Konten dari Pengguna

Membantah Paradoks Religiusitas & Integritas Publik

Syaefunnur Maszah
Sedang riset IM Doktoral, Sekretaris Jenderal Parsindo, & Wakil Ketua DPC Peradi.
22 April 2025 11:59 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syaefunnur Maszah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Religiusitas  (Sumber: Ibrahim Uzun. Under the Unsplash License)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Religiusitas (Sumber: Ibrahim Uzun. Under the Unsplash License)
ADVERTISEMENT
Narasi yang menyatakan bahwa negara-negara paling religius justru berada di peringkat terbawah dalam kebersihan pemerintahan sementara negara-negara dengan religiusitas rendah memimpin dalam integritas publik, merupakan generalisasi yang tidak tepat. Perbandingan semacam ini menyederhanakan kompleksitas sosial-politik dan mengabaikan variabel historis, budaya, dan institusional yang berperan besar dalam membentuk karakter sebuah negara. Menyalahkan religiusitas sebagai faktor degradasi integritas justru berisiko menstigmatisasi nilai-nilai keagamaan yang pada hakikatnya mengajarkan kejujuran dan tanggung jawab sosial.
ADVERTISEMENT
Anggapan bahwa rendahnya korupsi di negara-negara Skandinavia adalah akibat dari minimnya religiusitas penduduknya adalah klaim yang tidak berdasar. Integritas publik di negara-negara tersebut tumbuh dari sistem demokrasi mapan, tingkat pendidikan tinggi, dan penegakan hukum yang konsisten, bukan dari ketiadaan nilai-nilai spiritual. Bahkan, nilai-nilai seperti keadilan sosial dan kepercayaan publik yang kuat di Skandinavia sejatinya sejalan dengan ajaran etika agama mana pun. Hanya karena masyarakatnya tidak menampakkan ekspresi religius secara eksplisit bukan berarti mereka tidak memiliki akar nilai yang spiritual.
Pernyataan bahwa agama hanya menjadi simbol politik dan gagal menjadi sumber etika sosial mengabaikan kenyataan bahwa banyak tokoh dan gerakan keagamaan justru menjadi pionir dalam perjuangan keadilan dan antikorupsi. Di berbagai belahan dunia, tokoh agama terlibat dalam advokasi hak asasi manusia, pendidikan, hingga pelayanan publik yang bersih dan transparan. Menyalahkan ekspresi keagamaan kolektif atas lemahnya institusi negara adalah kekeliruan logika yang memindahkan akar masalah dari sistem ke nilai.
ADVERTISEMENT
Masalah utama yang menyebabkan rendahnya integritas publik di negara-negara tertentu bukan terletak pada tingkat religiusitas masyarakat, melainkan pada lemahnya institusi, budaya patronase, korupsi sistemik, dan absennya akuntabilitas. Justru di tengah kegagalan negara dalam menegakkan keadilan, komunitas agama sering menjadi benteng terakhir yang menjaga moral publik. Mengabaikan kontribusi nyata komunitas religius dalam menyelesaikan masalah sosial adalah bentuk bias sekuler yang reduktif.
Perlu disadari pula bahwa penghayatan spiritual tidak selalu kasat mata. Di banyak masyarakat religius, nilai-nilai seperti amanah, kejujuran, dan tanggung jawab dijalankan dalam kehidupan sehari-hari tanpa harus menjadi indikator statistik global. Religiusitas bukan hanya soal ekspresi simbolik atau ritual, melainkan soal orientasi nilai yang membentuk karakter individu. Menuduh bahwa agama kuat sebagai simbol namun lemah sebagai etika adalah premis yang berangkat dari kekecewaan terhadap realitas politik, bukan penilaian objektif terhadap substansi ajaran agama itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Kita juga harus kritis terhadap standar yang digunakan oleh lembaga-lembaga global dalam menilai korupsi atau integritas publik. Apa yang dianggap bersih secara sistemik belum tentu menjangkau dimensi etika personal atau keluarga. Negara-negara dengan indeks korupsi rendah tidak lantas bebas dari krisis moral lain seperti hedonisme ekstrem, kehancuran institusi keluarga, atau meningkatnya kesenjangan sosial yang tersembunyi di balik kemakmuran. Maka, integritas tidak boleh dipahami hanya dari perspektif administratif.
Agama dalam masyarakat religius bukanlah sekadar alat politik, tetapi merupakan sumber nilai yang mengakar dalam struktur sosial dan psikologis masyarakat. Bahkan ketika institusi negara gagal menjalankan fungsinya, agama seringkali mengisi kekosongan itu dengan jaringan solidaritas sosial, lembaga pendidikan, dan kegiatan kemanusiaan. Reduksi agama menjadi sekadar simbol politik adalah bentuk ketidakadilan epistemik terhadap peran luas agama dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Apa yang tampak sebagai paradoks bisa jadi hanyalah bias pengamatan terhadap gejala permukaan. Di satu sisi, negara yang religius mungkin gagal membangun institusi yang kuat, tetapi bukan berarti ajaran agama yang dianut masyarakatnya lemah. Sebaliknya, negara sekuler bisa saja berhasil secara administratif tetapi mengalami kekosongan nilai dalam aspek kehidupan lainnya. Maka membandingkan religiusitas dan integritas publik secara langsung tanpa memperhitungkan konteks adalah pendekatan yang tidak adil dan menyimpang dari prinsip analisis ilmiah yang seimbang.
Sebagai antitesis dari narasi global yang bias, penting untuk menegaskan bahwa akar moral dalam agama tetap relevan dan diperlukan dalam membangun masyarakat berintegritas. Bukan agama yang harus disalahkan, melainkan cara kita membentuk budaya politik, sistem pendidikan, dan institusi yang mendukung nilai-nilai luhur tersebut. Agama, bila dihidupi dengan benar, justru dapat menjadi kekuatan transformatif yang membawa bangsa menuju keadaban dan kemajuan.
ADVERTISEMENT