Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kudeta Myanmar dan Matinya Seorang Martir
5 Maret 2021 14:19 WIB
Tulisan dari Syafri Arifuddin Masser tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kudeta terjadi di Myanmar. Pemimpin sipil yang sah ditangkap oleh militer. Perbatasan ditutup dan internet diblokir. Situasi pun berubah dengan cepat, anggota militer yang harusnya berada di barak, turun ke jalan. Mereka mengendarai kendaraan perang di jalan-jalan kota. Memamerkan kekuatan di hadapan rakyat biasa.
ADVERTISEMENT
Pemimpin baru pascakudeta memberlakukan masa darurat selama setahun. Transisi kekuasaan yang akan terasa cepat bagi militer dan akan sangat lama bagi rakyatnya. Rezim militer yang puluhan tahun berkuasa di sana kembali menancapkan kuku-kuku kuasanya.
Min Aung Hlaing dalang di balik kudeta itu. Dia adalah orang yang menjaga faksi militer di parlemen masih eksis saat kepemimpinan sipil memenangkan pemilu. Pemilihan yang dianggapnya curang, dimenangkan oleh kelompok sipil partai Liga Nasional untuk Demokrasi Aung San Suu Kyi menjadi alasan. Keberadaan militer dan sipil di Myanmar memang cukup rumit. Kisahnya mengingatkan kita pada kisruh yang sama di Indonesia puluhan tahun yang lalu.
Militer Myanmar yang pernah belajar banyak dari militer orde baru Soeharto itu barangkali hanya belajar bagaimana caranya kudeta, menertibkan lawan politik, memberi dwifungsi militer, dll. Tapi ia lupa kalau orang yang dia tempati belajar akhirnya tumbang dengan demonstrasi. Oleh karena itu Min Aung Hlaing harus bersiap-siap menghadapi gelombang protes yang panjang sebab zaman berubah tapi kuasa represi akan selalu berhadapan dengan perlawanan yang abadi. Meskipun cara yang akan dipakai militer pada akhirnya, untuk menyelesaikan masalah akan tetap sama pula, yaitu kekerasan dan senjata.
ADVERTISEMENT
Setiap momentum perlawanan akan melahirkan tokoh yang menjadi simbol. Tirani dan simbol perlawanan itu berjalan berkelindan. Keduanya hadir bersamaan dan sejarah selalu milik mereka: tirani dan penentangnya. Mereka yang mati dalam proses penentangan itu, kendati tak mengorganisir gerakan akan menjadi simbol. Dia akan terselip dalam sejarah perlawanan. Di Myanmar hari ini, yang terpilih adalah seorang gadis berusia 19 tahun yang mati muda dan saya ingin mencatatkan sejarah itu seperti ini:
Di riuh jalan kota Mandalay, letusan senjata memecah kerumunan demonstran. Ada yang lari kocar-kacir dan ada yang tetap tinggal dan menanggalkan rasa takutnya. Salah satunya adalah seorang perempuan yang menyeru agar orang-orang tiarap dan lantang memekik: "kami tidak akan lari, tidak boleh ada darah yang tumpah" saat peluru sudah mulai meluncur satu persatu.
ADVERTISEMENT
Namun, tak lama, perempuan dengan rambut terikat dan berkaos hitam itu pun terkapar. Darah melumer seperti lelehan coklat dari balik rambutnya. Di kalung tanda pengenalnya ada golongan darah tertulis B+ agar petugas medis bisa sigap memberi transfusi jika ia membutuhkan.
Di balik tanda pengenalnya ada sebuah pesan: "kelak jika saya terluka dan tak mampu tertolong lagi maka berhentilah menolong saya. Donorkanlah bagian organ tubuh saya yang berguna ke orang yang membutuhkan." Dia telah siap dengan segala kemungkinan terburuk dari apa yang dia rencanakan. Dia menjemput kematiannya dengan mengagumkan, dengan masih bisa berguna bagi kemanusiaan dalam keadaan sekarat. Dia telah menyiapkan kematiannya sebagai seorang martir. Dialah Ma Kyal Sin.
Ma Kyal Sin bukan siapa-siapa dan tak ada yang mengenalinya. Ia biasa juga dipanggil Deng Jian Xi, hanya seorang yang menggeluti beberapa hobi sebagai penari juga taekwondo. Seperti orang lain seusianya, ia menjalani hari-hari sebagaimana biasanya. Tak ada yang spesial. Tetapi itu sebelum Junta militer di negaranya, Myanmar, melakukan kudeta . Pengambilalihan kepemimpinan sipil dengan jalur-jalur picik itulah yang mengubah dunianya. Ia tahu kehidupan tiran akan kembali lagi dan satu-satunya cara menumbangkan rezim seperti itu adalah parlemen jalanan.
ADVERTISEMENT
Sehingga dia harus turun ke jalan mengambil peran. Mengencangkan ikat pinggangnya dan menyingsingkan lengan bajunya sebagaimana ratusan orang lainnya yang melakukan hal yang sama. Padahal dia bisa saja tetap di rumah menjalankan hari-harinya seperti biasa, tapi dia tetap memilih menentukan jalan takdirnya. Jalan yang akhirnya merenggut nyawanya. Dia masih 19 tahun. Usia yang pas untuk merencanakan masa depan cemerlang dengan banyak prestasi. Namun, bukan prestasi akademik yang diperoleh. Tak ada medali pun piala yang ia menangkan, tapi kematiannya adalah prestasi itu sendiri sebab kita tahu puncak prestasi seorang aktivis adalah kematian.
Dia barangkali tak setenar Che di kuba atau Gandi di India, tapi kematianya sama. Bukan karena sama-sama mati tertembak, tapi karena kematiannya menjadi simbol perlawanan. Begitu pun kini Angel panggilan lain untuk dirinya yang akan menjadi simbol perlawanan rakyat Myanmar. Kini ia terbang ke langit menyisakan perjuangannya bagi masyarakat Myanmar. Ia berpesan : "everything will be ok" dalam kaos terakhir yang ia kenakan dan dalam perjanalannya itu ia pasti masih memberi salam dengan mengangkat tiga jarinya.
ADVERTISEMENT