Konten dari Pengguna

Merajut Kembali Ukhuwah Islamiyah di Tengah Perbedaan

Syaefunnur Maszah
Sedang riset IM Doktoral, Sekretaris Jenderal Parsindo, & Wakil Ketua DPC Peradi.
7 April 2025 15:05 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syaefunnur Maszah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Ukhuwah Islamiyah (Foto: Dok. Syaefunnur Maszah)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Ukhuwah Islamiyah (Foto: Dok. Syaefunnur Maszah)
ADVERTISEMENT
Dalam sejarah panjang umat Islam, ukhuwah islamiyah telah menjadi fondasi persatuan yang kokoh di antara sesama Muslim. Konsep ini mengakar kuat dalam ajaran Al-Qur’an dan sunnah, menegaskan bahwa semua Muslim adalah bersaudara, sebagaimana ditegaskan dalam Surah Al-Hujurat ayat 10: "Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara...". Namun, realitas kontemporer menunjukkan bahwa persaudaraan tersebut sering kali rapuh oleh perbedaan mazhab, manhaj, organisasi, bahkan pilihan politik. Seolah-olah perbedaan tersebut menjadi tembok pemisah yang membatalkan makna ukhuwah.
ADVERTISEMENT
Fenomena yang mengkhawatirkan adalah kecenderungan sebagian Muslim menganggap kelompok lain tidak islami hanya karena berbeda pandangan fiqih atau tidak satu barisan dalam pilihan organisasi. Sebagian bahkan mudah menuduh sesat, bid’ah, hingga kafir hanya karena tidak sefaham dalam metode dakwah atau tidak ikut tokoh yang mereka ikuti. Ironisnya, hal ini terjadi meski kelompok yang dituduh tetap konsisten dalam amal makruf dan menjauhi kemungkaran. Imam Yusuf al-Qaradawi dari Al-Azhar pernah mengingatkan, bahwa "Ikhtilaf dalam hal-hal furu’ adalah rahmat, bukan alasan untuk saling mengingkari atau memusuhi."
Perbedaan dalam tubuh umat Islam bukanlah fenomena baru. Dalam sejarah Islam klasik, para ulama besar seperti Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad bin Hanbal pun saling berbeda pendapat, namun dalam pendapatnya tetap saling menghormati. Perbedaan ini tidak pernah menjadi alasan untuk menafikan keislaman satu sama lain. Bahkan Syaikh Mahmud Syaltut, mantan Grand Syaikh Al-Azhar, mengakui validitas berbagai mazhab fiqih dalam Islam dan menyerukan persatuan di atas perbedaan.
ADVERTISEMENT
Dampak negatif dari pengingkaran terhadap kelompok lain yang tidak sepaham sangat nyata. Umat Islam menjadi saling curiga, bahkan dalam beberapa kasus terjadi gesekan sosial dan verbal. Persatuan umat tergantikan oleh fanatisme golongan. Akibatnya, potensi besar umat untuk berkontribusi dalam kemajuan bangsa dan dunia menjadi terhambat. Lebih jauh lagi, hal ini merusak citra Islam yang sejatinya membawa misi rahmatan lil alamin—rahmat bagi seluruh alam.
Islam adalah kebenaran yang universal, tidak terbatasi oleh waktu, wilayah, atau golongan. Al-Qur'an menyebut Nabi Muhammad sebagai "rahmat bagi seluruh alam" (QS. Al-Anbiya: 107). Artinya, nilai-nilai Islam berlaku untuk siapa pun dan di mana pun. Ulama modern seperti Prof. Tariq Ramadan menekankan bahwa keislaman bukan ditentukan oleh simbol atau afiliasi, melainkan oleh akhlak, keadilan, dan kebermanfaatan sosial. Ia menegaskan bahwa misi Islam adalah menjembatani, bukan memecah; menyatukan, bukan menyekat.
ADVERTISEMENT
Teori tauhid juga mengajarkan esensi keesaan yang mencakup kesatuan umat. Tauhid tidak hanya berarti pengesaan Allah, tapi juga menyeru pada kesatuan hati, arah, dan tujuan umat Islam. Ketika umat tercerai karena perbedaan identitas kecil, sesungguhnya mereka telah mencederai prinsip tauhid sosial. Tauhid menyatukan, sedangkan fanatisme golongan justru menciptakan sekat-sekat semu yang menjauhkan umat dari semangat Islam yang murni.
Dari fenomena ini, kita sebagai umat dapat belajar pentingnya menempatkan perbedaan sebagai kekayaan, bukan ancaman. Menerima keberagaman dalam Islam justru memperkuat daya tahan umat terhadap fitnah zaman. Dialog, saling menghormati, dan fokus pada nilai-nilai utama Islam seperti kejujuran, kasih sayang, dan keadilan harus menjadi prioritas. Umat Islam perlu kembali menghidupkan semangat ta’aruf, tafahum, dan ta’awun—saling mengenal, memahami, dan tolong-menolong.
ADVERTISEMENT
Umat Islam Indonesia, dengan segala keberagamannya, justru memiliki peluang besar untuk menjadi teladan dalam mengelola perbedaan secara produktif. Kita memiliki sejarah panjang kerukunan antar ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, dan lainnya. Dengan semangat ukhuwah islamiyah dan pemahaman tauhid yang benar, perbedaan bukanlah penghalang, melainkan kekuatan. Kini saatnya kita bangkit dengan semangat optimisme, menjadikan perbedaan sebagai energi untuk memperkuat barisan, bukan memecahnya. Islam bukan milik satu kelompok, tapi warisan agung bagi seluruh umat manusia.