news-card-video
29 Ramadhan 1446 HSabtu, 29 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Puasa: Saat Pemimpin Belajar Cinta dari Lapar dan Dahaga

Syaefunnur Maszah
Sedang riset IM Doktoral, Sekretaris Jenderal Parsindo, & Wakil Ketua DPC Peradi.
24 Maret 2025 16:48 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syaefunnur Maszah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Ramadan, saat pemimpin-rakyat menyatu (Sumber: Rumman Amin. Under the Unsplash License)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Ramadan, saat pemimpin-rakyat menyatu (Sumber: Rumman Amin. Under the Unsplash License)
ADVERTISEMENT
Di tengah gemerlap dunia dan riuh rendah kekuasaan, Ramadan datang membawa keheningan yang menyejukkan. Ia mengetuk pintu hati setiap manusia, mengingatkan bahwa kehidupan bukan sekadar tentang jabatan, fasilitas, atau popularitas. Bagi seorang pejabat publik, puasa bukan hanya ibadah yang bersifat individual, tetapi jalan untuk menyucikan niat dan menata ulang cara memandang kekuasaan: bukan sebagai alat pemuas diri, melainkan amanah untuk melayani dan melindungi.
ADVERTISEMENT
Saat seorang pemimpin menahan lapar dan haus, sesungguhnya ia sedang diajak untuk merasakan apa yang dirasakan rakyat kecil setiap hari. Bukan hanya sekejap, tapi terus-menerus. Di situlah puasa menjadi pelajaran empati yang tak bisa diajarkan oleh pidato atau buku mana pun. Ketika perut dikosongkan dari kenikmatan duniawi, seharusnya hati diisi dengan kasih dan kepedulian yang tulus. Dan ketika lidah dijaga dari ucapan dusta, maka setiap janji kekuasaan seharusnya ditepati dengan keikhlasan, bukan demi citra.
Nabi Muhammad Saw. pernah berkata, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” Sabda itu tak berhenti di mimbar atau buku agama, tetapi menembus relung batin bagi siapa pun yang diberi amanah, sekecil atau sebesar apa pun. Dalam riwayat hidup para khalifah, kita menemukan teladan kepemimpinan yang lahir dari kejujuran puasa—dari Umar bin Khattab yang menggotong sendiri karung gandum untuk rakyatnya, hingga Abu Bakar yang diam-diam memandikan orang tua sakit setelah pulang dari tugas negara.
ADVERTISEMENT
Ramadan membuka ruang bagi seorang pemimpin untuk berhenti sejenak dari hiruk pikuk urusan protokoler dan mencium kembali aroma tanah tempat rakyat berpijak. Menyaksikan sendiri antrean panjang di puskesmas, keluhan ibu-ibu di pasar, atau anak-anak yang kehilangan akses pendidikan. Sebab kekuasaan sejatinya bukan diukur dari seberapa besar kendali atas anggaran, melainkan seberapa dalam pemimpin bersedia mendengar dan merasakan luka yang dirasakan rakyatnya.
Puasa juga mengajarkan seni menahan diri—bukan hanya dari makanan dan minuman, tetapi dari godaan untuk mengambil yang bukan hak, dari keinginan membalas dendam, atau dari ambisi memperpanjang kekuasaan dengan cara-cara licik. Ramadan melatih seorang pemimpin untuk berkata, “Cukup,” saat dunia terus menawarkan lebih. Karena pada akhirnya, yang akan dibawa ke akhirat bukanlah kursi kekuasaan, tetapi seberapa tulus ia berbuat untuk sesama.
ADVERTISEMENT
Dalam sunyi malam Ramadan, ketika seorang pemimpin bangun untuk sahur, di situlah ruang paling jujur untuk bercermin. Apakah ia selama ini jujur pada diri sendiri? Apakah ia masih merasakan getar hati ketika melihat rakyatnya menangis karena kebijakan yang tidak berpihak? Atau, apakah hatinya telah tertutup oleh tumpukan fasilitas dan pujian? Ramadan tidak butuh jawaban yang diumumkan, tetapi keheningan yang mengubah arah langkah.
Pemimpin yang berpuasa dengan hati akan lebih bijak dalam berbicara, lebih tenang dalam memutuskan, dan lebih rendah hati dalam menjalankan kekuasaan. Ia tidak silau oleh sanjungan, tidak mudah tergoda oleh transaksi kekuasaan, dan tidak kaku terhadap kritik yang membangun. Ia sadar bahwa setiap keputusan, sekecil apa pun, bisa menjadi penentu nasib banyak orang—dan kelak akan dimintai jawab di hadapan Yang Mahakuasa.
ADVERTISEMENT
Ramadan bukan sekadar bulan mulia dalam kalender, tetapi cermin besar yang diletakkan di hadapan para pemimpin. Apakah mereka masih mencintai rakyatnya dengan tulus? Apakah setiap kebijakan lahir dari kasih sayang, bukan sekadar kepentingan? Apakah mereka masih merasa gelisah melihat rakyat hidup dalam kekurangan, dan bergetar hatinya saat mendengar jeritan keadilan? Jika cinta kepada rakyat masih hidup dalam dada mereka, maka puasa telah menjadi pelita yang menuntun kepemimpinan menuju jalan yang diridhai, mengubah kekuasaan menjadi ladang amal yang tak lek1ang oleh waktu.