Menelusuri Akar Politik Identitas

Syafri Arifuddin Masser
Juru tulis: puisisyafri, peresensi di resensi.co.id, buruh suara di Radio Banua Malaqbi, relawan lterasi di Kamar Literasi & Teras Aksara Mamuju
Konten dari Pengguna
15 November 2021 13:01 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syafri Arifuddin Masser tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Alyssa Rose dari pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Foto Alyssa Rose dari pexels.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Francis Fukuyama dalam magnus opum-nya The End of History and The Last Man menganggap ideologi demokrasi liberal sebagai pemenang dalam sejarah karena ia, pada akhirnya, diterima hampir di seluruh negara pasca-kekalahan ideologi komunisme. Namun, tesis Francis Fukuyama tentang pengakuan universal dalam demokrasi liberal itu mendapati tantangan pengakuan yang lebih sempit yang berbasis bangsa, agama, sekte, ras, etnis hingga gender, bahkan Yuval Noal Harari dalam 21 lessons for 21st century menganggap paket-paket liberalisme sudah irelevan dengan perkembangan saat ini.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, kemenangan politik identitas ala Donald Trump tahun 2016 dan menggemanya gerakan Black Lives Matter sebagai bentuk solidaritas kulit berwarna atas supremasi kulit putih; meningkatnya gerakan fundamentalisme agama dan islamophobia di saat yang sama; serta besarnya gelombang gerakan feminis untuk mendapat kesetaraan dalam tradisi kebudayaan patriarkis yang terakumulasi ke dalam politik identitas menjadi kenyataan politik baru hari ini. Dan hal inilah yang membuat Francis Fukuyama menulis buku Identitity: The Demand for Dignity and The Politics of Resentment untuk menguraikan persoalan identitas mulai dari akar sampai ke ranting-rantingnya. Lebih khusus mengenai hal, apakah politik identitas ini adalah ancaman atau keniscayaan?
Identitas dalam KBBI adalah ciri-ciri khusus yang dimiliki seseorang. Jadi individu dapat menjadi identitas kolektif sepanjang ciri-ciri atau kekhususan itu dimiliki yang lain dan tergabung dalam satu kelompok. Francis Fukuyama menanggalkan pengertian identitas seperti itu dan definisi identitas yang hanya sebagai informasi dasar seseorang. Lebih jauh dia mendefinisikan identitas sebagai pembeda diri seseorang dengan dunia luar. Misalnya, bagi mereka yang teralienasi dari tempatnya tinggal, atau termarginalkan dalam sistem politik yang ia terima. Francis Fukuyama menganggap bahwa fenomena politik abad 21 merupakan persoalan identitas sehingga dengan memahami perkara identitas ini maka kita akan lebih memahami dinamika politik kontemporer.
ADVERTISEMENT
Manusia memiliki tiga hal dalam jiwanya. Francis Fukuyama menyebutnya dengan istilah thymos, yaitu bagian jiwa yang sangat membutuhkan pengakuan, isothymia tuntutan untuk dihormati atas dasar kesetaraan dengan yang lain, dan megalothyma keinginan untuk diakui sebagai yang lebih unggul. Ketiga hal inilah yang melahirkan martabat dan hasrat. Martabat yang tercederai dan hasrat yang terpenuhi untuk lebih unggul dari yang lain adalah alasan dari lahirnya politik identitas yang pada puncaknya menjadi awal mula kekerasan, tirani, dan konflik yang tak berkesudahan.
Ketiganya juga dapat kita pahami dengan melihat: media sosial mengafirmasi thymos ini dengan kenyataan bahwa kita berbondong-bondong mengaktualisasi diri demi mengejar validasi, realitas isothymia yang kita temukan seperti kelompok Uighur di Cina, atau OPM di Indonesia yang alih-alih menyebut dirinya sebagai orang Indonesia, tetapi orang Papua, dan realitas konkret dari megalothyma yang dapat dilihat sebagaimana Hitler yang membentuk politik identitas bangsa Jerman yang unggul dengan ras Arya-nya dengan menganggap entitas lain lebih rendah.
ADVERTISEMENT
Ketika politik dunia terbagi ke dalam dua spektrum kanan dan kiri, politik identitas yang beragam belum begitu muncul ke permukaan. Hingga kedatangan internet yang membuat politik identitas bergerak secara eksponensial di mana orang-orang jauh lebih mudah mengelompokkan dirinya dengan orang lain dengan kecepatan informasi yang mereka terima.
Francis Fukuyama juga melihat identitas dulunya digerakkan oleh faktor ekonomi politik bahwa keinginan untuk diakui tidak lepas dari faktor ekonomi, khususnya tentang untung rugi yang diterima sebuah kelompok atau faktor politik seperti perjuangan kelas atau perjuangan kelompok untuk meraih kemerdekaan atau lepas dari keterjajahan. Ternyata ada faktor lain, dalam hal ini adalah faktor spiritual, di mana kasus radikalisme islam yang membuat segelintir orang rela meledakkan diri karena faktor keyakinan atas kepercayan ilahiah.
ADVERTISEMENT
Dari keinginan untuk diakui, politik identitas berkembang menjadi politik kebencian dan rasial. Fenomena ini, salah satu penyebabnya karena martabat manusia yang direndahkan dan keberadaan manusia yang tidak terakui sehingga ada dorongan untuk membentuk kelompok berdasar viktimisasi: perasaan menjadi korban dan tidak dianggap. Tak ayal, perjuangan politik atas nama suku seperti Kurdi di timur tengah dan sebagian Papua di Indonesia menjadi identitas yang mengasosiasikan dirinya karena perasaan sepenanggungan atas ketidakadilan otoritas di sekitarnya atau dalam pernyataan Francis Fukuyama bahwa pemerintahan yang otoriter akan melahirkan politik identitas yang jauh lebih kuat.
Jalan keluar dari persoalan politik kebencian dan politik identitas ini menurut Francis Fukuyama adalah dengan menciptakan identitas yang lebih universal dan tidak terbelenggu ke dalam identitas parsial: SARA. Identitas yang dimaksud itu adalah identitas nasional yang inklusif sebagai satu identitas tunggal yang mengikat keragaman dalam satu simpul, sehingga kita masih bisa menjadi Islam tetapi juga di saat yang sama seorang (Indonesia) nasionalis. Identitas nasional yang dimaksud juga bukan menjadi identitas entnonasionalis yang konservatif berdasarkan etnis tertentu yang intoleran, agresif, dan illiberal yang terdapat di zaman monarki dan fasisme.
ADVERTISEMENT
Fungsi Identitas nasional ini adalah menciptakan ketertiban umum dan menjamin keamanan bersama, kalau tidak ada hal ini, maka kita hidup dalam perang sipil yang tak berkesudahan, kemudian hal itu juga menjamin kualitas pemerintahan berjalan dengan baik, mengakselerasi pembangunan ekonomi dengan membuat negarawan dengan etos kerjanya yang kuat membuat negara bisa maju seperti Jepang, China, dan Korea Selatan. Identitas nasional juga membangun kepercayaan sebagai modal sosial, mempertahankan jejaring pengamanan, dan menjadikan demokrasi liberal sebagai kontrak antara warga dan negara untuk menciptakan kehidupan yang damai. Tanpa mematuhi kontrak ini maka tak ada identitas nasional. Oleh karena itu, Identitas nasional bisa menjadi pilihan politik identitas yang mengakomodir demokrasi liberal.
Identitas merupakan keniscayaan meskipun hal tersebut sesuatu yang tidak terberi secara lahiriah dan bisa dibentuk oleh pengalamanan hidup. Nasionalisme tribal, etnonasionalisme, atau identitas apa pun yang berangkat dari pandangan dunia dan ideologi bisa menjadi alat untuk melahirkan politik kebencian, tetapi juga dapat melahirkan integrasi nasional bilamana ada kepercayaan untuk hidup bersama dalam identitas yang lebih besar yang bisa memayungi identitas yang lebih kecil.
ADVERTISEMENT
Apa yang disampaikan Francis Fukuyama dalam bukunya ini adalah upaya untuk menyelamatkan demokrasi liberal itu sebagai the last man standing, tetapi benarkah demokrasi liberal menjadi pilihan yang benar-benar ideal sekarang ini? terlepas dari itu, setidaknya, identitas nasional bisa menjadi jawaban untuk kekacauan atas nama politik identitas.