Isu Hukum Pidana Adat dalam KUHP Baru

Syafruddin SH MH DFM
Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (2005-2015) saat ini aktif mengajar sebagai dosen di tempat yang sama
Konten dari Pengguna
24 Maret 2024 12:46 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syafruddin SH MH DFM tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penulis
zoom-in-whitePerbesar
Penulis
ADVERTISEMENT
Das recht ist und wird mit dem volke
(Hukum itu hidup dan tumbuh bersama-sama dengan rakyat).
ADVERTISEMENT
Kalimat Friedrich Karl von Savigny (1779-1861) tersebut pernah dikutip Moeljatno saat menyampaikan kata pengantar yang dibacakan sebelum memaparkan prasarannya yang berjudul “Atas Dasar atau Asas-asas Apakah Hendaknya Hukum Pidana Kita dibangun?” dalam Kongres Persahi II di Surabaya pertengahan tahun 1964
Barda Nawawi Arief kemudian dalam pidato pengukuhan guru besarnya menyatakan bahwa penggalian dan pengembangan nilai-nilai hukum pidana yang hidup di dalam masyarakat bertumpu pada dunia akademik/keilmuan. Barda Nawawi Arief menyebut nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai “batang terandam” yang belum banyak terangkat ke permukaan. Upaya mengangkat batang terandam ini penting dilakukan untuk dikaji secara mendalam sebagai bahan penyusunan hukum nasional
Akhirnya setelah lebih dari 70 tahun Republik Indonesia merdeka lewat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengakui adanya hukum pidana adat didalam
ADVERTISEMENT
Pasal 2
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (l) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.
(2) Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam UndangUndang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.
(3) Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Menurut Hilman Hadikusumah, hukum pidana adat sendiri diartikan sebagai hukum yang hidup (living law) dan akan terus hidup selama ada manusia budaya, ia tidak akan dapat dihapus dengan perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
Andaikata juga diadakan undang-undang yang menghapuskankannya, akan percuma juga. Malahan hukum pidana perundang-undangan akan kehilangan sumber kekayaannya oleh karena hukum pidana adat itu lebih erat hubungannya dengan antropologi dan sosiologi daripada perundang-undangan.
Yang menjadi isu hukum kedepannya adalah perumusan penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat dalam pasal 3 dimana hukum pidana adat tidak mengenal prae extence regel yaitu apakah ada peraturan yang telah ditetapkan atau belum ada aturannya, apabila perbuatan itu mengganggu keseimbangan masyarakat, maka pelaku pelanggaran adat tersebut dapat di hukum.
Sebagai pembaharuan hukum pidana, hal ini sangat baik namun sebagai catatan diperlukan kejelian bagi perumus norma dalam Peraturan Pemerintah kedepannya untuk melihat sejauh mana hukum yang hidup dalam masyarakat itu eksis
ADVERTISEMENT