Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Gunakanlah Bahasa Kaum
30 Maret 2021 7:53 WIB
Tulisan dari Syafri Arifuddin Masser tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di sebuah desa nun jauh dari kota. Satu kelompok mahasiswa ditugaskan untuk membuat program kerja dalam 30 hari selama masa baktinya di tempat KKN. Mereka sukar lulus jika mendapati nilai yang buruk dari kepala desa. Setelah hari ke-25 program kerja mereka hampir rampung, mulai dari pembuatan gerbang batas desa, beberapa plang imbauan larangan membuang sampah serta nomor rumah untuk setiap rumah. Program nonfisik seperti mengajar untuk kelas tambahan di sekolah dan mengajar ilmu tajwid di masjid akan berakhir juga beberapa hari lagi.
ADVERTISEMENT
Pak Desa puas dengan kinerja 25 hari ini dari mahasiswa. Ulet dan telaten. Karena tiga hari terakhir ini Pak Desa melihat mereka tak lagi banyak pekerjaan sehingga dia menugaskan pekerjaan baru kepada mereka. Dalam jamuan malam, setelah makan, dia mengeluarkan keluh kesahnya:
"Jadi begini anak-anak. Di desa ini ada tiga dusun yang berada di balik gunung belakang rumah saya. Di sana ditinggali puluhan keluarga saja. Dari ketiga dusun itu, banyak anak-anak" dia menghela napas ketika kalimat terakhir diucapkan. "Terus masalahnya apa, Pakde?" satu orang memotong pembicaraannya. "Orang tua mereka, melarang anak-anak mereka untuk sekolah." Seisi rumah tertegun. "Oleh sebab itu, saya mau minta tolong untuk anak-anakku sekalian. Bagaimana caranya supaya mereka mau mengizinkan anaknya untuk sekolah. Karena di desa ini, saya punya program beasiswa desa untuk anak-anak yang kurang mampu. Biaya sekolahnya gratis."
ADVERTISEMENT
Ketiga belas mahasiswa berembuk malam itu juga. Sebagai agen perubahan, maka tugas ini bukan lagi dianggap perintah melainkan tanggungjawab moril bagi mahasiswa yang telah mengecap pendidikan tinggi. Terpilihlah tiga orang nama: Kembara, Tualang dan Kelana yang ditugaskan untuk tiga dusun itu. Waktu sisa lima hari dan mereka harus menyelesaikan amanah pakde.
Di hari pertama ketiga orang itu berangkat. Kembara pergi ke dusun A. Dia mengumpulkan seluruh warga di rumah pak dusun untuk melakukan sosialisasi. "Bapak, ibu, yang saya hormati, pendidikan itu sangat important. When kita tidak pergi ke sekolah maka kita menciptakan sebuah failed generation. So, anak-anak bapak ibu must go to school!" Kembara masih berbicara dengan agitasinya, tapi satu persatu orang tua itu meninggalkan rumah pak dusun. Tak cukup sehari, dia pun meninggalkan dusun itu tanpa ada satu pun kata-katanya yang membekas di benak orang-orang tua itu. Dari kejauhan ketika Kembara kembali ke posko, dia berjalan sempoyongan. Kelelahan menuruni bukit dan tertunduk lesu karena dia gagal mengajak anak-anak di dusun A untuk sekolah.
ADVERTISEMENT
Di hari kedua, Tualang masih berada di dusun B. Dia punya cara yang lain. Dia tidak melakukan sosialisasi dengan mengumpulkan orang di rumah pak dusun, melainkan berkunjung dari satu rumah ke rumah yang lain. Di dusun itu rumah hanya empat puluh saja, dan setengahnya dikunjungi Tualang dari pagi hingga petang. Namun, hasil sama saja. Kepulangan tiada hasil. Orang tua di dusun itu bersikukuh untuk tidak membiarkan anaknya sekolah. Ketika Tualang ditanya oleh teman-teman poskonya atas kegagalannya itu, Tualang lekas menjawab "saya bingung ketika para orang tua itu bilang 'buat apa sekolah tidak ada uangnya, sementara bertani dan berkebun anak-anak langsung punya uang' saya kehabisan akal, karena kenyataanya begitu, kan?"
Di hari ketiga Kelana belum pulang juga sementara penarikan sebentar lagi. Rupanya, dia tak ingin pulang. Teman-temannya meninggalkannya di sana. Tentu atas permintaan Kelana sendiri. Pakde pernah mengunjunginya di sana untuk membujuknya pulang dan dia memilih menetap. Ternyata Pakde merasa berat hati karena memberi tugas yang berat. 30 hari setelah kedatangannya di dusun itu. Pakde girang sekali. Anak-anak akhirnya turun gunung. Dia dikawal sama anak KKN yang tampangnya sudah seperti warga asli di sana. Sebelum Kelana kembali ke dusun. Pakde mengundangnya makan malam dan melemparkan belasan pertanyaan padanya, perihal bagaimana caranya mengajak anak-anak itu mau sekolah.
ADVERTISEMENT
"Sederhana saja Pakde, saya ajak saja mereka pergi sekolah agar mereka melihat sendiri bagaimana itu sekolah dan apa yang mereka bisa peroleh dari sekolah. Untuk orang tuanya, saya yakinkan kalau dengan sekolah, anak-anak tidak akan bisa dibodoh-bodohi." Orang tua yang selama ini merasa dicurangi di pasar desa, pada saat menjual hasil kebunnya, pelan-pelan menyadarinya " Ternyata tidak susah ya, tapi Nak kenapa kamu butuh waktu hingga 30 hari untuk bisa mengajak mereka sekolah?"
"30 hari itu saya pakai untuk berbaur dengan mereka dan mempelajari bahasa mereka. Saya berupaya untuk menjadi bagian dari mereka dan tidak dianggap orang asing, dan salah satunya untuk bisa merasa apa yang mereka rasakan adalah dengan komunikasi. Bagaimana bisa berkomunikasi jika bahasanya saya tidak paham? Itulah mengapa saya tinggal lebih lama di sana--hanya untuk mengenal bahasanya--mengenal kebudayaannya"
ADVERTISEMENT
Pak Desa sembari menikmati tuaknya masih mendengarkan dengan saksama "saya tidak datang membawa solusi. Saya tidak melihat mereka dari kaca mata kota. Saya di sana lebih banyak membangun dialog kritis agar saya tahu jalan pikiran mereka. Mereka bicara dan saya lebih banyak mendengar. Selebihnya kami menghabiskan waktu untuk bertukar pikiran dan saling mengenal."
Lengan sudah mulai dimasukkan ke dalam ketiak, artinya sudah waktunya Kelana kembali ke dusun itu, untuk pamit karena sebentar lagi dia akan pulang kembali ke kotanya. Membawa pengalaman baru dan memikul banyak pertanyaan.
***
Kisah yang saya tulis di atas adalah ilustrasi sederhana tentang bahasa yang kerap dianggap tinggi untuk menunjukkan intelektualitas seseorang, yang justru menjadi tak berarti di tempat yang tidak tepat. Bahasa yang seyogianya dapat disampaikan dengan sederhana, disampaikan dengan rumit. Alih-alih menunjukkan kecakapan bahasa dan keluasan pikiran, melainkan secara tidak langsung menunjukkan ketidakpahaman kita pada konteks.
ADVERTISEMENT
Kita perlu mengenali siapa lawan bicara dan di mana kita mau bicara sebab dari dua hal itu, kita akan tahu pola komunikasi apa yang mau digunakan. Kita tentu tidak perlu mendebati nelayan dengan banyak teori tentang cara berenang dari kapal yang ingin tenggelam, bukan?
Tujuan kita bicara agar pesan kita sampai. Kalau antara komunikator dan komunikannya tidak menemukan kesamaan persepsi berarti komunikatornya perlu merefklesi diri, adakah dia sudah mengetahui lawan bicaranya siapa dan di mana tempat dia bersuara. Karena menunjukkan bahasa-bahasa ilmiah di ruang yang tidak tepat, hanya akan menjebak kita pada narsisme intelektual yang delusif. Jangan sampai kita langit yang sibuk menunjukkan diri ke semua orang kalau kita tinggi.
ADVERTISEMENT
Kecuali jika kita berada di ruang yang lain. Misalnya, kampus atau forum-forum yang dipenuhi orang-orang literat cum intelektual. Kita bebas menggunakan segala macam bahasa di sana. Kita tidak perlu malu menunjukkan keluasan pikiran dan bahasa yang kita miliki sebab kita berada di lingkungan yang sesuai. Ketika ada yang protes karena tidak paham, maka dia barangkali belum layak berada di tempat itu. Karena dia sadar bahwa itu adalah forum gagasan sehingga dia seharusnya memaksa diri untuk tahu, agar bisa merelevansikan diri dengan arus pemikiran yang berkembang. Bukan menyalahkan bahasa yang digunakan orang lain atas ketidaktahuannya.
Konteks tak bisa kita pisahkan dari bahasa. Oleh karenanya pakailah bahasa kaum. Bahasa yang digunakan oleh semua orang di tempat kita bicara. Bahasa yang akan membuat orang lain paham bukan sekadar terkagum-kagum dengan apa yang kita sampaikan. Bahasa yang akan menuntun orang lain dari ketidaktahuan menuju pengetahuan baru tanpa penghakiman. Bahasa yang akan menyambungkan kita tidak hanya pada tiap individu semata, tetapi juga pada kebudayaannya.
ADVERTISEMENT
Charles Bukowski seorang penyair Amerika pernah berujar" Intelektual mengatakan hal sederhana dengan cara yang rumit. Seniman mengatakan hal yang sulit dengan sederhana." Kita boleh saja mengangguk untuk apa yang disampaikan Bukowski, tetapi kita boleh juga menampiknya. Yang jelasnya, semoga kita tidak sedang berusaha menyelamatkan ikan yang hanyut dengan membawanya ke daratan.