan mengancam keadílàn di manapun (Sumber: John Cameron. Under the Unsplash License)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Ketidakadilan mengancam keadílàn di manapun (Sumber: John Cameron. Under the Unsplash License)
ADVERTISEMENT
Ketidakadilan kerap menjadi pemicu kegaduhan dalam masyarakat. Ketimpangan ekonomi, diskriminasi, dan praktik korupsi menimbulkan frustrasi yang memuncak menjadi perlawanan terhadap tatanan sosial. Immanuel Kant menegaskan bahwa keadilan bukan sekadar cita‑cita, melainkan prinsip moral yang wajib diwujudkan dalam setiap tindakan manusia agar terwujud keharmonisan bersama.
ADVERTISEMENT
Dalam tradisi Islam klasik, Imam al‑Ghazzali menyebut ‘adl (keadilan) sebagai keseimbangan yang memelihara keharmonisan alam semesta dan hubungan antarmanusia. Baginya, ketidakadilan merusak tatanan sosial dan mengundang murka Ilahi. Oleh karena itu, setiap individu—baik pemimpin maupun warga—diharuskan menegakkan keadilan dengan setulus‑tulusnya.
Penegakan keadilan membawa beragam manfaat. Kepercayaan publik terhadap lembaga negara dan sistem hukum meningkat, menciptakan stabilitas politik dan sosial. Ekonomi pun tumbuh lebih inklusif; ketika hak semua lapisan masyarakat dihargai, produktivitas dan inovasi akan melonjak. Solidaritas antarkelompok pun menguat, mengurangi potensi gesekan horizontal.
Meski demikian, penerapan prinsip keadilan sering kali dihadapkan pada ketegangan antara kesetaraan dan penghargaan atas usaha individu. Misalnya, program subsidi atau pembagian keuntungan yang merata dapat menurunkan motivasi bagi mereka yang berinovasi atau bekerja lebih keras, karena mereka merasa tidak memperoleh imbalan sesuai kontribusinya. Di tingkat global, upaya menciptakan keseimbangan perdagangan—seperti pengenaan tarif proteksionis demi melindungi industri dalam negeri—sering memicu sengketa dagang dan ketegangan diplomatik ketika negara lain menilai kebijakan tersebut merugikan kepentingan mereka.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks perumusan hukum dan kebijakan publik, ijtihâd berperan sebagai alat untuk menyesuaikan prinsip-prinsip keadilan Islam dengan tantangan zaman. Ijtihâd bukan sekadar menafsirkan teks secara kaku, melainkan mengintegrasikan pertimbangan sosiologis, ekonomi, dan budaya setempat agar keputusan yang dihasilkan benar‑benar adil dan aplikatif. Dengan demikian, warisan hukum Islam tetap hidup dan relevan—mengalir bersama perubahan zaman—tanpa meninggalkan esensi keadilan yang diajarkan oleh al‑Qur’an dan sunnah.
Al‑Qur’an dalam Surat An‑Nisâ’ ayat 58 menegaskan:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.”
Ayat ini menjadi pijakan utama menegakkan keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Contoh empiris penerapan keadilan yang berhasil dapat dilihat pada program microfinance di Bangladesh. Melalui akses kredit kecil tanpa agunan, jutaan keluarga miskin—terutama perempuan—mampu memulai usaha, meningkatkan pendapatan, dan keluar dari kemiskinan struktural. Sebaliknya, ketidakadilan sistemik tampak jelas dalam krisis Venezuela, di mana penguasaan sumber daya oleh segelintir elite memperparah hiperinflasi dan kelangkaan kebutuhan dasar, menciptakan penderitaan massal.
ADVERTISEMENT
Ke depan, tantangan utama adalah memadukan prinsip keadilan universal dengan realitas lokal. Negara berkembang perlu merancang kebijakan sosial dan ekonomi yang pro‑rakyat tanpa mengabaikan insentif bagi pelaku usaha. Di tingkat individu, pendidikan karakter dan pemahaman agama yang mendalam akan menumbuhkan kesadaran kolektif tentang pentingnya keadilan.
Meski rintangan besar menghadang, optimisme tetap terjaga. Kesadaran bersama bahwa ketidakadilan adalah sumber kekacauan memotivasi pemerintah, sektor swasta, dan komunitas untuk bersinergi menegakkan keadilan. Dengan komitmen berkelanjutan, peradaban yang adil, harmonis, dan berkelanjutan bukan lagi sekadar impian, melainkan tujuan yang dapat dicapai bersama.