Konten dari Pengguna

Pemimpin Masa Depan Dimulai dari Rumah

Syaefunnur Maszah
Sedang riset IM Doktoral, Sekretaris Jenderal Parsindo, & Wakil Ketua DPC Peradi.
26 April 2025 18:13 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syaefunnur Maszah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Ajak diskusi anak sambil gowes asah leadership (Foto: Dok. Syaefunnur Maszah)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Ajak diskusi anak sambil gowes asah leadership (Foto: Dok. Syaefunnur Maszah)
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanan membentuk karakter seorang pemimpin, tidak ada tempat yang lebih fundamental selain keluarga. Di lingkungan keluarga, nilai-nilai dasar seperti kejujuran, keberanian, ketekunan, dan empati diperkenalkan pertama kali. Ibnu Khaldun, seorang ulama dan sejarawan besar, pernah menegaskan dalam muqaddimah-nya bahwa karakter manusia dibentuk sejak kecil melalui interaksi sosial, dan keluarga adalah masyarakat pertama bagi anak. Maka, rumah bukan sekadar tempat berlindung, melainkan sekolah pertama bagi calon pemimpin.
ADVERTISEMENT
John Dewey, filsuf dan pakar pendidikan asal Amerika, menguatkan ide ini dengan mengatakan bahwa pendidikan sejati adalah "rekonstruksi pengalaman" yang terus-menerus. Dalam keluarga, anak-anak mengalami pengalaman sehari-hari yang membentuk pola berpikir, kebiasaan mengambil keputusan, dan kemampuan beradaptasi terhadap tantangan. Jika keluarga secara sadar mengarahkan pengalaman itu, anak-anak tumbuh dengan kemampuan memimpin yang alami dan tulus.
Dari perspektif teori modern, Social Learning Theory yang dikembangkan Albert Bandura menekankan pentingnya role model dalam proses belajar. Anak belajar bukan hanya dari apa yang diajarkan, tetapi lebih kuat lagi dari apa yang dia lihat. Seorang ayah yang bertanggung jawab, ibu yang komunikatif, atau kakak yang gigih bekerja, secara tidak langsung menjadi guru-guru kehidupan yang membentuk karakter kepemimpinan anak tanpa perlu banyak ceramah.
ADVERTISEMENT
Implikasi positif dari edukasi keluarga yang sadar membangun kepemimpinan sangat nyata. Anak-anak tumbuh percaya diri, mampu mengambil keputusan, berani mengambil risiko, serta mampu mengelola emosi. Mereka belajar menjadi problem solver, bukan sekadar pengikut. Pendidikan keluarga seperti ini menghasilkan generasi yang mampu membawa perubahan positif di komunitas, bahkan di tingkat bangsa.
Sebaliknya, keluarga yang abai terhadap proses pendidikan nilai dan karakter memunculkan dampak negatif yang panjang. Anak-anak menjadi pribadi yang ragu-ragu, tidak mandiri, dan mudah goyah di hadapan tekanan. Mereka cenderung mencari panutan di luar keluarga yang tidak selalu positif, sehingga membuka ruang bagi perilaku menyimpang atau ketergantungan yang merusak potensi kepemimpinannya.
Lebih dari itu, tanpa pendidikan keluarga yang memadai, anak-anak juga kehilangan kemampuan berempati dan berkolaborasi. Padahal dua hal ini adalah inti dari kepemimpinan yang sehat. Pemimpin yang hanya mengejar kekuasaan tanpa empati sering kali menjadi sumber kehancuran sosial. Ketidakhadiran keluarga dalam proses pembentukan karakter membawa kerugian yang melampaui skala personal; ia bisa berdampak pada masa depan komunitas dan bangsa.
ADVERTISEMENT
Mendidik anak untuk menjadi pemimpin bukan berarti memaksanya menjadi otoriter atau haus kekuasaan, melainkan menumbuhkan jiwa yang kuat, hati yang bijaksana, serta pikiran yang kritis dan solutif. Ini semua hanya mungkin terjadi bila keluarga berperan aktif dan konsisten dalam mengarahkan dan menumbuhkan nilai-nilai dasar tersebut sejak dini.
Maka, jika kita ingin melahirkan generasi pemimpin yang berintegritas dan berdaya, tidak ada jalan pintas selain kembali ke rumah. Di sanalah semua dimulai. Di ruang-ruang kecil itulah, masa depan bangsa diam-diam sedang dibentuk, satu karakter, satu nilai, dan satu keputusan kecil setiap harinya.