Konten dari Pengguna

Kontrol Yudisial terhadap Kekuasaan Presiden di Amerika dan Indonesia

Syaefunnur Maszah
Sedang riset IM Doktoral Unpak, Sekretaris Jenderal Parsindo, & Wakil Ketua DPC Peradi.
10 Februari 2025 11:34 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syaefunnur Maszah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menarik tulisan berjudul A Quick Guide to the Lawsuits Against the Trump Orders, disusun oleh Mattathias Schwartz dan Seamus Hughes, dengan kontribusi dari Charlie Savage, Zach Montague, Madeleine Ngo, dan Eileen Sullivan, yang diterbitkan di The New York Times pada 9 Februari 2025. Artikel ini mengulas berbagai gugatan hukum terhadap kebijakan eksekutif Presiden Donald Trump, mencakup isu imigrasi, pembekuan anggaran, pemecatan pegawai federal, hak transgender, serta penyelidikan terhadap kerusuhan 6 Januari 2021. Dalam sistem hukum Amerika Serikat, keputusan presiden yang dinilai melanggar konstitusi atau hukum yang berlaku dapat langsung digugat di pengadilan, baik oleh individu, organisasi, maupun pemerintah daerah. Proses ini menjadi salah satu mekanisme checks and balances dalam demokrasi Amerika.
ADVERTISEMENT
Mekanisme gugatan terhadap kebijakan eksekutif presiden di Amerika Serikat berjalan berdasarkan prinsip konstitusionalisme dan supremasi hukum. Setiap keputusan presiden dapat diuji oleh lembaga yudikatif, terutama jika dianggap melanggar hak konstitusional warga negara atau bertentangan dengan undang-undang yang sudah disahkan oleh Kongres. Pengadilan dapat mengeluarkan putusan sementara yang menunda kebijakan tersebut atau bahkan membatalkannya secara permanen. Gugatan terhadap kebijakan imigrasi Trump, misalnya, berhasil menghambat penerapan kebijakan pencabutan kewarganegaraan otomatis berdasarkan kelahiran melalui perintah pengadilan. Demikian pula, keputusan untuk membekukan dana federal dan mengubah sistem pegawai negeri mendapat perlawanan dari berbagai pihak yang mengajukan tuntutan hukum.
Implikasi dari sistem ini menunjukkan bahwa seorang presiden di Amerika Serikat tidak memiliki kekuasaan absolut, karena kebijakannya dapat diawasi dan dibatalkan oleh pengadilan. Hal ini mencerminkan kuatnya prinsip pemisahan kekuasaan yang menempatkan eksekutif, legislatif, dan yudikatif sebagai tiga pilar utama pemerintahan yang saling mengawasi. Selain itu, sistem ini juga memungkinkan kelompok masyarakat sipil, pemerintah daerah, hingga individu untuk menempuh jalur hukum ketika merasa dirugikan oleh kebijakan pemerintah pusat.
ADVERTISEMENT
Gugatan terhadap keputusan presiden Amerika Serikat biasanya diajukan di pengadilan federal, baik di tingkat District Court (pengadilan tingkat pertama), Court of Appeals (pengadilan banding), atau langsung ke Mahkamah Agung (Supreme Court) jika melibatkan konstitusionalitas yang mendesak. Dengan demikian, demokrasi di Amerika tidak hanya ditentukan melalui pemilihan umum, tetapi juga melalui mekanisme hukum yang memberi ruang bagi perlawanan terhadap kebijakan yang dianggap merugikan atau inkonstitusional.
Di Indonesia, mekanisme gugatan terhadap keputusan presiden memiliki perbedaan signifikan dibandingkan dengan Amerika Serikat. Berdasarkan sistem hukum yang berlaku, keputusan presiden yang berupa peraturan atau kebijakan dapat diuji melalui Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi, tergantung pada sifat kebijakan tersebut. Namun, tidak semua keputusan presiden dapat langsung digugat, terutama yang bersifat diskresi. Misalnya, keputusan politik seperti reshuffle kabinet atau instruksi presiden sering kali tidak bisa dibatalkan melalui pengadilan. Dalam konteks kebijakan yang berdampak luas, masyarakat atau organisasi dapat mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi jika kebijakan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh perlawanan hukum terhadap kebijakan eksekutif di Indonesia adalah gugatan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Meskipun undang-undang ini bukan keputusan presiden secara langsung, pembentukannya yang menggunakan mekanisme omnibus law memicu gelombang protes dan gugatan dari masyarakat sipil. Mahkamah Konstitusi akhirnya menyatakan bahwa undang-undang tersebut bersifat inkonstitusional bersyarat, sehingga harus diperbaiki dalam jangka waktu tertentu. Kasus ini menunjukkan bahwa mekanisme hukum di Indonesia tetap memberikan ruang bagi pengujian kebijakan eksekutif, meskipun tidak sefleksibel sistem yang berlaku di Amerika Serikat.
Dalam perspektif demokrasi, adanya mekanisme gugatan terhadap kebijakan presiden merupakan indikator penting bagi negara hukum. Pakar hukum tata negara, Jimly Asshiddiqie, berpendapat bahwa sistem pengujian hukum di Indonesia masih perlu diperkuat agar lebih responsif terhadap dinamika kebijakan eksekutif. Menurutnya, pengadilan di Indonesia cenderung lebih lambat dalam merespons gugatan terhadap kebijakan pemerintah, sehingga sering kali putusan baru keluar setelah kebijakan sudah berjalan dalam waktu lama. Hal ini berbeda dengan sistem di Amerika Serikat, di mana pengadilan dapat segera mengeluarkan putusan sementara untuk menghentikan kebijakan sebelum diterapkan.
ADVERTISEMENT
Perbedaan ini menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia masih memiliki tantangan dalam memastikan keseimbangan antara kekuasaan eksekutif dan pengawasan hukum. Meskipun terdapat mekanisme judicial review, efektivitasnya masih dipengaruhi oleh faktor politik dan birokrasi. Oleh karena itu, penguatan sistem hukum dan independensi peradilan menjadi faktor krusial dalam menjaga demokrasi yang sehat. Demokrasi tidak hanya ditentukan oleh pemilihan umum, tetapi juga oleh seberapa besar ruang bagi warga negara untuk menantang kebijakan yang dianggap merugikan melalui jalur hukum.
Ilustrasi kontrol yudisial. (Foto/gambar: Radar Hukum)