Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Belajar Kepemimpinan Akomodatif dari Presiden Jokowi
10 Oktober 2023 17:52 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Syafril Efendi Hanafiah (SEH) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Keberhasilan Presiden Jokowi memimpin selama hampir 1 dekade tanpa halangan berarti dari oposisi membuat banyak pihak terkagum mengingat sosok Jokowi berangkat dari figur petugas partai dan pendatang baru dalam politik nasional. Selain itu Presiden Jokowi tidak memiliki banyak pengalaman bekerja sama dengan elite politik serta memiliki keleluasaan dalam mengatur pemerintahan khususnya dalam awal-awal masa pemerintahannya. Namun berkat model pengelolaan koalisi yang tepat serta kelihaian dalam berkomunikasi dengan banyak pihak membuat Jokowi mampu menjalankan pemerintahan dengan lancar.
ADVERTISEMENT
Dalam pembentukan pemerintahannya Presiden Jokowi menghasilkan pemerintahan koalisi besar dengan hampir semua partai. Pilihan ini memang tidak sejalan dengan janji politik Jokowi yang bertekad akan memulai suatu budaya politik yang baru, yaitu konsep koalisi tanpa adanya politik transaksional.
Dinamika hampir 1 dekade pemerintahan Jokowi mencakup dimensi yang luas dan kompleks. Jokowi pun rela mengingkari janjinya mewujudkan koalisi tanpa syarat dengan diawali beralihnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP), diikuti Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Golkar hingga Partai Gerindra sebagai bagian koalisi pendukung pemerintahan.
Kasus pengelolaan koalisi di Indonesia dapat dilihat dari literatur-literatur yang menjelaskan sebuah upaya pengelolaan koalisi di parlemen. Misalnya David Altman (2000) mendiskusikan kehancuran koalisi dalam pengelolaan rezim presidensial.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Hiroi & Lenno (2014) dan juga Pereira et al (2016) membahas faktor karakteristik partai politik, ideologis, dan juga celah konflik yang dapat terjadi dalam koalisi. Beberapa pandangan dalam literatur tersebut mencoba dilengkapi dengan studi kasus Mietzner (2016) di Indonesia.
David Altman (2000) membuka suatu diskusi pembentukan dan pengelolaan koalisi dengan studi kasus di Uruguay. Temuan dari literatur ini adalah bagaimana sebuah siklus kerja sama dan kebuntuan antar aktor politik sangat mungkin terjadi. David Altman (2000) juga menyimpulkan, tidak hanya prospek kerja sama politik tetapi juga kemungkinan fraksi tertentu meninggalkan koalisi pemerintahan.
Hal ini dijelaskan dengan berbagai variabel seperti kedekatan ideologis antara fraksi Presiden dan kelompok politik lain, tingkat kepercayaan pada Presiden, afiliasi suatu fraksi dengan partai Presiden, kedekatan pemilu yang akan datang, dan keadilan kesepakatan koalisi.
ADVERTISEMENT
Pandangan Altman (2000) tersebut dinilai sudah terlampau jauh sehingga faktor lain dalam upaya pengelolaan koalisi tidak begitu dimunculkan. Misalnya seperti dalam Hiroi & Lenno (2014) dan juga Pereira et al (2016) yang menyisipkan pengaruh pragmatisme partai politik membentuk koalisi serta perihal ideologis dalam pengelolaan koalisi partai politik, khususnya di parlemen. Hiroi & Lenno (2014) menjelaskan sebuah pengelolaan koalisi yang dengan sedikit hambatan dari legislatif dalam Sistem Multipartai.
Temuan dalam tulisan Hiroi & Lenno (2014) menunjukkan jarak ideologis antara koalisi pemerintahan dan oposisi dapat menunda proses legislasi, atau bahkan dengan jumlah partai yang berlebihan. Namun, analisis dari temuan tersebut juga mengungkapkan bahwa konflik di dalam koalisi jauh lebih konsekuensial daripada konflik antara pemerintah dan oposisi.
ADVERTISEMENT
Ini artinya dalam pengelolaan koalisi, faktor lain yang berpengaruh terhadap manajemen koalisi di Parlemen di antaranya adanya faktor konflik internal pada koalisi itu sendiri, baik yang terjadi di koalisi pemerintahan, maupun koalisi oposisi. Literatur ini juga membuka celah konflik yang sewaktu-waktu dapat terjadi di antara anggota koalisi.
Tidak berbeda jauh dengan Hiroi & Lenno (2014), Pereira et al (2016) juga menyisipkan faktor ideologis yang memang dinilai sedikit mempengaruhi upaya pengelolaan koalisi. Sebelum mengarah pada faktor ideologis, literatur ini menyebutkan sedikit bagian dari upaya koalisi yang ditawarkan sebagai upaya politik akomodatif dalam pengelolaan koalisi tersebut.
Pereira et al (2016) menjelaskan mengenai manajemen koalisi yang dilakukan oleh Presiden di Parlemen. Manajemen koalisi ini dilakukan untuk mengatur mitra koalisi di Parlemen terutama saat melakukan upaya koalisi di bawah kendali eksekutif. Penelitian ini menunjukkan bahwa pilihan presiden tentang bagaimana mengelola koalisi mempengaruhi biaya pemerintahan. Tak hanya itu, juga dalam pengendalian berbagai faktor lain terutama dalam upaya tawar-menawar kebijakan politik yang dibuat.
ADVERTISEMENT
Kepiawaian Jokowi
Mietzner (2016) pernah menuliskan fenomena manajemen koalisi Jokowi dalam karyanya “Coercing Loyalty: Coalitional Presidentialism and Party Politics in Jokowi’s Indonesia”. Dalam penelitiannya, Mietzner menyatakan bahwa Jokowi menggunakan pendekatan koersif dalam mengelola koalisi dengan partai oposisi.
Cara-cara yang dilakukan oleh Jokowi menggunakan metode intervensi dalam internal partai, khususnya partai-partai oposisi yang sedang berkonflik. Mietzner memberikan bukti Jokowi memanfaatkan konflik kepemimpinan dalam PPP dan Golkar. Sebagai contoh kasus ketika pemerintahan Jokowi memberikan SK Kemenkumham kepada kepada Agung Laksono dari Golkar pada tahun 2016, dan Romahurmuziy dari PPP pada 2014.
Literatur ini membahas contoh kasus di Indonesia bagaimana Presiden Jokowi memiliki pendekatan yang lebih koersif dengan mengaktifkan kembali alat-alat kekuasaan yang tidak digunakan sejak zaman otokrasi Suharto. Jokowi mengukuhkan otoritasnya di lingkungan multi-partai dengan menggunakan metode intervensionis yang berada di luar Kotak Alat konvensional presidensialisme koalisi dalam demokrasi. Melalui alat kekuasaan eksekutif, Jokowi mencoba untuk lebih akomodatif dalam upaya mengelola koalisi di Parlemen guna mendapatkan dukungan politik untuk memuluskan jalannya pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Beberapa literatur banyak menjelaskan suatu kasus pengelolaan koalisi yang beragam. Beberapa upaya pengelolaan tersebut bisa dikatakan dipengaruhi oleh faktor ideologis atau tawaran barang koalisi sekalipun dalam meredam konflik yang terjadi. Akan tetapi, belum ada penelitian yang memungkinkan pengaruh secara personalistik Presiden dalam mengelola koalisi pemerintahan khususnya di parlemen. Ini menjadi ceruk penelitian terutama dalam melihat studi kasus yang dituliskan oleh Mietzner (2016) bahwa sorotan personalistik Presiden Jokowi seharusnya dapat lebih berpengaruh dan dapat didalami terutama dalam menganalisis pengaruhnya.
Koalisi presidensial dilengkapi dengan kotak alat eksekutif (executive toolbox) memberikan kerangka kerja yang berguna bagi pemerintah dalam sistem presidensial multipartai. Namun, efektivitas pemerintah sangat tergantung pada berbagai faktor, antara lain kepribadian dan kepemimpinan Presiden. Penggunaan executive toolbox yang didukung oleh kepribadian dan kepemimpinan Presiden Jokowi ini didasari oleh Jokowi yang terpilih sebagai presiden namun bukan sebagai ketua dari partai pengusung.
ADVERTISEMENT
Karena Jokowi sebagai presiden tidak memiliki otonomi dalam pengambilan kebijakan dan berada di bawah kekuasaan partai pengusung makan kebutuhan untuk menggunakan kotak alat eksekutif menjadi semakin besar. Penelitian ini menemukan bahwa keberhasilan Presiden Jokowi dalam menggunakan kotak alat eksekutif (executive toolbox) dalam membangun koalisi. Hal ini menjadi faktor yang menyebabkan berjalannya roda pemerintahan sehingga divided government pada pemerintahan Jokowi selama dua periode kepemimpinannya tidak terjadi.