Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Korupsi di Indonesia: Warisan, Skandal, dan Jalan Keluar
5 Maret 2025 10:36 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Syaefunnur Maszah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Korupsi bukan sekadar kejahatan finansial, tetapi juga penyakit sosial yang telah mengakar dalam berbagai peradaban. Sejarah mencatat praktik korupsi sudah terjadi sejak era kerajaan kuno hingga era modern dengan berbagai bentuk, mulai dari penyuapan, nepotisme, hingga manipulasi kebijakan. Teori korupsi berkembang dari pendekatan moral, struktural, hingga ekonomi, seperti teori "Rent-Seeking" yang menjelaskan bagaimana pejabat menyalahgunakan jabatan untuk keuntungan pribadi. Di Indonesia, korupsi telah ada sejak zaman kolonial, terus berkembang dalam pemerintahan Orde Lama, mengakar kuat di era Orde Baru, dan tetap subur meski reformasi telah melahirkan berbagai lembaga antikorupsi.
ADVERTISEMENT
Sejarah korupsi di Indonesia diwarnai oleh skandal besar yang mengguncang perekonomian negara. Pada era Orde Baru, korupsi bersifat sistematis dengan kontrol kekuasaan yang kuat, seperti skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang merugikan negara lebih dari triliunan rupiah. Pasca-reformasi, praktik korupsi semakin terbuka tetapi tetap terjadi dengan pola yang lebih kompleks. Kasus Pertamina dengan BBM oplosan yang merugikan negara triliunan rupiah menjadi contoh bagaimana korupsi tetap berkembang di era digital dengan berbagai modus. Penegakan hukum yang lemah serta kolusi antara pejabat, aparat, dan pengusaha membuat korupsi semakin sulit diberantas.
Banyak pihak menilai bahwa korupsi telah menjadi budaya di Indonesia. Pendapat ini bukan tanpa dasar, mengingat praktik suap-menyuap dan nepotisme telah menjadi kebiasaan dalam birokrasi maupun sektor swasta. Faktor utama yang memperparah korupsi adalah lemahnya integritas aparat, sistem pengawasan yang longgar, serta mentalitas "asal dapat untung" yang diwariskan dari generasi ke generasi. Indonesia secara konsisten menempati peringkat buruk dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) global, dengan skor yang selalu berada di bawah rata-rata dunia. Ini menunjukkan bahwa meskipun reformasi telah berlangsung lebih dari dua dekade, korupsi tetap menjadi tantangan utama.
ADVERTISEMENT
Dampak destruktif korupsi terasa nyata bagi rakyat kecil. Infrastruktur yang rusak, layanan publik yang buruk, serta biaya hidup yang semakin mahal adalah sebagian kecil dari akibat korupsi. Anggaran negara yang seharusnya digunakan untuk pembangunan justru dikorupsi, menyebabkan ketimpangan sosial semakin tajam. Dalam perspektif rakyat, korupsi bukan hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga merusak moral bangsa, menumbuhkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah, dan menciptakan ketidakadilan sosial. Masyarakat sering kali merasa tidak berdaya menghadapi praktik korupsi karena aparat penegak hukum sendiri sering kali terlibat dalam skandal korupsi yang mereka seharusnya berantas.
Sebaliknya, negara-negara dengan tingkat korupsi rendah menunjukkan keberhasilan dalam membangun ekonomi dan kesejahteraan rakyatnya. Negara seperti Denmark, Finlandia, dan Selandia Baru konsisten berada di peringkat teratas dalam indeks antikorupsi global. Kesamaan dari negara-negara ini adalah sistem transparansi yang kuat, penegakan hukum yang tegas, serta budaya kerja yang mengedepankan akuntabilitas. Pendidikan antikorupsi juga ditanamkan sejak dini, sehingga kesadaran moral terhadap praktik korupsi menjadi bagian dari karakter masyarakat.
ADVERTISEMENT
Indonesia bisa belajar dari negara-negara ini dengan mengedepankan transparansi dalam pengelolaan keuangan negara, memperkuat sistem hukum, serta membangun budaya antikorupsi yang kuat sejak usia dini. Penguatan peran masyarakat sipil dalam mengawasi kebijakan publik juga penting untuk menekan praktik korupsi. Media dan teknologi digital dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk mengungkap kejahatan korupsi agar tidak mudah ditutup-tutupi oleh penguasa. Reformasi birokrasi yang serius diperlukan untuk menghilangkan celah penyalahgunaan kekuasaan dalam pemerintahan.
Namun, perubahan sistem saja tidak cukup tanpa perubahan budaya. Pendekatan budaya atau cultural approach dalam pemberantasan korupsi harus dimulai dari level terkecil, yaitu keluarga dan pendidikan dasar. Masyarakat harus dibangun dengan kesadaran bahwa korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga penghancur masa depan bangsa. Nilai-nilai kejujuran, kerja keras, dan tanggung jawab harus ditanamkan sebagai norma sosial yang lebih tinggi daripada keuntungan pribadi. Tanpa perubahan budaya ini, upaya hukum dan regulasi hanya akan menjadi formalitas yang mudah dimanipulasi.
ADVERTISEMENT
Korupsi bukan takdir yang harus diterima. Bangsa Indonesia memiliki modal besar untuk keluar dari jerat korupsi, baik dari segi sumber daya manusia maupun warisan nilai-nilai luhur yang menolak ketidakadilan. Dengan komitmen bersama dari pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, korupsi bisa ditekan secara signifikan. Perubahan memang tidak mudah dan butuh waktu, tetapi dengan kesadaran kolektif, Indonesia dapat keluar dari stigma sebagai negara dengan budaya korupsi dan bertransformasi menjadi bangsa yang lebih berintegritas.