Konten dari Pengguna

Memang Kenapa Kalau SDM Rendah?

Syafira Aulia
Seorang mahasiswi Universitas Airlangga, Fakultas Ilmu Budaya dengan jurusan Bahasa dan Sastra Jepang.
4 Juni 2024 10:01 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syafira Aulia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Perbincangan mengenai kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia saat ini menjadi topik hangat di media sosial seperti TikTok, Instagram, dan platform X. Para konten kreator dari berbagai latar belakang, mulai dari akun centang biru hingga akun biasa, ramai membahas topik ini. Hal ini menarik perhatian publik karena banyak kasus yang membuktikan rendahnya kualitas SDM di Indonesia.

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Salah satu contoh yang mencolok datang dari seorang konten kreator yang dikenal karena kontennya sering berbagi uang. Dalam salah satu videonya, seorang anak kecil datang dari jauh menggunakan bus sleeper yang memerlukan biaya yang tidak sedikit hanya untuk meminta iPhone kepada konten kreator tersebut, bukannya meminta bantuan untuk bersekolah. Konten kreator itu menolak permintaan anak kecil tersebut, yang memicu banyak tanggapan kontra dari netizen. Banyak yang menilai bahwa sikap konten kreator terhadap anak kecil tersebut tidak sesuai dengan citra dermawan yang biasanya ia tampilkan. Namun, ada juga netizen yang membela konten kreator tersebut, menganggap bahwa anak kecil tersebut tidak tahu diri dan memiliki mental pengemis.
ADVERTISEMENT
Kejadian ini dapat menjadi contoh yang mencerminkan permasalahan SDM di Indonesia, bahwa masih banyak masyarakat yang lebih mementingkan hal-hal materialistis daripada pendidikan dan pengembangan diri yang lebih penting untuk masa depan mereka. Diskusi ini menyoroti pentingnya pendidikan dalam membentuk pola pikir dan mentalitas generasi muda, serta perlunya pendekatan yang lebih efektif dalam meningkatkan kualitas SDM di Indonesia.
Pemerintah Indonesia memiliki tujuan ambisius, yaitu menuju “Indonesia Emas 2045”. Untuk mewujudkan tujuan ini, pemerintah berupaya dengan berbagai inisiatif seperti pembangunan IKN, memperbanyak beasiswa bagi pelajar dan mahasiswa, serta pembuatan Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk warga kurang mampu yang ingin melanjutkan pendidikan. Namun, realita di lapangan, banyak masyarakat Indonesia yang memutuskan untuk berhenti sekolah karena berbagai faktor, seperti ekonomi, budaya setempat, dan pemikiran bahwa “Kuliah adalah pengangguran dengan gaya”. Slogan ini sempat trending di media sosial dan memicu banyak kontra dari mahasiswa, namun juga mendapatkan persetujuan dari sebagian masyarakat yang melihat banyak sarjana yang menganggur. Mereka berpikir lebih baik mencari kerja setelah tamat sekolah daripada melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Sikap acuh tak acuh dan ketidakmauan untuk keluar dari zona nyaman ini menjadi landasan berpikir yang berkontribusi pada rendahnya SDM di Indonesia. Masyarakat dengan pemikiran ini cenderung mengabaikan pentingnya pendidikan tinggi dan pengembangan diri, yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas hidup individu dan masyarakat secara keseluruhan. Pemikiran ini tidak hanya bersifat menular, tetapi juga dapat mengganggu interaksi sosial dan memicu konflik antarindividu.
Jika masalah ini tidak mendapatkan perhatian khusus, maka dapat merusak citra bangsa Indonesia dan menghambat kemajuan negara. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh individu yang bersangkutan, tetapi juga oleh perekonomian Indonesia. Ketika masyarakat lebih memilih bekerja setelah tamat sekolah, pengetahuan dan keterampilan mereka terbatas pada pendidikan sekolah. Meskipun ada akses informasi di era digital, tidak semua bidang pengetahuan dapat diakses dengan mudah tanpa pendidikan tingkat lanjut. Banyak soft skill yang hanya bisa didapat saat menjadi mahasiswa di perguruan tinggi.
ADVERTISEMENT
Sebagai mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya yang berfokus pada dunia jejepangan, saya merasa prihatin dengan kondisi masyarakat Indonesia yang semakin menganggap pendidikan tinggi tidak diperlukan. Kurangnya apresiasi terhadap pendidikan tinggi mengakibatkan terbatasnya pemahaman dan wawasan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk kebudayaan, literasi, dan etika profesional.
Masyarakat Indonesia setidaknya dapat meniru budaya Jepang yang sangat menghargai pendidikan dan pengembangan diri. Di Jepang, pendidikan tidak hanya dianggap sebagai sarana untuk memperoleh pekerjaan, tetapi juga sebagai jalan untuk membangun karakter, disiplin, dan tanggung jawab sosial. Dengan mengadopsi nilai-nilai positif dari budaya Jepang, masyarakat Indonesia dapat memiliki pemikiran serta perilaku yang lebih unggul, seperti ketekunan, kerja keras, dan komitmen terhadap pembelajaran sepanjang hayat. Sehingga dapat dipastikan bahwa, pendidikan itu penting untuk menunjang berbagai aspek kehidupan.
ADVERTISEMENT
Namun sayangnya, masyarakat Indonesia masih dengan pemikiran pendeknya terkait tentang pendidikan. Mereka masih beranggapan bahwa, pendidikan itu hanya wajib 12 tahun saja. Pendidikan lanjut seperti perguruan tinggi, masih dianggap pendidikan sia – sia yang membuang waktu karena hanya membahas teori saja dan tidak bisa praktek langsung seperti di dunia kerja. Padahal, pendidikan tingkat lanjut tidak hanya berkutat pada teori, tetapi juga mencakup pendidikan vokasi yang berfokus pada pengembangan keterampilan praktis. Dengan berbagai bidang pendidikan yang tersedia, masyarakat memiliki kesempatan lebih luas untuk meningkatkan kualitas diri mereka, baik dalam hal keterampilan praktis maupun pemikiran kritis.
Melalui pendidikan vokasi, individu dapat memperoleh keterampilan khusus yang langsung dapat diterapkan di dunia kerja, sehingga mereka menjadi lebih siap dan kompeten menghadapi tantangan profesional. Pendidikan tingkat lanjut, baik akademik maupun vokasional, membantu memperluas wawasan dan memperdalam pengetahuan, sehingga menghasilkan individu yang tidak hanya terampil, tetapi juga memiliki kemampuan berpikir kritis dan inovatif. Dengan banyaknya pilihan pendidikan, masyarakat dapat memilih jalur yang paling sesuai dengan minat dan bakat mereka, sehingga potensi mereka dapat berkembang secara optimal.
ADVERTISEMENT
Peningkatan kualitas SDM di Indonesia adalah kunci untuk bersaing di kancah global dan berkontribusi lebih besar terhadap kemajuan bangsa. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk terus mendorong dan mendukung pendidikan dalam segala bentuknya, sehingga tujuan Indonesia Emas 2045 dapat tercapai.