Kembali Belajar atau Kembali Sekolah?

Syafbrani ZA
X Cekgu II Suami penuh waktu dan penulis paruh waktu II Menulis buku, diantaranya: UN, The End... dan Suara Guru Suara Tuhan II Ketua Umum PTIC DKI 2021/2026 II Bergiat di Univ. Trilogi - Center for Teacher Mind Transformation (CTMT) FKIP Univ. Riau
Konten dari Pengguna
6 Juli 2021 12:05 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syafbrani ZA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Belajar dan Sekolah. Foto: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Belajar dan Sekolah. Foto: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Juli telah menyapa. Tanda tahun ajaran baru akan segera tiba.
ADVERTISEMENT
Apakah ingin kembali sekolah? Saat normal dulu, semua jawaban kita dapat dipastikan sama. Tidak bersyarat.
Memang karena sejak dahulu kala, sekolah sudah menjadi bagian dari kehidupan. Tidak bersekolah, selalu diidentikkan dengan kesusahan dalam hidup. Sebaliknya, bersekolah menjadi jaminan untuk kehidupan di masa depan. Maka, dengan mati surinya sekolah menjadi indikasi kuat napas – napas kehidupan itu sudah sesak. Ada yang tidak beres dari siklus yang dijalani.
Apakah ingin kembali sekolah? Sekarang, meskipun sedang dilanda pandemi tetapi secara mayoritas kita tetap memastikan rasa ingin kembali itu ada.
Maka tidak heran, berbagai survei selalu menunjukkan bahwa baik kepala sekolah, guru, komite sekolah, orang tua dan siswa ingin segera Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di sekolah --- walau terbatas.
ADVERTISEMENT
Pandemi yang hadir telah memaksa manusia untuk bergerak secara terbatas, menghindari kerumunan, dan menjaga jarak. Sesuatu yang dulu sangat kontradiktif dengan nuansa pembelajaran di kelas. Bagi anak sekolah usia SD – SMP misalnya, apalagi untuk anak PAUD. Mereka butuh ruang gerak --- tak terbatas.
Apapun itu, dengan berbagai kekhawatiran yang melanda, sepertinya kita semua masih berharap agar anak-anak itu dapat kembali sekolah. Harapan yang sekaligus menunjukkan bahwa sekolah memang telah menjadi domain utama dari pembelajaran, bahkan pendidikan. Tidak bersekolah = tidak belajar?
Padahal sebelum pandemi hadir, evaluasi kepada sekolah kerap kali hadir. Gagasan – gagasan untuk ‘melupakan’ sekolah juga sering berkeliaran. Sekolah telah dianggap sebagai kelinci percobaan dari berbagai kebijakan penguasa. Hingga sekolah berubah menjadi sarana doktrinasi. Guru hanya mengajar dengan apa yang tersaji. Siswa dipecut dengan standarisasi.
ADVERTISEMENT
Pada puncaknya, sekolah juga sering dipandang gagal dalam melahirkan insan terdidik. Ketika ada pelajar yang tawuran atau siswa tertangkap mengkonsumsi obat terlarang, sekolah siap-siap menjadi sasaran. Bahkan sekolah pun dianggap berpotensi melahirkan bibit-bibit intoleransi sampai radikalisme.
Bersamaan dengan kegagalan itu, tawaran kurikulum biasanya bersahutan. Lagi-lagi, sekolah bersiap untuk menjadi bahan percobaan kebijakan. Lebih dari itu, bak jamur di musim hujan munculah sekolah-sekolah alternatif yang ‘tampil beda’ tentunya
Di sisi lain, guru juga semakin terasa disibukkan. Belum ditambah lagi dengan jadwal ngetik– ngeprint yang kadang menyita energi dan materi. Guru seakan selalu dikejar masa untuk setor kerjaan. Juga setoran lainnya? Akhirnya tidak jarang kelas-kelas sering ditinggalkan. Inovasi pun terlewatkan.
Cara pandang tentang sekolah yang semakin jauh dari khittah-nya itu terus hadir dan tak terbantahkan. Apalagi kemudian Mas Menteri Nadiem Makarim mengirimkan sinyal kesepakatan atas kondisi tersebut dengan melahirkan sebuah solusi revolusioner. Pemerintah memandang perlu untuk melakukan perubahan paradigma atas pelaksanaan pendidikan di sekolah selama ini. Solusi paradigmatik yang terus berkumandang ini tidak lain adalah Merdeka Belajar itu.
ADVERTISEMENT
Sesuai dengan namanya, guru dan siswa harus merdeka dari segala macam bentuk ‘penjajahan’ yang telah membombardir aktivitas belajar – mengajar itu. Sehingga mereka bisa merasakan iklim belajar yang terbaik. Kemudian bahagia dengan pencapaiannya masing-masing. Singkatnya, guru dan siswa harus merdeka.
Hanya saja, pertanyaannya mungkinkah sebenarnya selama ini banyak sekolah yang justru sedang menikmati ‘kemerdekaan’? Dan justru merasa terganggu dengan hadirnya program Merdeka Belajar?
Harus diakui, Mas Menteri memang telah menjadi ‘gangguan’ dalam sistem pendidikan nasional kita. Bahkan sejak pertama kali dirinya dideklarasikan sebagai menteri. Beliau telah memecahkan pola-pola profil Mendikbud selama ini. Merdeka Belajar juga demikian. Pintu-pintu yang dianggapnya sudah terkunci dan berkarat dalam tubuh pendidikan itu, tiba-tiba dibukanya begitu saja. Maka bagi yang sudah merasa nyaman di dalamnya tentu akan keluar dengan penuh kebingungan.
ADVERTISEMENT
Pun, begitulah kira-kira bagi sekolah yang selama ini terkurung dengan kebanggaan prestasi akademik seperti Ujian Nasional --- yang kadang pencapaiannya diraih dengan berbagai cara. Tiba-tiba standarisasi itu ditiadakan. Tidak ada lagi mata pelajaran spesial di sekolah. Kemudian muncul kebingungan mencari alasan supaya siswa bisa ‘dipaksa’ belajar.
Begitu juga jika selama ini ketebalan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) menjadi bagian dari kinerja. Apalagi jika itu melulu hasil copy – paste. Bukan ikhtiar dari renungan dan evaluasi atas setiap ritme pembelajaran. Maka, ketika tiba-tiba pembuatan RPP harus efisien dan efektif. Satu lembar saja. Geger dan bingung lagi. Apakah yang satu lembar itu harus menjiplak juga?
Seperti sudah ditakdirkan bahwa hadirnya Merdeka Belajar hampir beriringan dengan musibah pandemi corona ini. Sekolah menjadi tutup. Siswa dirumahkan. Ruang – ruang kelas berganti dengan temu virtual. Tatap muka tidak bisa secara langsung, namun harus dimediasi dengan teknologi.
ADVERTISEMENT
Dalam kondisi yang demikian, hanya ada satu jalan bahwa momentum pandemi seharusnya lebih merangsang guru untuk mengimplementasikan filosofi Merdeka Belajar itu. Memberikan asupan yang sesuai dengan karakteristik siswa. Melakukan pendekatan dengan orang tuanya --- terutama emak-emaknya. Jika dosisnya pas dan pendekatannya efektif, maka kemandirian belajar itu akan tercipta.
Namun, dengan masih kuatnya kita mengasosiasikan kata belajar dengan sekolah menjadi indikasi yang kuat bahwa kemandirian belajar itu belum terbentuk. Mungkin atas dasar ini jugalah, Kemendikbud juga meluncurkan Program Guru Penggerak sebagai bagian dari Merdeka Belajarnya. Agar kelak, ada guru yang bisa menjadi agen transformasi bagi ekosistem pendidikan di Indonesia.
Pastinya, setiap terobosan dari berbagai program Merdeka Belajar harus segera diamini dengan mentalitas yang merdeka pula. Andai mentalitasnya masih terjajah maka tidak akan pernah terjadi transformasi minda. Kebebasan yang diberikan akan mental dengan kebiasaan-kebiasaan lama. Kemerdekaan menjadi tidak lebih hanya merupakan stempel dari sebuah deklarasi.
ADVERTISEMENT
Untuk selanjutnya, bahkan ketika kasus penularan Covid-19 belum melandai. Namun tanpa sadar kita pun masih terus disibukkan dengan upaya membangun kesepakatan agar anak (harus) kembali sekolah.
Syafbrani, bergiat di Universitas Trilogi dan Center for Teacher Mind Transformation (CTMT) FKIP Universitas Riau