Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Membaca Maksud Koalisi Gemuk dalam Pemerintahan Prabowo
31 Desember 2024 10:57 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Syafril Efendi Hanafiah (SEH) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setelah Prabowo Subianto terpilih sebagai Presiden pada Pilpres 2024, pemerintahan kabinetnya mencerminkan pola koalisi gemuk, yakni melibatkan banyak partai politik pendukung. Koalisi gemuk ini bertujuan untuk menciptakan stabilitas politik dengan mengakomodasi berbagai kepentingan partai dalam susunan kabinet sekaligus memastikan dukungan mayoritas di parlemen. Pendekatan ini memungkinkan pemerintah menjalankan agenda strategis tanpa hambatan signifikan di DPR, seperti pengesahan undang-undang atau kebijakan prioritas. Namun, di sisi lain, koalisi gemuk juga berpotensi menghadirkan tantangan berupa pembagian jabatan yang adil dan harmonisasi kepentingan antarpartai. Dengan warisan stabilitas dari era Jokowi, kabinet Prabowo berpeluang melanjutkan capaian positif sebelumnya, sambil membawa arah baru sesuai visi pemerintahannya. Keberhasilan kabinet ini akan sangat bergantung pada kemampuan Prabowo menjaga soliditas koalisi dan memastikan pemerintah tetap efisien serta responsif terhadap kebutuhan rakyat.
ADVERTISEMENT
Carlos Pereira & Marcus Andre Melo (2012) dalam tulisannya “The Surprising Success of Multiparty Presidentialism” menjelaskan presidensialisme multipartai dengan koalisi politik memberikan kestabilan dalam pembuatan kebijakan Presiden. Pereira & Marcus Andre Melo (2012) berpendapat bahwa rezim presidensial multipartai yang berbasis koalisi dinilai dapat berhasil stabil apabila dapat memenuhi tiga kriteria. Pertama, rezim presidensial akan hadir apabila Presiden kuat secara konstitusional. Artinya bahwa kekuasaan Presiden yang dilindungi oleh undang-undang dapat menjauhkan dirinya dari segala upaya dan proses pemakzulan. Di sisi lain, partai koalisi pemenang Presiden banyak diklaim di beberapa negara merupakan koalisi minoritas sehingga kepastian atas perlindungan konstitusional menjadi variabel lain dalam melihat faktor kestabilan politik. Kedua, memiliki “barang” politik untuk ditawarkan guna menarik dan mempertahankan mitra koalisi. Pandangan ini menjelaskan bahwa Presiden akan selalu berusaha untuk akomodatif terhadap koalisi pemerintahannya maupun oposisinya dengan menawarkan berupa jabatan politik di kabinet pemerintahannya. Hal ini dinilai sebagai langkah strategis menciptakan kestabilan politik. Ketiga, menghadapi pengawasan yang dilembagakan dan efektif atas tindakan Presiden. Pengawasan yang dijalankan oleh legislatif terhadap eksekutif dinilai sebagai pengawasan taktis yang tentunya tidak terlalu mengganggu jalannya kebijakan dan program eksekutif.
ADVERTISEMENT
Pereira & Marcus Andre Melo (2012) juga menjelaskan dalam sistem Presidensial Multipartai memang dibutuhkan eksekutif yang kuat secara konstitusional. Eksekutif yang kuat ini dapat beroperasi sebagai formatur abadi, terutama dalam menyatukan koalisi yang terbentuk pada pemungutan suara meskipun terdapat perbedaan dukungan. Hal ini dapat dilakukan guna mendukung setiap inisiatif penting dalam perumusan kebijakan. Selain itu, Pereira & Marcus Andre Melo (2012) juga menjelaskan bahwa eksekutif dapat sering menggunakan keuntungan partikularistik (seperti proyek politik pork barrel) bersamaan dengan transfer politik (jabatan kabinet, penunjukan jabatan, dan konsesi kebijakan). Upaya ini ditempuh untuk mengumpulkan sebanyak mungkin dukungan politik.
Dalam konteks Indonesia, penelitian-penelitian mengenai koalisi politik menyebutkan efektivitas koalisi dalam mencegah terjadinya kebuntuan dalam hubungan eksekutif dan legislatif. Studi penting tentang presidensialisme multipartai dan pembentukan koalisi dalam sistem Presidensialisme Multipartai di Indonesia adalah disertasi oleh Djayadi Hanan dengan judul “Making Presidentialism Work: Legislative and Executive Interaction in Indonesian Democracy” (Hanan, 2012). Djayadi Hanan menjelaskan alasan sistem presidensialisme multipartai yang terjadi di Indonesia dapat berjalan dengan baik dan stabil. Djayadi menjawab sekaligus membantah argumen Mainwaring tentang kegagalan hubungan eksekutif dan legislatif dalam sistem presidensial multipartai dimana terdapat kerapuhan dalam sistem presidensialisme multipartai seperti yang terjadi pada negara-negara Amerika Latin. Berdasarkan penelitiannya terhadap pemerintahan SBY, Hanan berpendapat terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan sistem presidensialisme multipartai di Indonesia cenderung stabil yakni; Pertama, Adanya sosok presiden yang mengedepankan koalisi dan lebih suka menggunakan pendekatan akomodatif. Kedua, yakni perilaku elit politik yang cenderung akomodatif dan mengutamakan konsensus. Terakhir, adanya banyak sarana penunjang yang dapat digunakan oleh presiden untuk memelihara koalisinya (executive toolbox). Berbeda dengan studi Hanan yang melihat pemerintahan SBY dalam membangun koalisi besar sehingga menguasai eksekutif dan legislatif sehingga tidak mengalami fenomena divided government di awal pemerintahan. Temuan studi Hanan ini tidak tepat untuk menggambarkan fenomena yang terjadi pada masa kepemimpinan Jokowi-JK dimana Jokowi menjalankan awal roda pemerintahan dengan kondisi legislatif dikuasai mayoritas oposisi dan koalisi pemerintah yang minim dalam parlemen.
ADVERTISEMENT
Pilihan Koalisi Prabowo
Keputusan Prabowo Subianto sebagai Presiden terpilih pada Pilpres 2024 yang membentuk kabinet dengan pola koalisi gemuk diiringi dengan langkah strategis untuk menambah jumlah kementerian menjadi 48 Kementerian dan membuat posisi wakil menteri (wamen) guna mengakomodasi kepentingan partai-partai politik pendukung. Koalisi gemuk, yang melibatkan berbagai partai dengan kepentingan politik dan agenda yang beragam, membutuhkan strategi pembagian kekuasaan yang tidak hanya bersifat simbolis tetapi juga substantif agar tercipta stabilitas politik yang solid. Penambahan kementerian baru dapat digunakan untuk memperkuat sektor-sektor strategis yang dianggap relevan dengan prioritas pemerintahan, seperti digitalisasi, energi terbarukan, atau ekonomi kreatif. Sementara itu, posisi wakil menteri dapat menjadi solusi untuk memberikan peran signifikan kepada partai pendukung tanpa harus merombak struktur kabinet secara besar-besaran.
ADVERTISEMENT
Namun, langkah ini juga memiliki konsekuensi. Penambahan posisi atau kementerian dapat meningkatkan beban anggaran negara dan memunculkan kritik publik terkait efisiensi birokrasi. Selain itu, koordinasi antarmenteri dan wamen dari partai yang berbeda dapat menjadi tantangan tersendiri, terutama jika terjadi tumpang tindih kewenangan atau konflik kepentingan. Meski demikian, langkah ini dapat menjadi strategi pragmatis untuk memastikan koalisi tetap solid dan agenda pemerintahan dapat berjalan lancar dengan dukungan penuh dari parlemen. Dengan memanfaatkan pengalaman dan keberhasilan stabilitas politik pada era Jokowi, kabinet Prabowo diharapkan mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan politik koalisi dan efektivitas pemerintahan, sehingga tetap fokus pada program-program prioritas yang berdampak langsung bagi masyarakat. Keberhasilan strategi ini akan sangat bergantung pada kemampuan Prabowo dan timnya untuk memastikan bahwa setiap tambahan posisi benar-benar memberikan nilai tambah bagi pemerintahan, bukan sekadar kompromi politik.
ADVERTISEMENT