'Homo Sapiens' dan Revolusi-revolusi yang Menjadikannya Adikuasa

Syafri Arifuddin Masser
Juru tulis: puisisyafri, peresensi di resensi.co.id, buruh suara di Radio Banua Malaqbi, relawan lterasi di Kamar Literasi & Teras Aksara Mamuju
Konten dari Pengguna
20 November 2021 17:54 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syafri Arifuddin Masser tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber foto: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber foto: pixabay.com
ADVERTISEMENT
Homo Sapiens atau manusia saat ini barangkali tak pernah membayangkan dirinya adalah spesies yang bertahan dalam bentangan sejarah ribuan tahun. Menjadi satu-satunya penguasa bumi yang mengatur dan menciptakan lahirnya peradaban, mengelola alam dengan sesuai kehendaknya hingga menciptakan masa depan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Setiap kelompok manusia memiliki penjelasan teoritis perihal proses penciptaan alam semesta baik secara teologis yang tak perlu diperdebatkan lagi dan secara biologis (sains) yang menjadi dasar pendekatan buku fenomenal Sapiens: A Brief History of Humankind milik Yuval Noah Harari.
ADVERTISEMENT
Sapiens ditulis oleh Dr. Yuval Noah Harari seorang sejarawan Israel lulusan Oxford yang mengajar di Universitas Ibrani Yerusalem. Yuval Noah Harari menulis buku Sapiens untuk menjelaskan asal-usul manusia dan perkembangannya. Harari Menjawab pertanyaan-pertanyaan yang selama ini tersimpan. Pendekatan sejarah dan biologinya dengan bahasa naratif menjadi formula yang membuat bukunya mega bestseller. Tesis Harari selalu membuat kita terkejut dan berkata: “Yah, betul juga” misalnya dengan: “Seandainya agama pendakwa tak ada maka perang akan berkurang, atau lebih banyak orang mati karena kekenyangan daripada kelaparan, dsb.” Dengan penjelasan sejarah yang komparatif dan naratif ini membuat karyanya dibaca banyak orang di belahan dunia. Sampai pendiri Facebook Mark Zuckerbeg menyamakan buku ini dengan Muqqadimah Ibnu Khaldun dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan kiwari hari ini.
ADVERTISEMENT
Harari memulai segala tesisnya dalam Sapiens dengan premis: mengapa dan apa yang membuat manusia bertahan sejauh ini di puncak mata rantai makanan, sementara manusia sama dengan binatang lain pada mulanya? jawaban itu akan ditemukan dari sejarah perkembangan manusia dalam tiga revolusi: revolusi kognitif, revolusi agrikultur, dan revolusi saintifik. Ketiga revolusi itu yang menentukan bagaimana Homo Sapiens dapat menjadi satu-satunya spesies manusia yang bertahan di muka bumi.

Revolusi Kognitif

Mulanya manusia adalah binatang yang memiliki ragam jenis (genus): Homo Neandertal, Homo Soloensis, Homo Erectus dan lainnya. Namun sekarang, hanya Homo Sapiens saja yang menjadi satu-satunya jenis manusia yang tersisa. Hal ini ditandai ketika Homo Sapiens mengalami satu revolusi kognitif dalam perkembangnya pada 70.000 ribu tahun lalu dan berhasil menciptakan kebudayaan dan sejarahanya sendiri dengan meminggirkan para saudara-saudaranya yang lain, yang tidak memiliki kecakapan kognitif dalam belajar, mengingat, dan berkomunikasi.
ADVERTISEMENT
Dalam revolusi kognitif Homo Sapiens telah mengenali bahasa, menciptakan legenda, mitos, dewa, dan agama, kemudian mulai mengetahui cara bekerja sama dengan skala lebih besar dan efisien. Dari kerja sama itu Homo Sapiens dapat membuat kota dan peradaban. Jika manusia terdahulu bekerja sama dengan hanya mengandalkan keintiman naluriah secara biologis yang sangat terbatas, sekarang manusia membentuk mitos bersama—yang tersimpan dalam imajinasi kolektif manusia—yang menggerakkan mereka dalam kerja sama yang lebih masif. Mitos bersama ini juga sebagai realitas terbayang, di mana seluruh Homo Sapiens menggantungkan rasa percaya padanya. Keyakinan komunal ini menjadikan realitas terbayang memiliki akar kekuatan yang kuat di bumi.
Sebelum mengenal revolusi kognitif spesies manusia mendekam di wilayah Afro-Asia dan terhambat berkembang di dunia luar karena lautan, tetapi Homo Sapiens mampu bekerja sama untuk mengatasi persoalannya itu dan menjadikannya spesies yang berada di puncak mata rantai makanan dalam sejarah spesies di seantero bumi. Olehnya itu, Harari menganggap bahwa kepunahan massal manusia dan spesies lain tidak disebabkan oleh iklim ekstrem, tetapi dilakukan oleh Homo Sapiens yang telah mengalami revolusi kognitif.
ADVERTISEMENT

Revolusi Agrikultur

Secara independen, sekitar 10.000 tahun lalu, Homo Sapiens mengalami perubahan pola hidup. Mereka meninggalkan kebiasaan yang sudah bertahan 2,5 juta tahun lamanya dengan hidup nomaden dan menjadi pemburu-pengumpul. Kali ini mereka menetap di satu wilayah dan bercocok tanam dan beternak. Menurut Harari, revolusi pertanian adalah penipuan sejarah terbesar yang pernah ada sebab manusia dimanipulasi oleh tanaman dan hewan, bukan sebaliknya, yang kita kira selama ini dikehendaki oleh keinginan manusia. Revolusi pertanian membuat manusia menjadi lebih manja, eskalasi populasi meningkat lebih besar, dan nahas bagi hewan ternak sebab puncak evolusi mereka hanya akan jadi konsumsi di meja makan manusia.
Revolusi pertanian ini membawa serta keinginan manusia untuk merencanakan masa depan lebih matang. Homo Sapiens telah berada di track yang tepat, tetapi di sisi lain, bisa saja berada di jalan menuju kebinasaan. Homo Sapiens telah membuat populasi yang membesar tak terbendung. Inilah cikal bakal manusia nantinya menciptakan sistem politik dan sosial dengan jumlah besar. Revolusi pertanian juga membuat manusia surplus kebutuhan, sehingga manusia tak bisa merekam kebutuhan (angka) di dalam kemampuan ingatannya saja. Akhirnya, terciptalah tulisan—lebih tepatnya kegiatan mencatat. Aksara diciptakan untuk memudahkan Homo Sapiens menyimpan informasi yang pada perkembangannya akan membentuk bahasa dengan spektrum percakapan lebih luas, dan pada puncaknya aksara (aritmatika) akan menjadi fondasi dari bahasa kode dalam komputer.
ADVERTISEMENT
Homo Sapiens bertahan dengan menciptakan tatanan khayalan, yang darinya lahirlah hierarki. Harari menganggap keadilan dalam sejarah tak ada sebab hierarki dalam tatanan terbayang ini mengkehendaki adanya kelas superior yang berkuasa dan kelas inferior yang mengalami penindasan. Realitas terbayang ini adalah fiksi yang menganggap dirinya adalah sesuatu yang terjadi secara alamiah yang menciptakan strata, gender, kasta, ras dan pemisah-pemisah lainnya.

Penyatuan Manusia

Sebelum masuk ke revolusi ke-3, Harari menerangkan perihal bagaimana Homo Sapiens dapat menyatu dan menciptakan naluriah artifisialnya untuk bekerja dengan Homo Sapiens lain dalam kerangka yang lebih besar. Bukan lagi antara satu individu, tetapi jutaan individu dengan jutaan lainnya. Kebudayaan sebagai hasil realitas terbayang membuat Homo Sapiens mempercayai fiksi dan mitos. Pada takaran tertentu, Homo Sapiens membentuk kaidah dalam menjalankan kehidupannya yang disebabkan oleh kebudayaan—yang sifatnya berubah-ubah sepanjang waktu. Kepercayaan kepada realitas terbayang ini yang menjadikan Homo Sapiens seribu langkah lebih maju ketimbang saudara-saudaranya yang lain.
ADVERTISEMENT
Penyatuan manusia ini dibentuk oleh mitos bersama yang diciptakan oleh manusia sendiri, baik berupa aturan hukum, ideologi, dan agama. Muskil kerja sama dalam skala besar terjadi jika tidak ada mitos bersama ini. Terbentuknya kerajaan, negara, atau kerja sama lainnya itu karena imajinasi bersama mereka. Apa yang membuat perang terjadi jika bukan imajinasi bersama dalam patriotisme dan nasionalisme cinta tanah air?
Selain itu, untuk mencapai visi globalnya, Homo Sapiens mengenali uang. Homo Sapiens meninggalkan pola ekonomi barter yang hanya melibatkan sekelompok kecil orang menuju ke pertukaran yang lebih besar. Uang tak dimaknai dengan lembar kertas atau logam, tetapi lebih kepada imajinasi manusia untuk membentuk sistem untuk mewakili nilai-nilai yang akan dipertukarkan. Uang membuat manusia makin menyatu dan lebih mudah untuk membandingkan komoditas yang berbeda. Uang menjadi medium pertukaran sekaligus sebagai bahasa yang universal. Dengan uang pula ternyata toleransi terhadap kesenjangan kultural meninggi sebab atas nama uang, Homo Sapiens tidak lagi mengenal kelas sosial, agama, gender, usia, dan strata lainnya kendati para filsuf mengaggap uang sebagai akar kejahatan.
ADVERTISEMENT
Penyatu lain adalah Imperium—sebuah tatanan sosial dan politik yang ditandai dengan dua ciri, yaitu kekuasaan atas sejumlah besar manusia dengan etnis berbeda dan wilayah yang terpisah, dan memiliki batas wilayah yang luas dengan menggabungkan wilayah bangsa berbeda tanpa menghilangkan identitas tunggalnya. Imperium adalah perwajahan tatatan politik paling stabil sejak 2.500 tahun lalu. Sayangnya, pembentukan sebuah imperium dilakukan dengan cara penaklukkan di mana harus ada darah yang tumpah, dan pedang yang terhunus. Corak pemikiran imperial manusia modern seperti fanatisme, nasionalisme dan patriotisme, itu tidak lepas dari sejarah peninggalan imperium.
Dan penyatu ketiga manusia sekaligus yang paling besar dan bertahan saat ini menurut Harari adalah agama kendati kerap dianggap sebagai biang kekerasan dan sumber perselisihan. Faktanya imperium dapat runtuh, tetapi agama tidak—lebih khususnya agama samawi. Agama bukan buatan manusia, melainkan diciptakan oleh otoritas-absolut. Agama memiliki legitimasi metafisik untuk menciptakan hukum fundamental dan primordial, dan memiliki superhuman sebagai rujukan atas segala pola perilaku manusia untuk membuat tatanan sosial tetap stabil. Sayangnya, menurut Harari, realitas terbayang ini akan melahirkan banyak pengikut, itu artinya akan semakin banyak penganut dan hierarki, dan oleh karena itu, maka semakin besar potensi agama itu akan rapuh.
ADVERTISEMENT

Revolusi Saintifik

Pada fase terakhir ini, Homo Sapiens telah menapak ke tangga revolusi selanjutnya. Ia tidak hanya dapat mengubah sejarah, tetapi dapat memberhentikannya. Itu ditandai dengan manusia yang berhasil menapakkan kaki pertama kali ke bulan yang merupakan kabar baik, tetapi penemuannya terhadap senjata nuklir adalah malapetaka. Belum lagi kehadiran sains dengan perkawinannya dengan imperium melahirkan anak yang kita sebut imprealisme. Khususnya kalangan eropa yang melihat bahwa para ilmuwan dan penemu memiliki kesamaan untuk menemukan hal baru. Menemukan wilayah taklukkan baru. Keduanya membentuk ikatan historis, di mana orang eropa menganggap membangun imperium sebagai proyek ilmiah, dan menjalankan disiplin kepakaran para saintis adalah tugas imperial.
Kapitalisme ikut serta dalam revolusi saintifik ini sebab kapitalisme yang dapat membangun imperium dan melancarkan proyek para ilmuwan. Kehadiran sains dan kapitalisme adalah dua hal yang membuat imprealisme Eropa meninggalkan sejarah penaklukannya yang kelam. Homo Sapiens semakin optimis dengan masa depan dengan kehadiran kapitalisme yang mana manusia tidak lagi khawatir dengan teori sumber daya alam yang akan terkuras habis jika dieksploitasi secara terus menerus. Homo Sapiens dapat memanfaatkan kapitalisme untuk berinvestasi pada penelitian dan menciptakan sumber energi baru.
ADVERTISEMENT
Revolusi industri masuk dalam perkembangan revolusi saintifik. Pemanfaatan mesin uap ini mengubah pola perilaku manusia yang bertopang kapitalisme. Masa depan lebih cerah dengan kehadiran kapitalisme. Homo Sapiens melawan evolusi natural dengan menciptakan temuan-temuan baru. Pada akhirnya Homo Sapiens melawan seleksi alam dengan menciptakan desain cerdas: rekayasa biologis, rekayasa cyborg (yang akan lebih banyak dibahas di Homo Deus), dan rekayasa kehidupan anorganik.
***
ADVERTISEMENT
Puncak revolusi Homo Sapiens adalah manusia dapat menjadi Tu(h)an untuk semesta. Homo Sapiens bisa sangat menakutkan bagi ekosistem. Homo Sapiens juga berada pada posisi adikuasa dengan potensi menciptakan dan menghancurkannya yang sama besarnya. Harari menutup riwayat singkat manusia dengan menyatakan bahwa, sumbangan manusia terhadap keberlangsungan hidup selama ini tidak berkelindan dengan kesejahteraan individu, melainkan penderitaan kolektif yang lebih besar di bumi sebab dengan kekuasaan super power itu Homo Sapiens kerap tamak dan melahirkan kehancuran-kehancuran yang besar ketimbang kemaslahatannya.
Buku Sapiens: A Brief History of Humankind barangkali akan langsung ditolak bagi kita yang beragama secara skriptualis sebab kecenderungan Harari melihat proses penciptaan dengan sangat darwinian. Perdebatan lama tentu akan kembali terulang dan tak berujung, “Apakah manusia hari ini adalah hasil evolusi Adam dan Hawa yang berjenis Homo Neanderthal, atau jenis lainnya?” menjadi pertanyaan yang jawabannya akan saling berpunggungan sampai kapan pun karena titik pijak argumentasinya lahir dari tempat yang berbeda. Belum lagi orientasi seksual Harari yang berbeda dengan keumuman, dan asal usulnya dari Israel membuat konklusi di awal kalimat di paragraf ini tepat adanya. Namun, bagi kita yang mengedepankan alam pikir logis tentu tak ingin terjebak di dalam kecenderungan berpikir argumentun ad hominem bahwa bukan pada siapa yang menyampaikan tetapi apa yang disampaikannya.
ADVERTISEMENT
Untuk beberapa bagian, kita mungkin boleh tidak sepakat dengan Harari, tetapi bukan berarti pada bagian lain kita tidak sepakat secara terus-menerus dengannya. Barangkali seperti Gus Dur yang mengatakan, “Das Kapital sama dengan buku-buku kajian ilmiah yang lain, bukan bacaan setan” dapat menjadi pijakan kita melihat Sapiens karya Harari sebagai karya ilmiah yang dapat kita kritik habis-habisan, tetapi dengan cara-cara yang akademik setelah tentu, sudah membacanya terlebih dulu.