Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
13 Ramadhan 1446 HKamis, 13 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Emak-emak, Tragedi Minyak Goreng, dan Ancaman Learning Loss
31 Maret 2022 10:20 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Syafbrani ZA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Seperti tahun-tahun sebelumnya. Kehadiran tahun 2022 juga disambut dengan banyak kisah. Salah satu kisah yang sampai hari ini masih menjadi trending topic adalah tentang minyak goreng.
ADVERTISEMENT
Mulai dari episode ketika harganya terjangkau namun stoknya menghilang. Sampai episode sebaliknya, ketika harganya melonjak tapi simsalabim stoknya mendadak banyak.
Tidak heran jika sekitar tiga bulan lalu minyak goreng selalu menjadi perbincangan. Mulai dari diskusi-diskusi politik sampai perbincangan para emak bersama tukang sayur keliling.
Tidak hanya di media massa, di media sosial, omelan-omelan lantang juga selalu menghiasi sudut-sudut dapurnya rumah tangga. Sebagai penerima dampak langsung dari setiap episode kelangkaan sembako.Termasuk kelangkaan atau kemahalan salah satu dari sembilan bahan pokok ini. Emak-emak pasti tidak akan tinggal diam.
Namun, meskipun sudah puas berteriak. Membicarakan tidak masuk akalnya keberadaan sang minyak yang menghilang dan kemudian hadir secara dadakan. Merenungkan nasib negara yang sawitnya terhampar luas namun rakyatnya masih antre untuk mendapatkan jatah pembelian minyak goreng. Karena tuntutan situasi, akhirnya kisah ini akan tetap bermuara dalam satu suara. Menerima keadaan.
ADVERTISEMENT
Meskipun beberapa ketidakpuasan rakyat kepada pemerintah berakhir dengan pembatalan atau revisi kebijakan. Tetapi teriak-teriak ketidakpuasan itu lebih sering berakhir dengan sepi. Bukan karena ketidakberdayaan, tetapi bisa jadi karena tingginya tingkat husnudzon atau rasa kepercayaan rakyat pada kekuasaan.
Beberapa lembaga survei sudah merilisnya. Tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Presiden-Wapres melampaui 70%. Walau ada hasil survei yang sedikit di bawah persentase ini, tetapi tidak akan mengubah kesimpulan akhir bahwa publik secara mayoritas puas.
Begitu juga dengan peta elektabilitas bakal calon Presiden 2024. Semua lembaga survei memiliki hasil yang sama, yaitu nama-nama menteri atau tokoh yang berada di lingkaran pemerintahan masih menjadi pilihan. Tertinggi lagi.
Di luar tingkat husnudzon dan ketaatan masyarakat terhadap pemerintahan. Dalam tragedi minyak goreng ini sebenarnya hadir secara terang benderang satu fakta besar. Fakta bahwa negara seakan kalah dalam mengontrol para ‘pemain’ minyak goreng.
ADVERTISEMENT
Selain seperti susahnya menangkap para 'pemain' yang memanfaatkan situasi seperti ini. Kondisi semakin miris ketika pemerintah 'mengaku' kalah dengan memutuskan Harga Eceran Tertinggi (HET) disesuaikan pada harga pasar.
Ketika untuk satu komoditas saja harga pasarnya tidak dapat dikendalikan. Bagaimana dengan komoditas yang lainnya nanti? Apalagi dalam hitungan hari kita akan dipertemukan dengan bulan suci Ramadhan. Bulan yang selalu identik dengan melonjaknya harga sembako.
Lebih luas lagi. Jika negara berhasil dikendalikan oleh ‘pemain’ minyak goreng. Mungkinkah nanti, aspek-aspek lainnya akan dikendalikan juga?
Kembali ke para emak. Emak-emak bukan tidak mau terus berteriak. Tetapi di sudut-sudut dapurnya tadi, mereka harus bergerak cepat. Memastikan asupan untuk anggota keluarganya selalu tercukupi. Termasuk untuk anak-anaknya yang sedang berjibaku di bangku sekolah.
ADVERTISEMENT
Maka, jangan heran jika dengan aksi heroiknya para emak selalu berjibaku untuk terus bergerak memperoleh minyak goreng. Walau dengan antrean yang panjang. Walau harus menunggu berjam-jam lamanya dan rela berpanasan. Terakhir, walau nyawa menjadi taruhannya.
Sekilas sederhana. Hanya untuk minyak goreng. Namun dibalik itu ada seuntai cita-cita yang mulia. Secara tidak langsung, para emak sedang ikhtiar menyelamatkan masa depan anaknya. Menghindari asupan minyak goreng oplosan. Menghindari penggunaan minyak jelantah yang berulang.
Bukankah kita tahu bahwa asupan minyak goreng oplosan dan jelantah itu sangat berbahaya? Banyak studi dan publikasi telah memaparkannya. Mulai dari hadirnya risiko kanker, penyakit degeneratif, dan bahaya-bahaya lainnya.
Bayangkan jika kemudian anak-anak bangsa yang katanya sedang diantisipasi learning loss-nya karena dampak pandemi ini terus mengkonsumsi zat-zat yang berbahaya?
ADVERTISEMENT
Per hari ini, di tengah kita terus mendorong dan mengawal Pembelajaran Tatap Muka (PTM), apakah juga diiringi dengan tetap mengawal jajanan siswa? Baik di kantin-kantin sekolah maupun yang berjejer di depan pagar-pagar sekolah.
Per hari ini, di tengah kita terus menjaga agar siswa belajar di sekolah dengan selalu menerapkan protokol kesehatan, apakah juga diiringi dengan selalu memperhatikan gizi dan keamanan pangan yang dilahapnya?
Memang, sejak covid-19 mencederai proses pembelajaran di sekolah. Fokus perhatian kita sepertinya menyatu dalam usaha meraih status 'negatif' dan 'zona hijau.' Padahal, beberapa masalah gizi juga masih mengancam anak-anak usia sekolah. Tidak sedikit anak-anak yang status gizinya masih berkategori 'merah.'
Sudah awam dipahami bahwa anak-anak yang gizinya buruk akan berdampak pada perkembangannya. Di antaranya adalah potensi diserang berbagai jenis penyakit. Tentulah kondisi ini juga sangat berpengaruh dengan daya dan semangat belajarnya.
ADVERTISEMENT
Untuk itulah, antisipasi learning loss harus dilakukan secara integratif. Tidak hanya diidentikkan dengan kurang optimalnya proses belajar mengajar. Bukan juga hanya karena faktor kesenjangan akses sarana/prasarana belajar.
Amunisi atau asupan makanan juga menjadi hal yang tidak kalah penting untuk terus diperhatikan. Kemudian harus dipenuhi dengan optimal.
Jadi, kelangkaan sembako seperti minyak goreng bukan hanya untuk perdebatan pada ranah ekonomi dan politik. Tapi banyak sisi yang bersinggungan dengannya. Kelangkaan sembako secara langsung akan melejitkan kesenjangan asupan gizi antara siswa yang satu dengan yang lainnya.
Oleh karenanya, kelangkaan sembako haruslah menjadi bagian dari PR besar pendidikan kita. Selain bagaimana gizi mereka tetap terjaga, ke depan rahim pendidikan harus bergegas melahirkan sosok-sosok yang bisa mengoptimalkan sumber daya alam sekaligus bisa saling memberikan manfaat.
ADVERTISEMENT
Nah, jika ada yang heran dan mempertanyakan mengapa emak-emak rebutan minyak goreng. Bisa jadi jawabannya karena emak-emak itu sedang bergerak menuntaskan PR besar pendidikan bangsa. Menyelamatkan bangsa dari ancaman learning loss.
Semangat selalu duhai emak-emak!