Konten dari Pengguna

Judicial Pardon dalam KUHP Baru

Syafruddin SH MH DFM
Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (2005-2015) saat ini aktif mengajar sebagai dosen di tempat yang sama
1 Agustus 2023 11:36 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syafruddin SH MH DFM tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Aditia Noviansyah
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Aditia Noviansyah
ADVERTISEMENT
Ada adagium yang berbunyi het recht hinkt achter de feiten ann atau hukum selalu tertinggal dengan peristiwanya. Hal itu yang tampak ketika melihat KUHP yang didasarkan Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di mana hanya menganut single track system yang memuat sanksi pidana semata dengan mengedepankan teori pembalasan yang memuat putusan vonis, lepas, atau bebas
ADVERTISEMENT
Namun dalam KUHP Baru, hakim diberi kewenangan untuk tidak menjatuhkan sanksi pidana walaupun dalam pembuktian telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana
Dalam Pasal 54 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 disebutkan:
Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan Tindak Pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan
Dari rumusan pasal di atas dapat ditarik unsur objektif dan subjektif yaitu:
Unsur Subjektif:
1.Tiap orang
Unsur objektif:
1.Ringannya perbuatan
2.Keadaan Pribadi
3.Keadaan Pada Waktu Dilakukan Tindak Pidana
4.tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan
5.mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan
ADVERTISEMENT
Pasal 54 di atas koheren dengan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak:
Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan Tindak Pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.
Ilustrasi undang-undang. Foto: Getty Images
Asas Rechtelijk Pardon ini semula hanya digunakan di negeri Belanda dengan merevisi Wetbook van Strafrecht Nederland dan memasukkannya dalam Pasal 9a yang berbunyi:
de rechter kan in het vonni bepalen dat geen straf of maatregel zal worden opgeled, wanner hij dit raadzaam acht vanwege het gebrek aan zwaarte van de overtreding, het karakter van de dader of de omstandigheden die gepaard gaan met het plegen van de overtreding of daarna.
ADVERTISEMENT
Jika diterjemahkan menjadi:
Hakim dalam putusannya jika berkeyakinan bahwa perbuatan itu ringan maka, dan kepribadian pelaku atau keadaan pada waktu perbuatan dilakukan, selanjutnya jika dia menunjukkan keteladanan, maka hakim dalam putusannya memutuskan tidak ada pidana atau tindakan yang di jatuhkan.
Pasal di atas telah sesuai dengan tujuan pemidanaan, Pasal 51 KUHP yakni:
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat
2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan lebih berguna
3. Menyelesaikan konflik yang timbul akibat tindak pidana
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Barda Nawawi Arief mengatakan dalam bukunya ide yang terkandung dalam asas Rechtelijk Pardon adalah:
1. Menghindari kekakuan dan absolutisme pemidanaan.
ADVERTISEMENT
2. Menyediakan klep/katup pengaman (veiligheidsklep).
3. Koreksi secara judicial terhadap asas legalitas (judicial coreective to the legality principle).
4. Pengemplementasian/pengintegrasian nilai atau paradigma “hikmah kebijaksanaan dalam Pancasila”.
5. Pengaplikasian tentang tujuan pemidanaan. Dalam hal ini hakim harus memperhatikan tujuan pemidanaan bukan hanya didasarkan atas tindak pidana dan kesalahan.