Mengapa Jokowi Minta Kita Hati-hati dengan Vaksin?

Syafiq Basri Assegaff
Penulis, dosen komunikasi, dan mantan wartawan dengan latar belakang kedokteran.
Konten dari Pengguna
31 Oktober 2020 5:47 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syafiq Basri Assegaff tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi vaksin corona.
 Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi vaksin corona. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Jangan main-main dengan vaksin. Bahkan Presiden Joko Widodo pun sempat memperingatkan jajarannya agar berhati-hati dalam mengeksekusi rencana vaksinasi massal COVID-19.
ADVERTISEMENT
Belum lama berselang Jokowi menggarisbawahi pentingnya membangun komunikasi publik yang baik, berkaitan dengan kompleksnya penyiapan vaksin COVID-19, training, distribusinya, dan persepsi di tengah masyarakat.
Presiden juga mengingatkan bahwa setiap vaksin harus mendapatkan perlakuan yang berbeda. “Hati-hati, hati-hati mengenai vaksin. Bukan barang gampang ini, setelah saya pelajari semakin hari semakin saya yakin (bahwa hal itu) tidak mudah,” kata Jokowi 19 Oktober silam sebagaimana dikutip dalam situs Setkab.
Masuk akal bila Presiden mengingatkan hal itu. Karena masih banyak yang bingung, khususnya terkait pelaksanaan vaksinasi dan proses uji klinis fase terakhir vaksin Covid-19. Orang bertanya, apa benar akan mulai vaksinasi November ini, sudah tepatkah waktunya, tidakkah itu terlalu premature; yakinkah vaksin itu bukan hanya ampuh, tetapi juga aman?
Grafik perjalanan proses vaksin Covid-19 (Pusat Pengendalian Penyakit Menular AS, CDC). Sumber: https://www.nature.com/articles/s41591-020-1048-4
Sudah mafhum di kalangan ahli kesehatan bahwa untuk sebuah imunisasi masal, pengujian harus lulus beberapa tahapan, yakni fase pra klinis (di laboratorium dan pada hewan), ditambah tiga (3) tahap uji klinis pada manusia.
ADVERTISEMENT
Tahap (fase) pertama uji klinis akan memeriksa faktor keamanan vaksin pada manusia. Sesudah itu, fase kedua, tes yang dilakukan adalah untuk mengetahui besarnya daya tahan imunitas manusia yang diraih berkat vaksin itu. Lalu, pada tahap ke-3 lah ujian paling berat, dan membutuhkan waktu sampai berbulan-bulan.
Sejatinya tahapan itu berlaku untuk segala jenis vaksin, dan biasanya dilakukan secara bersama di berbagai negara (sekarang ini Indonesia bersama Brasil, dan Turki).
Pada tahap terakhir ini yang diuji adalah efficacy, yakni keampuhan (daya tangkal) vaksin. Efikasi itu menunjukkan seberapa efektifnya virus yang dilemahkan itu melindungi manusia yang menerimanya (biasanya lewat suntikan), dibandingkan dengan kelompok yang tidak menerima vaksin.
Mesti diketahui bahwa sebagian manusia yang diuji-coba (yakni kelompok dua) sebenarnya hanya sebagai kontrol. Sebab, berbeda dengan kelompok pertama, kelompok kedua ini hanya menerima placebo (cairan netral tanpa mengandung virus) – itu sebabnya kelompok kedua ini disebut sebagai ‘kelompok kontrol’.
ADVERTISEMENT
Satu di antara parameter yang penting adalah bahwa pada puluhan ribu penerima vaksin, efikasinya harus berada lebih dari separuh (50 %) dibandingkan dengan yang kelompok kontrol yang menerima placebo.
Dari puluhan ribu sampel di beberapa negara nantinya mereka akan saling mengecek bersama-sama, bertukar-banding satu dengan yang lain. Jika hasilnya berada di atas 50 prosen (ketimbang mereka yang mendapatkan placebo), barulah bisa disimpulkan bahwa vaksin itu lolos uji tahap ketiga. Hasil itu ditinjau selama periode waktu tertentu -- minimal 6 bulan, kadang mungkin bisa lebih cepat tetapi tidak kurang dari tiga bulan.
Bagaimana Jika Gunakan ‘Jalan Pintas’ EUA Seperti China?
Pada kenyataannya, dalam situasi pandemi, ada kalanya fase uji klinis satu dan dua bisa dipercepat: kalau biasanya makan waktu antara 2-3 tahun, misalnya, sekarang hanya sekitar enam bulan, sebagaimana terjadi di China. Walakin, tidak ada tawar-menawar untuk fase tiga.
ADVERTISEMENT
Namun, yang terjadi di China, rupanya mereka bergerak cepat (atau ‘buru-buru’ ambil jalan pintas): hanya berdasarkan fase 1 dan 2, lalu negeri itu memakai ‘kartu trufEmergency Used Authorization (EUA) untuk meloloskan fase ke-3, dan menggunakannya untuk ‘kalangan terbatas’.
Lazimnya ‘kalangan terbatas’ itu adalah kelompok militer dan mungkin pegawai negeri negeri bersangkutan. Banyak pakar di Indonesia tidak setuju kalau kita ikut mengesahkan pemakaian vaksin berdasarkan pada EUA seperti yang dilaksanakan di China itu.
Dekan Fakultas Kedokteran UI Prof. Ari Fahrial Syam, misalnya, mengatakan alasan penerapan ‘otorisasi penggunaan darurat’ (EUA) tak bisa dibenarkan untuk Indonesia. “Kita tak bisa meniru China memakai EUA. Kasus di sana sudah terkendali, karena tes, lacak dan isolasi (yang dilakukan China), bukan karena vaksin,” kata Ari di salah satu harian nasional.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, aturan pembuatan vaksin itu berlaku untuk semua jenis vaksin, bukan hanya Covid-19. Saat ini, sesuai informasi di laman WHO, dunia punya 20-an jenis vaksin bagi penyakit-penyakit yang mematikan.
Melalui imunisasi itu, manusia berhasil mencegah dua hingga tiga juta kematian per tahun akibat penyakit seperti difteri, tetanus, campak, batuk pertussis, dan polio. Adapun mengenai Covid-19, sedikitnya terdapat 100 calon vaksin yang saat ini sedang dikembangkan, dan sebagian di antaranya telah memasuki fase percobaan pada manusia, sebagaimana yang dilakukan para ahli kita di Bandung.
Di Amerika Serikat sendiri perkara ‘jalan pintas’ EUA itu juga jadi sorotan. Komisi Penasihat Produksi Vaksin dan Produk Biologis di bawah lembaga POM Amerika (FDA), Vaccines and Related Biological Products Advisory Committee (VRBPAC) belum lama berselang mendiskusikan peraturan bagi izin penggunaan vaksin Covid-19 yang hanya memiliki bukti keamanan dan efikasi minimal.
ADVERTISEMENT
Rupanya mereka gelisah pada EUA, karena ‘cuma’ memanfaatkan data-data awal (preliminary) uji efikasi itu, sehingga FDA meminta agar VRBPAC benar-benar mempertimbangkan kebijakannya sebelum menerapkan jalan pintas itu. Diskusi itu, menurut Jon Cohen di Sciencemag.org (23 Oktober 2020 lalu) menggambarkan betapa serius kekhawatiran para ahli peserta diskusi, sehingga mereka berpesan tegas kepada FDA: ‘tunggu, pertimbangkan lagi secara masak keputusan kalian.’ Beberapa peserta diskusi juga khawatir jika nanti muncul penolakan oleh publik luas terhadap vaksin Covid-19, karena EUA bisa memunculkan persepsi bahwa FDA telah berkompromi (baca: bersikap lemah) dan tidak lagi melaksanakan standar yang dikenal ketat.
Bahkan, seorang pengacara yang mewakili lembaga konsumen, Sheldon Toubman, secara tegas minta agar FDA tidak menerbitkan EUA bagi vaksin Covid-19. “Hanya ada satu kesempatan untuk melakukan ini secara benar,” kata Toubman, “Dan jika kita salah (melangkah), maka habislah kita; dan akan makan waktu bertahun-tahun (lagi untuk mengoreksinya). Sebab, kini sudah ada masalah serius kurangnya kepercayaan, dan hilangnya kepercayaan bakal makin parah pada titik itu, kita tak akan bisa meraihnya kembali,” tambah Toubman.
ADVERTISEMENT
Kisah Gagalnya Vaksin Demam Berdarah Dengue.
Sejatinya, kita bisa berkaca pada pengalaman Filipina, yang punya pengalaman pahit dengan vaksin anti demam berdarah dengue. Bulan April 2016 Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Filipina mengimunisasi 700-an ribu siswa sekolah dasar menggunakan vaksin Dengvaxia produksi Sanofi Pasteur.
Menurut Sciencemag.org, program itu bernilai 67 juta dolar AS (hampir satu triliun rupiah). Walakin muncul masalah: banyak yang meninggal setelah vaksinasi berlangsung. Hingga Agustus 2019 tercatat lebih dari 600 orang (mayoritasnya anak-anak) yang mendapatkan minimal satu kali vaksinasi telah meninggal, meski belum tentu disebabkan oleh vaksin itu sendiri.
Ada tuduhan korupsi di belakang program itu. Juga terdapat kontroversi politik. antara mantan Presiden Benigno Aquino III dan Presiden Duterte yang menggantikannya.
Suasana di Biofarma (Foto Kumparan).
Kegagalan program vaksinasi itu bukan hanya menyeret belasan pejabat, bahkan seorang dokter anak, Rose Capeding, yang menulis di jurnal The Lancet pun ikut dipersalahkan. Ia bisa diancam hukuman 48 tahun penjara.
ADVERTISEMENT
Artikel studi Capeding (bersama beberapa penulis lain) didasarkan pada riset (menurut Fatima Arkin di situs Sciencemag.org didanai Sanofi Pasteur) yang menjelaskan tentang hasil studi terhadap 10 ribuan anak di lima negara Asia, dan menunjukkan bahwa vaksin Dengvaxia berfungsi baik dan memiliki tingkat keamanan yang bagus.
Logis bila kemudian pada Desember 2015 badan pengawasan obat dan makanan Filipina memberi lampu hijau bagi vaksin itu, sehingga program imunisasi massal pun dilaksanakan pada April 2016.
Menurut laman Sciencemag.org di atas, vaksin Dengvaxia itu mengandung virus yellow fever yang dilemahkan (attenuated) yang membawa berbagai gen dari masing-masing empat tipe virus dengue.
Rupanya virus dengue memang aneh. Infeksi pertama akibat dengue jarang yang fatal, tetapi infeksi kedua oleh tipe virus yang berbeda dapat menimbulkan penyakit yang jauh lebih serius, oleh karena adanya penguatan antibodi-terkait (antibody-dependent enhancement atau ADE), di mana respons imunitas terhadap virus yang pertama melejitkan dampak (akibat) infeksi virus tipe kedua.
ADVERTISEMENT
Memang kematian pada ratusan anak itu belum pasti penyebabnya, tetapi ada dugaan bahwa itu berkaitan dengan imunisasi. Maka, pada November 2017 Kemenkes Filipina buru-buru menyetop program vaksinasi tadi.
Pemberhentian program itu, menurut Wikipedia, karena adpis Sanofi Pasteur bahwa vaksin itu dapat menyebabkan orang yang belum terinfeksi dengue berada dalam risiko tinggi demam dengue. Dengvaxia sendiri telah disetujui untuk dijual di 19 negara, termasuk di Uni Eropa dan AS, dan telah menyelamatkan sekitar satu juta jiwa.
Alhasil, kita tak boleh main-main dengan vaksin, sebagaimana dipesankan Presiden Jokowi, karena itu menyangkut urusan 268 juta penduduk Indonesia.
Oleh karena itu, sudah sewajarnya bahwa semua jajaran di bawah Presiden mesti menunjukkan bahwa nantinya keputusan yang diambil dalam urusan vaksinasi ini semata-mata demi kepentingan rakyat, yang sudah lelah dikungkung wabah virus dan pandemi informasi. Dan itu mesti dibuktikan lewat tindakan, bukan sekadar narasi atau klaim-klaim belaka.
ADVERTISEMENT