Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.7
26 Ramadhan 1446 HRabu, 26 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Membaca Tuntas: Tradisi Intelektual dan Jalan Ulil Albab
21 Maret 2025 11:50 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Syaefunnur Maszah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Membaca tuntas adalah salah satu pilar utama dalam membangun tradisi intelektual yang kokoh. Intelektual bukan sekadar orang berpendidikan tinggi, tetapi mereka yang memiliki kebiasaan berpikir kritis, mendalam, dan reflektif. Dalam Islam, konsep ini sejalan dengan ulil albab, yakni orang-orang yang menggunakan akalnya secara optimal, sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an. Namun, di tengah arus informasi yang deras, kebiasaan membaca tuntas semakin tergerus, digantikan dengan budaya membaca sepintas yang sering kali melahirkan kesimpulan asumtif dan dangkal.
ADVERTISEMENT
Konsep ulil albab banyak disebut dalam Al-Qur’an, salah satunya dalam Surah Ali Imran ayat 190: "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (ulil albab)." Tafsir Al-Misbah oleh Quraish Shihab menjelaskan bahwa ulil albab adalah mereka yang merenungkan segala fenomena secara mendalam, tidak sekadar melihat permukaan, tetapi memahami esensi dan hikmah di baliknya. Ini menunjukkan bahwa kebiasaan membaca dan mengkaji secara mendalam adalah karakter utama orang-orang yang berilmu.
Dalam tradisi bangsa maju, membaca tuntas dan kajian mendalam menjadi fondasi utama perkembangan intelektual. Jepang, misalnya, memiliki budaya membaca yang kuat, baik di kalangan akademisi maupun masyarakat umum. Di Jerman, kebiasaan membaca buku serius masih tinggi, dengan perpustakaan sebagai pusat diskusi ilmiah. Amerika Serikat pun memiliki tradisi akademik yang menekankan critical reading, di mana mahasiswa didorong untuk membaca, memahami, dan menganalisis literatur secara kritis sebelum menyusun argumen.
ADVERTISEMENT
Secara teoretis, pentingnya membaca tuntas didukung oleh konsep deep reading yang dijelaskan oleh Maryanne Wolf dalam bukunya Proust and the Squid (2007). Ia menekankan bahwa membaca secara mendalam membangun kapasitas berpikir analitis dan empati yang lebih baik. Dalam Islam, konsep ini sejalan dengan pemikiran Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an (2011), di mana ia menegaskan bahwa memahami ilmu tidak bisa setengah-setengah, tetapi harus melalui kajian komprehensif agar tidak terjebak dalam kesalahpahaman.
Implikasi dari kebiasaan membaca tuntas sangat besar bagi perkembangan individu dan bangsa. Individu yang terbiasa membaca dengan mendalam akan memiliki pemahaman yang lebih luas, daya analisis yang lebih tajam, serta sikap yang lebih bijaksana dalam menghadapi perbedaan pendapat. Secara kolektif, bangsa yang memiliki budaya membaca yang baik akan melahirkan masyarakat yang lebih rasional, kritis, dan inovatif dalam mencari solusi atas berbagai tantangan.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, patologi sosial akibat kebiasaan membaca sepotong-sepotong semakin mengkhawatirkan. Banyak orang hanya membaca judul atau cuplikan berita lalu langsung mengambil kesimpulan dan menyebarkannya tanpa verifikasi. Ini berkontribusi pada maraknya hoaks dan polarisasi sosial. Dalam politik dan agama, fenomena ini menyebabkan banyaknya pemikiran keliru yang lahir dari pemahaman setengah-setengah.
Untuk menghindari jebakan ini, budaya membaca tuntas harus ditanamkan sejak dini. Kurikulum pendidikan harus mendorong siswa untuk tidak hanya membaca teks, tetapi juga menganalisis dan mendiskusikan isinya. Perpustakaan dan ruang baca harus dihidupkan kembali sebagai pusat literasi, bukan sekadar tempat meminjam buku. Di era digital, literasi media juga harus diajarkan agar masyarakat tidak mudah terprovokasi oleh informasi yang menyesatkan.
Membaca tuntas bukan sekadar kebiasaan, tetapi sebuah tradisi intelektual yang menentukan kemajuan suatu bangsa. Sebagaimana ulil albab dalam Al-Qur’an, kita harus membangun kebiasaan berpikir mendalam dan kritis agar tidak terjebak dalam kesimpulan instan yang menyesatkan. Jika bangsa ini ingin maju, maka kebiasaan membaca tuntas harus menjadi budaya, bukan pengecualian.
ADVERTISEMENT