Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Strategi Politik Prabowo
18 Februari 2025 16:37 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Syaefunnur Maszah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dalam lanskap politik Indonesia yang dinamis, seruan "Hidup Jokowi" oleh Presiden Prabowo Subianto pada 17 Februari 2025 menjadi peristiwa yang menarik untuk dianalisis. Pernyataan ini tidak sekadar bentuk penghormatan terhadap pendahulunya, tetapi juga merupakan strategi politik yang kompleks. Ray Rangkuti menilai bahwa Jokowi masih membutuhkan basis pendukungnya, yang berarti bahwa stabilitas politik di era Prabowo juga bergantung pada kesinambungan dukungan tersebut. Dengan demikian, seruan ini dapat dilihat sebagai langkah taktis untuk memastikan kesinambungan kekuasaan yang harmonis di tengah realitas politik yang sarat kepentingan.
ADVERTISEMENT
Dalam perspektif strategi politik, seruan tersebut mencerminkan pemahaman mendalam Prabowo tentang perlunya mempertahankan dukungan publik yang telah terbentuk selama dua periode kepemimpinan Jokowi. Di satu sisi, Prabowo ingin menunjukkan bahwa ia bukan pemimpin yang melakukan pemutusan radikal dari pemerintahan sebelumnya. Di sisi lain, ia juga ingin membangun narasi bahwa transisi kekuasaan ini adalah kelanjutan dari kebijakan-kebijakan yang populer di era Jokowi. Dengan demikian, Prabowo memosisikan dirinya sebagai pemimpin yang mampu merangkul keberlanjutan sekaligus membawa visi baru yang lebih progresif.
Seperti dalam artikel berjudul "Prabowo Serukan 'Hidup Jokowi', Ray Rangkuti: Presiden Masih Perlu Basis Pendukung Jokowi", TEMPO, 17 Februari 2025, pernyataan tersebut memiliki makna yang lebih dalam bagi kepentingan politik Prabowo. Ia tidak hanya sekadar berusaha menjaga stabilitas politik dengan menggandeng basis pendukung Jokowi, tetapi juga menggunakannya sebagai modal legitimasi kekuasaannya. Dalam teori politik, ini dapat dikaitkan dengan konsep "hegemonic incorporation", di mana pemimpin yang baru berusaha menyerap elemen-elemen dari kekuatan politik sebelumnya guna menghindari fragmentasi yang dapat melemahkan posisinya. Ini adalah strategi yang khas dalam politik demokratis, di mana kesinambungan dan inovasi harus berjalan beriringan agar pemimpin tetap mendapat legitimasi luas.
ADVERTISEMENT
Dari perspektif politik praktis, strategi ini memberikan keuntungan besar bagi Prabowo dan koalisinya. Dengan mendekati basis Jokowi, Prabowo memperluas spektrum dukungan yang lebih inklusif, menciptakan stabilitas dalam koalisi pemerintahan, serta mengurangi potensi oposisi yang signifikan dari kelompok-kelompok yang masih loyal kepada Jokowi. Selain itu, seruan ini juga menjadi sinyal bagi elite politik dan investor bahwa Prabowo tidak akan mengambil langkah ekstrem dalam arah kebijakan, yang pada gilirannya akan meningkatkan kepercayaan terhadap pemerintahannya. Dengan demikian, strategi ini dapat dianggap sebagai langkah jitu yang memperkuat konsolidasi kekuasaan Prabowo.
Namun, ada pula potensi implikasi negatif yang perlu diperhitungkan. Jika seruan ini tidak disertai dengan langkah konkret yang mengakomodasi kepentingan pendukung Jokowi, maka Prabowo bisa dituduh hanya melakukan politik simbolik tanpa substansi nyata. Selain itu, strategi ini dapat menimbulkan ketidakpuasan di kalangan pendukung garis keras yang menginginkan perubahan signifikan dari era Jokowi. Jika tidak dikelola dengan baik, strategi ini justru bisa menciptakan celah bagi oposisi baru yang merasa bahwa Prabowo terlalu kompromistis dan tidak membawa agenda perubahan yang diharapkan.
ADVERTISEMENT
Respons publik terhadap seruan ini beragam. Di satu sisi, ada apresiasi terhadap sikap Prabowo yang dinilai menunjukkan kedewasaan politik dan keterbukaan dalam merangkul seluruh elemen bangsa. Hal ini sesuai dengan prinsip demokrasi deliberatif, di mana pemimpin harus mampu mengakomodasi berbagai kepentingan tanpa kehilangan arah kebijakan. Namun, di sisi lain, kritik juga muncul dari kelompok yang menganggap bahwa Prabowo seharusnya lebih fokus pada agenda perubahan ketimbang membangun kesinambungan dengan pemerintahan sebelumnya. Dalam konteks ini, Prabowo harus mampu membuktikan bahwa strategi inklusifnya tidak sekadar retorika politik, tetapi juga diwujudkan dalam kebijakan konkret yang berdampak bagi masyarakat luas.
Jika dianalisis lebih dalam, strategi ini juga merupakan bagian dari skenario yang lebih luas dalam perspektif Gerindra dan koalisinya. Dengan menjaga hubungan baik dengan pendukung Jokowi, Prabowo tidak hanya memperkuat posisinya di pemerintahan, tetapi juga menyiapkan landasan politik bagi keberlanjutan pengaruh Gerindra dalam jangka panjang. Ini mencerminkan strategi politik adaptif, di mana sebuah partai tidak hanya mengandalkan basis tradisionalnya, tetapi juga berusaha memperluas cakupan dukungan demi memastikan keberlanjutan kekuasaan di pemilu berikutnya.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, sikap Prabowo dalam menghormati Jokowi dan pendukungnya merupakan langkah strategis yang tidak hanya mencerminkan pragmatisme politik, tetapi juga pemahaman yang mendalam terhadap dinamika kekuasaan. Keberhasilan strategi ini akan sangat ditentukan oleh sejauh mana Prabowo mampu menjaga keseimbangan antara merangkul pendukung Jokowi dan tetap memenuhi ekspektasi basis loyal pendukungnya. Jika strategi ini dikelola dengan baik, maka Prabowo berpotensi mengukuhkan dirinya sebagai pemimpin yang mampu menyatukan berbagai elemen politik di Indonesia. Namun, jika strategi ini hanya berakhir sebagai retorika tanpa implementasi konkret, maka Prabowo justru berisiko kehilangan kepercayaan dari kedua belah pihak.