Konten dari Pengguna

Kontroversi Rencana Trump di Gaza dan Implikasinya bagi Timur Tengah

Syaefunnur Maszah
Sedang riset IM Doktoral Unpak, Sekretaris Jenderal Parsindo, & Wakil Ketua DPC Peradi.
10 Februari 2025 13:38 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syaefunnur Maszah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Upaya Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, untuk memperkuat warisan kebijakan luar negerinya melalui normalisasi hubungan antara Arab Saudi dan Israel kembali menghadapi hambatan besar. Rencana ambisiusnya yang mengusulkan pemindahan dua juta warga Palestina dari Jalur Gaza justru berisiko memperburuk situasi di kawasan. Alih-alih mempercepat kesepakatan, gagasan ini mendapat reaksi keras dari dunia Arab, termasuk Arab Saudi, yang segera menolak proposal tersebut.
ADVERTISEMENT
Seperti termuat pada artikel "Trump’s Gaza Plan Complicates Hoped-for Saudi-Israeli Deal", diterbitkan oleh The New York Times pada 7 Februari 2025, dengan penulis Ismaeel Naar, Vivian Yee, dan Toqa Ezzedin, Trump ingin mengubah Gaza menjadi "Riviera Timur Tengah" setelah seluruh penduduknya dipindahkan. Namun, respons tegas Arab Saudi yang menolak rencana ini menunjukkan bahwa pendekatan Trump justru merusak peluang diplomasi yang ia harapkan.
Dari perspektif geopolitik, usulan ini berpotensi memperdalam ketegangan di Timur Tengah. Pemindahan paksa warga Palestina bukan hanya akan memperburuk krisis kemanusiaan, tetapi juga mengundang kecaman global. Negara-negara Arab, termasuk Saudi, berada dalam posisi yang sulit—di satu sisi ingin mempertahankan hubungan baik dengan AS dan Israel, namun di sisi lain harus menjaga kredibilitas mereka di mata dunia Muslim.
ADVERTISEMENT
Penolakan Saudi terhadap rencana ini dapat dianalisis dalam konteks politik kekuasaan dan Islam. Sebagai negara yang mengklaim kepemimpinan atas dunia Muslim, Arab Saudi tidak bisa mendukung kebijakan yang dianggap merugikan Palestina, terutama karena isu ini sangat sensitif bagi umat Islam di seluruh dunia. Selain itu, dengan stabilitas domestik yang juga dipertaruhkan, Riyadh tidak ingin memicu reaksi negatif dari kelompok Islamis maupun rakyatnya sendiri.
Dari perspektif demokrasi dan hak asasi manusia, usulan Trump mencerminkan kecenderungan pemimpin populis untuk mengabaikan prinsip dasar keadilan demi kepentingan politik jangka pendek. Pemindahan paksa suatu populasi melanggar berbagai konvensi internasional, termasuk Konvensi Jenewa. Dalam konteks ini, dunia harus belajar bahwa stabilitas tidak bisa dibangun di atas pelanggaran hak asasi manusia, dan demokrasi sejati harus mengutamakan perlindungan bagi kelompok yang rentan.
ADVERTISEMENT
Bagi negara-negara yang ingin meniru model demokrasi Barat, kasus ini juga memberikan pelajaran penting bahwa kebijakan luar negeri harus sejalan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan. Keputusan sepihak yang mengorbankan satu kelompok demi kepentingan politik lainnya hanya akan memperburuk ketegangan global dan memperlemah tatanan internasional yang berbasis keadilan dan hukum.
Kontroversi ini menunjukkan bahwa solusi bagi konflik Palestina-Israel tidak bisa hanya bergantung pada kesepakatan politik antara pemimpin negara-negara besar. Keberlanjutan perdamaian hanya dapat tercapai jika semua pihak yang terlibat, terutama rakyat Palestina sendiri, diberikan hak untuk menentukan masa depan mereka. Tanpa pendekatan yang inklusif dan berbasis keadilan, normalisasi hubungan antara Saudi dan Israel akan tetap menjadi ilusi yang sulit terwujud.
Presiden Trump mengajukan proposal Gaza bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Washington.(Foto: Eric Lee/The New York Times)