Konten dari Pengguna

Trump, Gaza, dan Tekanan Geopolitik terhadap Yordania dan Mesir

Syaefunnur Maszah
Sedang riset IM Doktoral Unpak, Sekretaris Jenderal Parsindo, & Wakil Ketua DPC Peradi.
11 Februari 2025 16:21 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syaefunnur Maszah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mengikuti berita berjudul "Trump Says He May Cut Aid if Jordan and Egypt Don’t Take Displaced Gazans", The New York Times, 10 Februari 2025, dengan penulis Zolan Kanno-Youngs dan Shawn McCreesh, pernyataan Donald Trump mengenai kemungkinan pemotongan bantuan kepada Yordania dan Mesir jika kedua negara itu tidak menerima warga Palestina dari Gaza menimbulkan implikasi geopolitik yang signifikan. Tekanan ini menunjukkan pendekatan Trump yang menempatkan kepentingan Israel di atas stabilitas kawasan, sekaligus menguji ketahanan diplomasi Timur Tengah dalam menghadapi kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang kerap bersifat koersif.
ADVERTISEMENT
Bagi Yordania, ancaman Trump ini menambah beban politik dan ekonomi yang sudah berat. Yordania telah lama menjadi rumah bagi jutaan pengungsi Palestina sejak 1948, dan menampung lebih dari satu juta pengungsi Suriah akibat perang saudara. Penerimaan lebih banyak warga Gaza bukan hanya berisiko memicu ketidakstabilan sosial, tetapi juga bisa mengganggu keseimbangan politik domestik di bawah kepemimpinan Raja Abdullah II. Sementara itu, bagi Mesir, usulan Trump bertentangan dengan kepentingan nasionalnya. Presiden Abdel Fattah el-Sisi telah berulang kali menegaskan bahwa Mesir tidak akan menerima warga Palestina di Semenanjung Sinai karena khawatir akan munculnya ancaman keamanan dari kelompok militan serta dampak jangka panjang terhadap kedaulatan Mesir.
Dari perspektif politik kekuasaan domestik, baik Yordania maupun Mesir harus berhati-hati dalam merespons tekanan Trump. Raja Abdullah II harus mempertimbangkan sentimen nasional yang menolak pengusiran paksa warga Gaza, mengingat isu Palestina sangat sensitif di mata rakyatnya. Begitu pula dengan Mesir, el-Sisi menghadapi dilema antara menjaga hubungan dengan Amerika Serikat dan menghindari reaksi negatif dari rakyatnya yang melihat Palestina sebagai saudara seiman. Di dunia Islam, tekanan terhadap kedua negara ini dapat dilihat sebagai bentuk intervensi AS yang semakin terang-terangan dalam menentukan nasib bangsa Palestina, sesuatu yang bisa memicu solidaritas luas dari negara-negara Muslim lainnya.
ADVERTISEMENT
Sikap Trump yang menggunakan ancaman pemotongan bantuan mencerminkan pendekatan transaksional dalam politik luar negeri AS. Kebijakan ini menunjukkan bahwa Trump lebih mengedepankan kepentingan Israel dibandingkan menjaga stabilitas regional. Bagi dunia Arab dan Islam, pernyataan ini memperkuat persepsi bahwa Washington tidak lagi berperan sebagai mediator yang adil dalam konflik Israel-Palestina, tetapi lebih sebagai aktor yang secara aktif memfasilitasi agenda Israel, termasuk kemungkinan pembersihan etnis di Gaza.
Dari sudut pandang strategi politik AS, langkah Trump ini bisa menjadi bumerang. Mesir dan Yordania adalah sekutu penting AS di Timur Tengah, dan memperlemah mereka justru dapat merugikan kepentingan geopolitik Amerika di kawasan. Jika kedua negara tersebut merapat ke kekuatan lain seperti China atau Rusia sebagai bentuk protes terhadap kebijakan AS, hal ini dapat mengurangi pengaruh Washington di Timur Tengah dan menghambat kepentingan strategis AS, termasuk keamanan Israel sendiri.
ADVERTISEMENT
Dampak negatif bagi Trump dan Partai Republik juga tidak bisa diabaikan. Sikap keras terhadap Palestina dapat memperburuk citra AS di dunia Islam dan memperdalam jurang antara AS dengan sekutu Arab moderatnya. Selain itu, di dalam negeri AS, kebijakan luar negeri yang terlalu pro-Israel bisa menjadi isu sensitif di kalangan pemilih Muslim dan progresif yang mendukung hak-hak Palestina. Dalam jangka panjang, pendekatan ini bisa melemahkan dukungan domestik bagi Partai Republik, terutama jika pemilih melihat kebijakan Trump sebagai pemicu ketegangan yang berkelanjutan di Timur Tengah.
Kebijakan Trump ini juga bisa menjadi faktor yang mempercepat pergeseran kebijakan luar negeri AS pasca-Trump. Jika pada pemilu mendatang AS dipimpin oleh pemerintahan yang lebih moderat atau dari Partai Demokrat, kebijakan luar negeri yang lebih seimbang terhadap Palestina mungkin akan diupayakan untuk memulihkan kembali kredibilitas AS di mata dunia. Namun, dalam jangka pendek, pernyataan Trump ini berpotensi memperburuk situasi di Gaza dan semakin memperdalam konflik dengan dunia Arab.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, tekanan Trump terhadap Yordania dan Mesir bukan sekadar ancaman ekonomi, tetapi juga sebuah manuver geopolitik yang dapat mengubah dinamika politik Timur Tengah secara lebih luas. Jika Yordania dan Mesir menolak tuntutan Trump, AS harus menghadapi konsekuensi dari kebijakan luar negerinya sendiri. Sebaliknya, jika keduanya terpaksa mengalah, maka sejarah akan mencatat bagaimana relokasi paksa warga Gaza terjadi dengan dukungan diam-diam dari kekuatan global yang seharusnya bertanggung jawab atas stabilitas dan keadilan di kawasan tersebut.
Presíden Donald Trump (Foto: Library of Congress, Free to use under the Unsplash License)