Konten dari Pengguna

Anak dalam Janji-Janji Manis Politik

Syafbrani ZA
X Cekgu II Suami penuh waktu dan penulis paruh waktu II Menulis buku, diantaranya: UN, The End... dan Suara Guru Suara Tuhan II Ketua Umum PTIC DKI 2021/2026 II Bergiat di Univ. Trilogi - Center for Teacher Mind Transformation (CTMT) FKIP Univ. Riau
23 Oktober 2023 14:29 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syafbrani ZA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumlah anak-anak bermain di laut pesisir Cilincing, Jakarta Utara, Minggu (8/10/2023). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah anak-anak bermain di laut pesisir Cilincing, Jakarta Utara, Minggu (8/10/2023). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Perhelatan puncak peringatan ke-78 kemerdekaan Indonesia telah dirayakan pada 17 Agustus silam. Seperti tahun-tahun sebelumnya, meskipun sudah berganti bulan, tapi semangat perayaan kemerdekaan itu terus hadir. Semua bersatu padu merasakan semangatnya. Mulai dari generasi pre-boomer sampai pada mereka yang saat ini identik dengan zaman now.
ADVERTISEMENT
Seperti tahun-tahun sebelumnya juga, perayaan peringatan kemerdekaan ini—selain dipandang sebagai bentuk syukur atas karunia dari Sang Pencipta—diharapkan juga menjadi wadah edukasi bagi generasi-generasi dini itu, akan makna dari sebuah perjuangan dalam meraih kemerdekaan.
Harapan akhirnya, mereka mampu memahami akan sejarah bangsa sekaligus meneladani sosok-sosok patriot dari para pahlawan bangsa. Namun pertanyaannya, apakah cukup sampai di sini para generasi dini itu memaknai hakikat dari kemerdekaan bangsa?
Ada satu hal utama yang harus segera dituturkan kepada mereka, yakni terkait dengan janji-janji kemerdekaan. Namanya janji, ya harus ditepati.
Dengan menepati janji-janji yang diberikan, akhirnya rasa kemerdekaan itu dengan sendirinya akan hadir. Tanpa perlu dan harus melalui berbagai slogan, motto, atau malah memberikan janji-janji lagi. Dengan kembali hadirnya janji-janji, dapat dipastikan janji-janji sebelumnya itu belum—atau tidak diutamakan—untuk ditepati.
Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
Memang sungguh mulia para inisiator kemerdekaan bangsa ini. Mereka tidak hanya mendeklarasikan kemerdekaan, tetapi juga menumbuhkan semangat kebangsaan dengan mengikrarkan janji-janji kemerdekaan sebagaimana yang terpatri dalam konstitusi bangsa.
ADVERTISEMENT
Beberapa poin penting dalam pembukaan UUD 1945 yang harus terus disadari itu di antaranya adalah upaya untuk memajukan kesejahteraan umum sekaligus mencerdaskan kehidupan bangsa. Singkatnya adalah ada janji-janji tentang kesejahteraan dan pendidikan.
Pertama, tentang kesejahteraan. Jumlah penduduk miskin per Maret tahun ini hampir menyentuh angka 26 juta jiwa. Anak-anak yang terpaksa menerima takdirnya hidup dalam lingkaran kemiskinan akan mengalami hambatan untuk tumbuh kembangnya ke depan.
Jangankan mereka yang tersandera dalam status kemiskinan, di luar angka-angka ini juga dipastikan akan muncul hambatan tumbuh kembang yang sama. Semua ini dikarenakan harga sembako—baru pokoknya saja—semakin mahal. Bahkan, hasil penelitian terakhir yang pernah kita dengar bersama mayoritas masyarakat Indonesia tidak mampu lagi untuk membeli makanan bergizi.
ADVERTISEMENT
Isu tentang kesejahteraan ini memang tidak ada habisnya. Menariknya selalu menjadi modal dalam siklus lima tahunan alias saat suksesi kepemimpinan. Baik yang berskala nasional, sampai daerah, bahkan di perdesaan dan seterusnya ke bawah. Keyakinan ingin mensejahterakan selalu berkoar. Bahkan disertai dengan proyeksi yang disertai berbagai model perhitungan yang sangat matang.
Anak-anak bermain di Muara Baru Kelurahan Penjaringan, Jakarta, yang terdampak proyek tanggul laut raksasa, Jumat (6/10). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Hasilnya? Ketika proses suksesi berakhir dengan menghasilkan nama-nama pemenangnya, percepatan kesejahteraan itu memang terjadi. Terjadi pada mereka yang kebetulan berkuasa dan juga pada mereka yang berhasil mendekati lingkar-lingkar kekuasaan itu.
Bagaimana dengan masyarakat yang telah dijanjikan itu? Kembali berjibaku supaya bisa bertahan hidup sekaligus menghidupi anak-anak yang menjadi tanggung jawabnya.
Kedua, tentang pendidikan. Akses pendidikan yang tidak merata masih menjadi salah satu penghalang bagi anak-anak untuk mendapatkan hak yang sama. Ketika aksesnya sudah didapatkan, muncul lagi ketimpangan baru, yakni terkait dengan ketersediaan fasilitas sampai pada kualitas para pendidiknya. Kisruh terkait PPDB berbasis zonasi adalah salah satu cerminan bagaimana ketimpangan itu telah terjadi selama ini.
ADVERTISEMENT
Sama dengan kesejahteraan, isu-isu pendidikan juga menjadi sorotan utama bagi kandidat-kandidat yang bertarung dalam perhelatan demokrasi menuju kursi-kursi yang mereka tuju. Sekolah, guru, dan siswa selalu mendapat "perhatian" khusus saat itu.
Tidak heran jika memang zona ini menarik perhatian. Apalagi mengingat jumlah mereka yang tidak sedikit. Potensi suaranya sangat besar. Akhirnya, tidak heranlah jika aturan terbaru memperbolehkan sekolah menjadi tempat kampanye bagi peserta pemilu.
Ini baru dari sisi kesejahteraan dan tentang mimpi-mimpi mereka mendapatkan pendidikan yang merata serta humanis. Andai kita perluas tentang minimnya rasa merdeka yang mereka miliki, semakin banyaklah catatan tentang janji-janji yang belum terpenuhi itu.
Guru di sekolah pedalaman. Foto: Pixabay
Ada kisah sumber daya alam yang dibabat habis, sehingga anak-anak kita sulit merasakan keindahan alamnya. Ada polusi udara yang selalu menyelinap di balik oksigen yang mereka hirup.
ADVERTISEMENT
Ada tayangan-tayangan yang seharusnya menjadi asupan, namun mereka disajikan banyak tontonan yang tidak layak untuk dinikmati. Ada ruang-ruang bermain yang hilang dengan alasan urgensinya pembangunan serta kemajuan teknologi. Dan berbagai fakta lain yang sangat bertolak belakang dengan definisi atau hakikat kemerdekaan itu.
Dengan kondisi yang demikian, jangan salahkan jika akhirnya nasionalisme generasi muda kita semakin terkikis akibat cara mereka memandang bahwa jalan meraih pendidikan yang terbaik itu perlu ditopang dengan modal kapital. Sedangkan kesejahteraan itu sendiri merupakan tema khusus bagi mereka yang dekat dengan kekuasaan saja.
Kesimpulannya, kepada siapa lagi anak-anak itu menagih agar terpenuhi haknya untuk mendapatkan pelayanan pendidikan terbaik sekaligus hidup dalam nuansa yang sejahtera?
Berharap kepada para (calon) pemimpin yang kelak akan berkampanye dengan janji-janji manis politik? Mereka juga sedang sibuk menyelamatkan masa depan di dunia politiknya, Nak!
ADVERTISEMENT