Menakar Masa Depan Partisipasi Politik Perempuan

Nur Syafa'at
Alumni S2 Administrasi Publik Universitas Brawijaya - Freelancer yang sedang belajar menulis
Konten dari Pengguna
27 Mei 2023 13:51 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Syafa'at tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Unsplash
ADVERTISEMENT
Bila kita lebih cermat membaca berbagai sumber, partisipasi perempuan Indonesia dalam berbagai ranah kehidupan seharusnya tak lagi boleh diragukan. Di luar nama populer Raden Ajeng Kartini yang seringkali hanya muncul sekali dalam setahun, kita semua perlu juga mengetahui dan belajar banyak dari sosok Dewi Sartika, Rohana Kudus, Rahmah El Yunusiyah, Raden Ayu Lasminingrat, hingga Siti Jenab.
ADVERTISEMENT
Meski kebanyakan mereka fokus pada pendidikan, namun menurut Sejarawan Ita Fatia Nadia yang dikutip dari historia.id, walaupun mereka berasal dari kelas bangsawan, namun juga memiliki perhatian terhadap lingkungan di luar kelas sosialnya.
Selain itu, sejak awal abad ke 20, kian banyak organisasi perempuan yang lahir dan menjadi bagian penting dalam sejarah gerakan perempuan.
Mereka mengangkat kondisi perempuan pada saat itu. Selanjutnya, tantangan di era orde baru sedikit berbeda. Organisasi perempuan terkena “stigma” Gerwani, sehingga aktivitas mereka menjadi lebih sulit.
Ilustrasi seminar politik. Foto: Shutter Stock
Saat ini, di era reformasi,kita bisa melihat salah satu contoh peran perempuan di bidang politik, misalnya melalui keterwakilannya sebagai anggota legislatif.
Tercatat, pada pemilu tahun 2019, jumlah calon anggota legislatif perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) dalam pemilihan umum (pemilu) mengalami tren positif meski belum signifikan.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari data yang diungkapkan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), keterpilihan perempuan pada pemilu 2019 bertambah menjadi 21 kursi dibandingkan pemilu tahun 2014.
Data lebih lanjut menunjukkan bahwa pada pemilu 2014 ada 97 calon legislatif DPR RI yang terpilih, sedangkan pada tahun 2019 jumlahnya bertambah menjadi 118 orang. Secara persentase, bisa disimpulkan bahwa keterpilihan perempuan di kursi DPR RI berada pada angka 20,5 persen dari jumlah total 575 kursi DPR RI.
Sementara itu, ditingkat Dewan Perwakilan Daerah (DPD), angka keterpilihan perempuan lebih tinggi, yakni mencapai 30,9 persen. Namun demikian, perlu diketahui bahwa masih ada delapan provinsi yang tidak terdapat calon DPD terpilihnya.
Terlepas dari diskursus patriarkis yang mungkin saja masih kental mewarnai beberapa daerah dan kelompok masyarakat tertentu, data di atas menunjukkan bahwa sebenarnya keterwakilan perempuan memungkinkan untuk terus bertambah bila ada perhatian, regulasi, serta iklim politik yang sejalan dengan harapan untuk mendorong partisipasi politik perempuan.
ADVERTISEMENT

Arah Partisipasi Politik Perempuan

Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
Saat ini kita telah memasuki tahun politik. Tahapan pemilu telah ditetapkan dan mulai berjalan. 14 Mei 2023 yang lalu partai politik telah mendaftarkan calon legislatornya, nama-nama calon sementara pun beredar luas. Sesuai tahapan, pemungutan suara untuk pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota akan digelar pada 14 Februari 2024 mendatang.
Di kala tahapan terus berjalan, tiba-tiba polemik baru muncul. Beberapa akademisi, aktivis dan organisasi yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan lantang bersuara, mempersoalkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, khususnya pada pasal yang terkait teknis penghitungan persyaratan 30 persen bakal calon perempuan.
ADVERTISEMENT
Mereka mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk segera merevisi aturan yang berpotensi menghalangi pencapaian target afirmasi perempuan di parlemen tersebut.
Sebagaimana diketahui, ketentuan pada pasal 8 ayat (2) memungkinkan terjadinya reduksi atas keterwakilan perempuan, sebagai dampak dari aturan pembulatan desimal ke bawah jika terdapat hasil pecahan – kurang dari lima puluh – dalam persentase perhitungan bakal calon perempuan pada satu daerah pemilihan.
Belakangan, meski KPU telah menyatakan akan merevisi aturan itu, namun dalam Rapat Dengar Pendapat bersama dengan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan Kementerian Dalam Negeri, mereka berpandangan bahwa revisi itu tidak perlu.
Angin belum berubah, tampaknya ekosistem politik kita masih terjerat oleh gaya patriarki yang menafikan kemampuan perempuan. Padahal, aturan itu secara substansial mereduksi pesan penting yang tercantum dalam aturan yang lebih tinggi, yakni pasal 245 Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, serta tidak sejalan dengan esensi Pasal 28h ayat (2) Undang Undang Dasar 1945.
ADVERTISEMENT

Pentingnya Dukungan Ekosistem

Ilustrasi wanita karier Foto: Shutterstock
Harus diakui, perhatian terhadap peran dan eksistensi perempuan pada berbagai bidang di Indonesia masih terbilang minim. Bahkan dalam konteks pemilu, keterwakilan perempuan di level penyelenggara pemilu juga relatif rendah. Tentu hal itu terjadi karena berbagai alasan.
Beberapa penyebabnya bisa bersifat internal, yakni minat perempuan untuk mendaftar yang rendah atau penolakan dari keluarga dekat. Di lain sisi, penyebabnya bisa juga karena faktor eksternal, misalnya syarat-syarat yang sulit dipenuhi oleh perempuan, atau aturan kerja yang tidak ramah pada hal-hal yang bersifat sosial dan biologis.
Persoalan kesenjangan gender sebenarnya bisa dilihat dari hal paling dasar yang menjadi kebutuhan pelayanan dasar wajib, yakni di bidang pendidikan. Hasil survei Sosial Ekonomi Nasional yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik tahun 2011 – 2015 terhadap penduduk usia 15 tahun ke atas menunjukkan, bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan laki-laki dan perempuan, maka semakin tinggi pula kesenjangannya.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, ketimpangan gender juga terjadi dalam pemanfaatan teknologi informasi, mengakses internet, hingga dalam hal pelatihan kerja, angkatan kerja dan akses ekonomi lainnya.
Persoalan kesenjangan gender sepertinya akan sulit diselesaikan begitu saja. Dosen University of Malaya, Tania Islam, pada sebuah webinar di Institut Teknologi Sepuluh November (31/3/2022) memberikan contoh bahwa dalam kehidupan, seseorang akan berperilaku sesuai dengan apa yang menjadi norma di masyarakat. Wanita, sejak kecil diharapkan akan tumbuh feminis dan ketika dewasa akan dihadapkan pada ekspektasi untuk menjadi orang yang rutinitasnya mengerjakan pekerjaan domestik dan mengurus anak.
Fenomena semacam ini akan terus tumbuh dan mengakar, menjadi pandangan umum karena sudah dimulai sejak kecil dan menjadi hal yang “dipahami” secara luas oleh sebagian besar masyarakat. Ia akan beririsan satu sama lain, sehingga menjadi isu yang tak lagi menarik karena pemakluman akan muncul dari berbagai pihak yang memiliki latar belakang kehidupan yang hampir sama.
ADVERTISEMENT
Tidak heran kalau kemudian Tania menyebut bahwa untuk mengatasi hal itu, maka kesetaraan gender harus dipandang sebagai pondasi wajib oleh setiap keluarga. Artinya, permasalahannya perlu ditelusuri sejak dari hulu. Artinya, sejak dini, mulai dari lingkungan keluarga perlu ditanamkan makna kesetaraan yang hendak dimaksud, agar sejak kecil dan dalam lingkungan sosial kita tidak tergerus oleh dogma yang sama terus menerus.
Setelah itu, barulah upaya selanjutnya bisa dilakukan secara politik. Bila mengutip resensi buku karya Begawan Hukum, Satjipto Rahardjo (2009), yang disampaikan oleh Afnan Malay di sebuah media nasional, bahwa hukum progresif itu konstruksinya bermula dari asumsi dasar yang menempatkan hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Karena itu, kita tidak bisa menerimanya sebagai sesuatu yang final dan mutlak. Sehingga, dalam konteks ini, kajian dan upaya-upaya untuk mendorong hak-hak kesetaraan perempuan harus diperjuangkan juga dari sisi regulasi dan kebijakan, yakni melalui kerja-kerja parlemen.
ADVERTISEMENT
Tentunya, muara dari itu semua kembali pada partai politik, yang memiliki fungsi pendidikan politik dan rekrutmen. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk melihat komitmen mereka dalam berbagai hal, termasuk dalam konteks pencalonan legislatif yang telah bergulir beberapa waktu yang lalu.