Potensi Money Politic dalam Sistem Pemilu Proporsional Tertutup dan Terbuka

Syafiqurrohman
Asisten Ombudsman Republik Indonesia
Konten dari Pengguna
21 Maret 2023 19:01 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syafiqurrohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Petugas menunjukkan sejumlah barang bukti dugaan politik uang pada Pemilu 2019 di kantor Bawaslu Temanggung, Jawa Tengah, Selasa (16/4/2019). Foto: ANTARA FOTO/Anis Efizudin
zoom-in-whitePerbesar
Petugas menunjukkan sejumlah barang bukti dugaan politik uang pada Pemilu 2019 di kantor Bawaslu Temanggung, Jawa Tengah, Selasa (16/4/2019). Foto: ANTARA FOTO/Anis Efizudin
ADVERTISEMENT
Belakangan ini publik disibukkan dengan isu politik akan pemilu dan pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada tahun 2024. Tahun ini merupakan tahun politik yang membuat masyarakat banyak memfokuskan perhatiannya khususnya pada sistem pemilu. Dalam ilmu politik dikenal ragam sistem pemilu, sistem pemilu terbuka dan sistem pemilu tertutup. Sistem pemilu terbuka indikator utamanya adalah kebebasan bagi pemilih untuk memilih calon yang diajukan partai dan calon yang akan menduduki kursi legislatif adalah calon dengan suara terbanyak pada daerah pemilihan, bukan berdasarkan pada nomor urut yang telah ditentukan oleh partai.
ADVERTISEMENT
Pemilu dengan sistem tertutup adalah kebalikannya, pemilih tidak memiliki kebebasan untuk memilih calon legislatif, keterpilihan seorang calon anggota legislatif ditentukan oleh partai diperoleh berdasarkan nomor urut calon yang telah ditentukan oleh parpol. Pada sistem pemilu tertutup hegemoni partai politik sangat kuat untuk menentukan calon anggota legislatif terpilih.
Jika kita menilai secara saksama bahwa sistem pemilu terbuka memiliki akar konstitusional yang kuat dibandingkan dengan sistem pemilu tertutup. Sistem Pemilu terbuka merupakan pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diamanatkan pasal 2 ayat (1) “bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.” Dengan pemilu terbuka memungkinkan mendapatkan ruang dan kesempatan untuk memilih calon anggota DPR atau pejabat eksekutif secara bebas.
Kebebasan untuk memberikan pilihan inilah yang menjadi esensi dari kedaulatan rakyat. Bagi calon terpilih juga mendapatkan legitimasi politik yang kuat karena keterpilihannya betul-betul dipilih oleh rakyat yang memilihnya sehingga antara pemilih dan wakilnya memilih kedekatan politik maka pemilih menjadi konstituen yang layak diperjuangkan hak-haknya di parlemen.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini tentu berbeda dengan sistem pemilu tertutup yang legitimasi keterpilihannya seorang wakil rakyat atau pejabat eksekutif didasarkan pada kebijakan internal politik, pemilih tidak mengetahui secara mendalam siapa calon yang akan dipilihnya dan sang calon tidak mendapatkan legitimasi politik yang kuat dari konstituen.
Mengutip pendapat pakar ilmu politik Ramlan Surbakti bahwa, sistem pemilu terbuka maupun tertutup pada dasarnya memiliki dua fungsi utama. Pertama, sistem pemilu berfungsi sebagai mekanisme mengkonversi suara pemilih menjadi kursi penyelenggara negara lembaga legislatif atau lembaga eksekutif, baik pada tingkat nasional maupun lokal.
Kedua, sistem pemilu berfungsi sebagai instrumen demokratisasi. Karena berkorelasi dengan demokratisasi maka sistem pemilu sangat berkaitan erat dengan sistem kepartaian, sistem perwakilan politik, efektivitas pemerintahan, integrasi nasional, perilaku memilih, ataupun perilaku politisi. Pilihan DPR dan Presiden untuk menentukan sistem pemilu terbuka atau pemilu terbuka dalam penyelenggaraan pemilu adalah pilihan yang didasarkan pada perkembangan politik di Indonesia yang sangat dinamis.
ADVERTISEMENT
Pilihan untuk menggunakan sistem tertutup sejak pemilu pertama hingga pemilu tahun 2004 mungkin tepat pada zamannya dan mungkin tidak dapat dipertahankan di tengah semakin kuatnya tuntutan pelaksanaan kedaulatan rakyat yang menghendaki rakyat memilih pemimpinnya secara langsung. Sistem pemilu terbuka yang mulai dilaksanakan sejak pemilu 2009, pemilu 2014, pemilu 2019 dan akan digunakan pada pemilu 2024 mungkin juga tepat pada era sekarang di mana kedaulatan rakyat melalui demokrasi langsung adalah kebutuhan masyarakat modern yang dibutuhkan oleh masyarakat saat ini.
Sistem pemilu terbuka yang dianut dalam undang-undang nomor 7 tahun 2017 adalah pilihan kebijakan hukum yang bersifat terbuka (open legal policy) dari pembentuk undang-undang. Keberadaanya hendak mewujudkan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan dengan mekanisme demokrasi langsung. Pada era ini sistem pemilu terbuka adalah sistem yang unggul dibandingkan sistem pemilu tertutup. Ruang kedaluatan rakyat terbuka lebar karena rakyat dapat menentukan pilihannya yang akan menduduki kursi di parlemen.
ADVERTISEMENT
Calon anggota parlemen ditentukan melalui suara terbanyak hasil pilihan rakyat bukan pilihan partai. Sistem pemilu terbuka dengan suara terbanyak sebagai instrumen pelaksanaanya memiliki legitimasi konstitusional dan sosiologis ketika putusan MK Nomor 3/PUU-VII/2009 mengukuhkan sistem pemilu terbuka dan meninggalkan sistem pemilu tertutup. Pada landasan sosiologi sistem pemilu terbuka inline dengan kecenderungan demokrasi modern yang menghendaki pucuk pimpinan jabatan poblik dipilih langsung oleh rakyat.
Jika kita mencoba menakar potensi money politic atau politik uang dalam sistem pemilu proporsional, maka tentu kita akan menemukan keunggulan dan kelemahan masing-masing daripada sistem pemilu proporsional yang ada. Pada sistem pemilu proporsional tertutup, aspek money politic berada pada pusaran calon anggota legislatif maupun calon presiden serta kepala daerah dengan partai pengusung dan pemenang pemilu.
ADVERTISEMENT
Dalam pemilu proporsional tertutup, jika berbicara mengenai money politic, potensi pembelian kursi pada pimpinan partai sebagai pemutus akhir kebijakan atas kemenangan pemilu sangatlah besar. Artinya potensi untuk terjadinya sogok dengan istilah “siapa yang punya uang dapat membeli kursi” anggota DPR dengan mudah. Efek sampingnya adalah bahwa wakil rakyat yang ditunjuk sebagai petugas partai tidak memiliki kedekatan dengan konstituennya karena rakyat tidak memilihnya secara langsung.
Potensi terjadinya politik uang untuk memenangkan pemilu presiden dan pemilihan kepala daerah dalam sistem proporsional terbuka sangatlah besar. Para oknum bakal calon dapat secara leluasa mendekati pimpinan partai pemenang pemilu untuk memberikan suara penuh dengan iming-iming sejumlah uang dan atau pembagian jatah proyek pengadaan dan pembangunan pada saat bakal calon kepala daerah maupun presiden akan terpilih. Implikasinya adalah terjadinya otoritarianisme dalam bernegara dan matinya semangat demokrasi karena pemilihan yang berbasis dari suara rakyat hanyalah sebuah formalitas bagi para aktor intelektual politik untuk mencapai kepentingan-kepentingan praktisnya.
ADVERTISEMENT
Sedangkan jika dibandingkan dengan sistem pemilu proporsional terbuka, potensi untuk terjadinya money politic masih bisa saja terjadi namun relatif lebih terminimalisir. Sebab di era digital dan pengetahuan yang semakin berkembang pesat, kesadaran masyarakat terus tumbuh untuk memilih pemimpin daerah atau presiden berdasarkan kepentingan masa depan untuk memajukan daerah dan negara indonesia.
Pada dasarnya tidaklah menutup kemungkinan untuk terjadinya kampanye dengan praktik politik uang yang kerap terjadi di berbagai daerah. Hanya saja masyarakat dapat dengan leluasa merenung dan memilih dengan mandiri, menggunakan hak pilihnya untuk menentukan pemimpin yang punya visi untuk memimpin di masa yang akan datang. Dalam sistem pemilu proporsional terbuka, pengawasan akan adanya praktik money politic pun lebih diperketat di setiap daerah. Penegakan hukum pidana pemilu menjadi senjata pamungkas dalam memberantas praktik politik uang dalam menjamin terciptanya sistem demokrasi yang dicitakan bangsa ini.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, penulis menyimpulkan bahwa sejatinya tidak ada sistem pemilu proporsional yang betul betul sempurna dan bebas dari praktik money politic. Hanya saja praktik money politic akan hilang dengan sendirinya ketika bangsa ini telah sejahtera dan masyarakat telah memiliki kesadaran penuh bahwa memilih pemimpin dan wakil rakyat adalah memilih para wakil untuk memenuhi hajat dan kepentingan warga negara. Namun, jika diberi pilihan, penulis akan tetap memilih sistem pemilu proporsional terbuka karena dengan sistem proporsional terbuka, kebebasan dan perwujudan demokrasi dapat kita rasakan secara nyata..