Konten dari Pengguna

Mengukur Integritas Pendidikan: Cermin Retak Masa Depan Bangsa?

Syaefunnur Maszah
Sedang riset IM Doktoral, Sekretaris Jenderal Parsindo, & Wakil Ketua DPC Peradi.
30 April 2025 9:29 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syaefunnur Maszah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Pendidikan cermin masa depan (Sumber: Hoang Loc. Under the Unsplash License)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Pendidikan cermin masa depan (Sumber: Hoang Loc. Under the Unsplash License)
ADVERTISEMENT
Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis Survei Penilaian Integritas Pendidikan (SPI) tahun 2024, publik dikejutkan oleh skala dan kedalaman temuan yang diungkap. Melibatkan hampir setengah juta responden dari kalangan siswa, orang tua, pendidik, hingga kepala lembaga pendidikan di 35.650 sekolah dan 1.238 perguruan tinggi di seluruh Indonesia, survei ini bukan sekadar potret sesaat, melainkan cerminan struktur moral yang tengah rapuh. Lonjakan jumlah responden dibanding tahun sebelumnya memperkuat validitas temuan, sekaligus menunjukkan keseriusan KPK dalam membaca denyut integritas di sektor yang seharusnya menjadi fondasi utama peradaban.
ADVERTISEMENT
Temuan utama dari SPI 2024 menyoroti tren mengkhawatirkan: skor indeks integritas menurun dari 73,7 di tahun 2023 menjadi 69,5 pada 2024. Ini bukan hanya penurunan angka, tapi penurunan kepercayaan publik terhadap ekosistem pendidikan. Ketika hampir 45 persen siswa mengaku mencontek dan 43 persen universitas melaporkan dosennya melakukan plagiarisme untuk publikasi jurnal, kita sedang berhadapan dengan degradasi nilai yang sistemik dan struktural. Bahkan 12 persen sekolah mengakui praktik manipulasi dalam proses sertifikasi dan pencapaian kinerja guru. Ini bukan kasus-kasus tunggal, melainkan pola.
Sebagaimana diulas dalam artikel "KPK survey shows ‘integrity crisis’ in education sector", 30 April 2025, Dio Suhenda, The Jakarta Post, fenomena ini mengungkap praktik suap dan penyalahgunaan wewenang yang melibatkan pendidik. Mulai dari manipulasi nilai, perlakuan istimewa pada siswa yang membayar, hingga pemanfaatan fasilitas sekolah untuk kepentingan pribadi. Artikel ini menekankan bahwa akar persoalan bukan hanya pada individu, melainkan pada lemahnya pengawasan dan budaya permisif yang berkembang di dalam sistem pendidikan itu sendiri. Learning point yang penting dari sini adalah bahwa integritas tidak bisa dibangun secara insidental; ia harus menjadi bagian dari desain institusional dan pembelajaran sejak dini.
ADVERTISEMENT
Dalam pandangan Prof. Robert Klitgaard, pakar tata kelola dan korupsi dari Claremont Graduate University, korupsi tumbuh subur di tempat di mana ada monopoli kekuasaan, diskresi tanpa akuntabilitas, dan rendahnya transparansi—formula yang ia rumuskan sebagai corruption = monopoly + discretion – accountability. Bila kita amati, institusi pendidikan kita banyak yang memenuhi unsur tersebut: kepala sekolah atau rektor sering memegang kekuasaan besar dalam pengambilan keputusan, sementara mekanisme pertanggungjawaban internal dan eksternal masih lemah.
Teori perilaku terencana (Theory of Planned Behavior) yang dikembangkan Icek Ajzen juga dapat menjelaskan mengapa perilaku curang dan koruptif terus berkembang. Menurut teori ini, niat seseorang untuk berperilaku ditentukan oleh sikap terhadap perilaku tersebut, norma subjektif, dan persepsi terhadap kontrol diri. Bila budaya sekolah membenarkan mencontek sebagai “kecerdikan”, dan tidak ada sanksi sosial yang signifikan, maka perilaku tersebut akan semakin mengakar. Ini memperkuat argumen bahwa reformasi pendidikan tidak cukup dengan menambah kurikulum moral, tetapi harus disertai perubahan budaya kelembagaan.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, kita tidak boleh larut dalam pesimisme. Fakta bahwa KPK secara berkala melaksanakan survei SPI adalah sinyal positif bahwa transparansi dan evaluasi masih menjadi komitmen negara. Lebih jauh, peningkatan partisipasi publik dalam survei ini mencerminkan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk terlibat dalam perbaikan tata kelola pendidikan. Momen ini bisa menjadi batu loncatan untuk mengembangkan sistem insentif yang mendorong integritas, termasuk bagi guru dan dosen yang jujur dan berdedikasi.
Optimisme juga bisa dibangun dari inisiatif-inisiatif lokal yang berhasil membangun budaya akademik bersih. Beberapa sekolah telah menerapkan sistem pelaporan terbuka untuk kecurangan akademik, sementara beberapa universitas menggandeng lembaga independen untuk mengaudit kualitas penelitian dan mencegah plagiarisme. Gerakan kecil ini harus dirajut menjadi kebijakan nasional yang kuat, dengan kolaborasi antara Kementerian Pendidikan, KPK, dan masyarakat sipil.
ADVERTISEMENT
Pendidikan adalah proyek jangka panjang, dan krisis integritas tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan teknokratis semata. Ia butuh revolusi kultural yang melibatkan semua pemangku kepentingan—dari rumah tangga, ruang kelas, hingga ruang kebijakan. Saat integritas ditanamkan sebagai nilai hidup, bukan hanya slogan pelatihan, maka kita bisa berharap akan lahir generasi yang tidak hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga kuat secara moral.
Akhirnya, survei SPI ini semestinya menjadi refleksi kolektif, bukan sekadar berita yang lewat. Jika pendidikan terus dibiarkan menjadi ladang kompromi nilai, maka bangsa ini sedang membangun masa depan di atas fondasi yang retak. Sebaliknya, jika hasil survei ini dijadikan peta jalan untuk reformasi menyeluruh, maka kita sedang menanam benih harapan yang akan dituai anak cucu kita kelak.
ADVERTISEMENT