Babi Ngepet dan Jebakan Logika Mistika

Syafri Arifuddin Masser
Juru tulis: puisisyafri, peresensi di resensi.co.id, buruh suara di Radio Banua Malaqbi, relawan lterasi di Kamar Literasi & Teras Aksara Mamuju
Konten dari Pengguna
2 Mei 2021 8:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syafri Arifuddin Masser tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Michael Kramer dari Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Foto Michael Kramer dari Pixabay
ADVERTISEMENT
Sulit rasanya untuk lepas dari tsunami informasi di saat gawai sudah menjadi kebutuhan primer. Telepon genggam dan internet selalu memberi informasi lebih dari yang kita butuh. Algoritma bekerja dengan membuat semuanya tampak normal, tentang preferensi kita terhadap informasi yang saling terhubung antara sosial media satu dengan lainnya.
ADVERTISEMENT
Apa yang kita cari di Instagram, muncul di Facebook dan sebaliknya. Di dunia maya, ke mana pun kita pergi, jutaan informasi menguntit. Jika informasi itu adalah jebakan, maka kita terperangkap ke dalamnya—berulangkali—dan mau tidak mau kita dipaksa menerimanya.
Kecepatan informasi itu yang membawa kita pada cerita seekor babi ngepet yang baru saja trending. Cerita mistis lawas yang terus berulang dengan bentuknya yang itu-itu saja. Era disrupsi teknologi ternyata belum dapat mengganti logika mistika semacam itu sepenuhnya. Tanda bahwa tidak semua punya akses yang sama terhadap informasi dan pengetahuan.
Kenapa kita masih percaya takhayul? Dalam ilmu biologi, menurut para darwinian, proses evolusi terjadi dalam periode waktu jutaan tahun sehingga metamorfosis manusia menjadi babi dalam sekejap itu muskil.
ADVERTISEMENT
Rekayasa gen yang diteliti dalam laboratorium para ilmuwan modern belum menunjukkan tanda-tanda akan terciptanya kura-kura berkepala manusia atau manusia yang hidup dalam cangkang siput. Kecuali dalam mitologi yang menampilkan manusia bertubuh kuda yang disebut Kentaur atau seperti Gregor Samsa tokoh dalam novel surealis dalam karangan Kafka yang tiba-tiba saja jadi kecoa. Sayangnya, kita tidak sedang berada di dalam dunia rekaan sehingga modernitas yang ditopang dengan logika sains ini akan menolak kalau seorang manusia bisa dengan sekejap menjadi babi.
Babi ngepet ini konon jelmaan manusia yang berubah menjadi babi. Dia beraksi dengan satu orang lain sebagai penjaga lilin, yang Jika lilin itu mati maka kematian juga akan segera menemui si babi. Begitulah imajinasi kita mengenai babi ngepet yang dibentuk oleh industri perfilman orde baru yang didominasi genre religi dan horror. Alasan untuk memelihara atau menjadi babi ngepet adalah membuat orang jadi kaya raya. Kita mungkin berseloroh: Dengan kemiskinan di Indonesia yang banyak sekali ini, mengapa tidak pemerintah menjadikan babi ngepet ini sebagai satu program nasional unggulan dan mengirim para babi ini ngepet ke negeri-negeri kaya? betapa absurdnya dunia jika hal itu terjadi.
ADVERTISEMENT
Jebakan Logika Mistika
Cara berpikir dengan menggunakan logika mistik seperti inilah yang pernah Tan Malaka gugat jauh hari di tahun 1926 sebelum kita merdeka, bahwa kepercayaan pada takhayul dan hal-hal gaib adalah pikiran irasional yang akan membuat kita sulit lepas dari penjajahan. Meskipun pada akhirnya tesis Tan Malaka pun keliru karena kita pun akhirnya merdeka, tapi kenyataannya Tan Malaka masih benar pada bagian pikiran kita yang masih sama seperti sembilan dekade lalu, yang masih mudah dikelabui. Kegelisahan yang sama disampaikan Mochtar Lubis dalam pidato kebudayaannya pada tahun 1977 di Taman Ismail Marzuki yang kelak menjadi buku yang berjudul Manusia Indonesia. Dalam salah satu pembahasannya Mochtar Lubis menyinggung manusia indonesia yang percaya takhayul. Bahwa tradisi dan budaya Indonesia membuat masih banyak yang menyembah benda-benda untuk mendapatkan berkah. Ada faktor eksternal yang membuat keyakinan manusia dilandaskan pada keyakinan yang mistis.
ADVERTISEMENT
Manusia indonesia sedari dulu sudah dekat dengan beragam mistifikasi. Di mana segala hal mengenai ketimpangan kelas, nasib buruk, dan semacamnya disimplifikasi penyebabnya dengan hal-hal gaib agar kita pasrah pada keadaan karena ada kuasa magis di luar kendali manusia. Sementara, kita luput melihat sebab-sebab empirik yang jadi penyebab utamanya. Alpanya pikiran logis melihat persoalan sosial itulah yang membuat perubahan sosial tiap individu itu sukar terlaksana sebab kita sudah terjebak ke dalam logika semacam ini. Dan tidak sepenuhnya pikiran logika mistika itu hadir dari tradisi, ia bisa lahir dari bagaimana media membentuk imajinasi kita khususnya dalam kepercayaan pada hal-hal gaib. Kita bisa pelan-pelan keluar dari cara berpikir itu dengan bertanya-tanya mengapa cerita hantu selalu populer di Indonesia?
ADVERTISEMENT
Peristiwa babi ngepet yang kerap muncul hanya jebakan kecil yang dapat menjebak kita pada cara pandang mistis, yang membuat kita terperangkap dalam satu cara melihat dunia, dan menafikan cara lain yang lebih logis. Untuk terhindar dari jebakan itu, kita perlu lebih sering mempertanyakan dan menggugat takhayul itu. Sejauh apa dia punya kontribusi di dalam kehidupan kita. Kendati pun pada aspek hidup yang lain—yang lebih spiritual, ada beragam ketidakmasukakalan yang diperintahkan untuk kita yakini.
Pada akhirnya babi ngepet tak pernah benar-benar ada. Ia hanya karangan yang timbul dari kecemburuan sosial karena adanya ketimpangan kelas. Seperti sebuah pohon, fenomena sosial yang kerap kelihatan hanya batang, ranting, dan daunnya, sementara sebab-sebab lainnya seperti sulur akar yang bercabang-cabang tertimbun di bawah tanah dan begitupun cerita babi ngepet dalam tulisan ini yang hanya satu akar saja dari banyaknya akar-akar yang lain.
ADVERTISEMENT