news-card-video
26 Ramadhan 1446 HRabu, 26 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Pelajaran dari Negeri Korup dan Negeri Bersih

Syaefunnur Maszah
Sedang riset IM Doktoral, Sekretaris Jenderal Parsindo, & Wakil Ketua DPC Peradi.
23 Maret 2025 15:46 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syaefunnur Maszah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Bahaya korupsi (Sumber: Jp Valery. Under the Unsplash License)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Bahaya korupsi (Sumber: Jp Valery. Under the Unsplash License)
ADVERTISEMENT
Di banyak negara dengan indeks persepsi korupsi tinggi, perilaku pejabat negara kerap memperlihatkan pola yang jauh dari semangat amanah. Mereka cenderung memperlakukan jabatan bukan sebagai amanah publik, tetapi sebagai sarana memperkaya diri dan kroni-kroninya. Praktik nepotisme, jual beli jabatan, penyalahgunaan anggaran, hingga gaya hidup mewah yang dipertontonkan secara vulgar menjadi wajah buram birokrasi. Dalam atmosfer kekuasaan yang minim pengawasan dan lemah dalam penegakan hukum, penyimpangan ini seakan menjadi norma yang diterima dalam diam oleh sesama elit, sembari rakyat harus menanggung beban sosial dan ekonomi yang dihasilkan.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, negara-negara dengan indeks persepsi korupsi rendah menunjukkan etika pelayanan publik yang kuat. Para pejabatnya cenderung hidup sederhana, bekerja dengan transparansi, dan memperlakukan kekuasaan sebagai mandat untuk melayani, bukan dilayani. Di negara-negara Skandinavia, misalnya, seorang menteri bisa mundur hanya karena kelalaian administratif yang kecil. Tingkat kepercayaan rakyat kepada pemerintah pun tinggi karena integritas dijaga dan mekanisme akuntabilitas berjalan efektif. Hal ini menegaskan bahwa budaya bersih bukan hanya soal penegakan hukum, tapi juga soal etika pribadi dan sistem sosial yang memelihara nilai.
Perbedaan mencolok ini membawa dampak besar bagi rakyat. Di negara yang pejabatnya korup, pelayanan publik menjadi buruk, akses terhadap keadilan semakin jauh, dan ketimpangan ekonomi melebar. Rakyat dipaksa hidup dalam lingkaran ketidakpastian, merasa negara seperti entitas asing yang tak berpihak. Di sisi lain, negara yang pemimpinnya bersih menciptakan ruang tumbuh yang adil bagi semua. Rakyatnya merasakan hadirnya negara dalam keseharian, baik dalam bentuk jaminan sosial, pendidikan, maupun infrastruktur yang merata.
ADVERTISEMENT
Islam sejak awal telah menekankan pentingnya integritas dan amanah dalam kepemimpinan. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam pandangan Islam, kekuasaan bukanlah tujuan, melainkan wasilah (sarana) untuk menegakkan keadilan dan kemaslahatan. Khalifah Umar bin Khattab bahkan dikenal memadamkan pelita negara ketika membahas urusan pribadi, menunjukkan sensitivitas etika yang tinggi terhadap potensi konflik kepentingan.
Ketika amanah diingkari, Islam memandang itu sebagai bentuk khianat yang besar. Dalam Al-Qur’an, Allah memperingatkan, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (QS. An-Nisa: 58). Ayat ini menjadi dasar moral bahwa jabatan bukan hak pribadi, tetapi titipan yang harus dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat. Maka, korupsi bukan hanya pelanggaran hukum positif, tetapi juga dosa besar yang mengancam keselamatan jiwa.
ADVERTISEMENT
Implikasi bagi rakyat sangat nyata. Di negara korup, rakyat menjadi korban sistem yang tidak berpihak. Mereka hidup dalam kemiskinan struktural, kesulitan mendapatkan pelayanan dasar, dan kehilangan kepercayaan pada institusi negara. Ini bisa menimbulkan apatisme politik yang berbahaya, di mana rakyat merasa tak lagi punya harapan untuk perubahan. Sebaliknya, negara yang bersih dan berintegritas akan menciptakan ruang partisipasi rakyat yang sehat, di mana suara rakyat didengar dan keadilan ditegakkan.
Pelajaran penting yang bisa dipetik adalah bahwa perbaikan tidak bisa hanya mengandalkan pergantian individu, tetapi harus menyentuh sistem dan budaya. Pendidikan etika sejak dini, pembentukan sistem meritokrasi, transparansi dalam pengelolaan keuangan publik, serta penguatan lembaga antikorupsi adalah kunci utama. Dalam perspektif Islam, pembangunan integritas tidak bisa dilepaskan dari pembinaan spiritual dan moral. Hanya dengan kombinasi antara reformasi struktural dan penumbuhan kesadaran keagamaan yang benar, perubahan yang hakiki dapat terjadi.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, kita sebagai rakyat juga memiliki peran. Mengawasi, mengkritik, dan mendidik diri sendiri untuk tidak larut dalam praktik kecil korupsi di kehidupan sehari-hari adalah bentuk jihad moral yang sangat penting. Sebab, pejabat yang korup tidak lahir dari ruang kosong; ia tumbuh dari masyarakat yang permisif dan menormalisasi kecurangan. Maka, membangun negeri yang bersih bukan hanya tugas pemimpin, tetapi tanggung jawab kolektif yang tak boleh diabaikan.