Konten dari Pengguna

Pendekatan Hukum Responsif dalam Penanganan Konflik Pulau Rempang

Syafruddin SH MH DFM
Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (2005-2015) saat ini aktif mengajar sebagai dosen di tempat yang sama
1 Oktober 2023 5:12 WIB
·
waktu baca 12 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syafruddin SH MH DFM tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mengajukan gugatan hukum. Foto: Proxima Studio/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mengajukan gugatan hukum. Foto: Proxima Studio/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Secara singkat sebelum lahirnya negara, diawali oleh perkumpulan-perkumpulan yang pada akhirnya dapat membuka jalan menuju suku-suku, desa-desa, kota, kerajaan, hingga negara. Istilah Negara berasal dari kata-kata asing, “Staat” (Belanda dan Jerman), “State” (Inggris), “Etat” (Perancis). Istilah “Staat” pertama kali digunakan pada abad XV di Eropa Barat .
ADVERTISEMENT
Seiring waktu muncul konsep negara hukum (rechstaat) di Eropa Kontinetal. Sementara di Inggris berkembang konsep Rule of Law. Rujukan Rule of Law yang sampai saat ini dipakai dapat dilacak dari karya populer A.V. Dicey dalam “Law and the Constitution ”
Dicey menyebutkan unsur-unsur pokok mengenai Rule of Law yaitu:
“First, no one is punishable except for a distinct breach of law and, therefore, the rule of law is not consistent with arbitrary or even wide discretionary authority on the part of the government;
Second, the rule of law means total subjection of all classes to the law of the land, as administered by the law courts;
Third, individual rights derive from court precedent rather than from constitutional codes”.
Ilustrasi mengajukan gugatan hukum. Foto: Salivanchuk Semen/Shutterstock
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, dalam Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, (organisasi) negara dengan pola-pola kehidupan yang secara formal distrukturkan oleh seperangkat kaidah khusus (disebut hukum negara), berupa seperangkat hukum tertulis yang disistemastisasikan dan dirasionalisasikan secara formal, dan ditegakkan oleh suatu aparat birokratis yang diberi kewenangan memaksa. Sehingga nampak sekali hukum diformalkan dengan pakem yang prosedural, yang dikenal sebagai positivisme hukum.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut ditegaskan kembali oleh Wignjosoebroto, (aliran) positivisme dan pengaruhnya dalam kehidupan bernegara —untuk segera mengupayakan positivisasi norma-norma keadilan (ialah hukum yang dikonsepkan sebagai ius) agar menjadi norma perundang-undangan (ialah hukum yang dikonsepsikan sebagai lege)—sesungguhnya sangat fungsional untuk mempercepat terwujudnya negara bangsa yang diidealkan punya struktur yang terintegrasi dengan kukuh secara sentral dan berotoritas sentral.
Positivisme hukum muncul sebagai tanggapan atas fenomena yang ada saat itu (sangat empirical). Pemunculannya, akhirnya juga menggeser aliran sebelumnya yaitu, aliran hukum alam yang memang saat itu sudah terperas (exhausted) karena tidak mampu lagi menjawab persoalan-persoalan besar.
Bahkan, aliran positivisme hukum ini tidak hanya menggeser aliran sebelumnya, tetapi juga mendominasi teori-teori dan aliran-aliran pemikiran hukum yang masih ada semisal aliran realisme, atau sociological .
ADVERTISEMENT
Pendeknya, Ahmad Gunaryo menyebutkan, patut dikatakan bahwa aliran positivisme hukum pada saat itu merupakan teori pencerahan. Pada abad XVIII dan XIX kekuasaan negara semakin kuat dan serba meliputi.
Kehadiran negara modern sebenarnya ditopang oleh perkembangan ilmu dan pengetahuan yang demikian pesat. Perkembangan tersebut pada akhirnya ikut mengakselerasi jalannya perubahan-perubahan sosial.
Belum lagi lahirnya pola-pola kegiatan dan paham ekonomi baru seperti kapitalisme, yang ternyata akhirnya berubah menjadi pandangan hidup (way of life). Kapitalisme sebagaimana yang disebut oleh Steven Vago, merupakan kekuatan ekonomi baru mensyaratkan prinsip-prinsip rasionalisasi, predictiability, individualisme, dan liberalisme.
Rasionalisasi mengindikasikan bahwa aturan main dalam kehidupan harus dapat diterima oleh akal sehat (common sense). Predictiability mengindikasikan setiap social arrangement harus dapat diperkirakan sebelumnya. Individualisme menandakan adanya pengakuan terhadap hak-hak individu.
ADVERTISEMENT
Liberalisme mengindikasikan kebebasan yang sangat luas (bagi para individu). Pandangan hidup tersebut demikian dominannya sehingga memengaruhi seluruh sendi-sendi kehidupan, termasuk di dalamnya adalah paradigma hukumnya yang mencapai puncaknya pada abad XIX.
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
Begawan hukum kita, Satjipto Rahardjo pun menilai, hukum yang mengalami perkembangan besar pada abad XIX justru cenderung untuk menjadi arogan dan amat berpuas diri dengan kemajuan yang dicapainya. Dengan demikian, pemikiran tentang bagaimana hukum dijalankan, menjadi berhenti pada titik berpikir secara positivis-dogmatis, yang ternyata masih tetap berlangsung dewasa ini.
Begitu besarnya pengaruh aliran positivisme dalam pelaksanaan penegakan hukum (law enforcement) menyebabkan hukum tidak lebih diartikan sebagai undang-undang. Menurut Satjipto Rahardjo, memang ada aliran-aliran “pinggiran” tetapi mereka tenggelam di bawah dominasi pikiran yang dogmatis-formal-rasional.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, dengan perkembangan cara berpikir dalam psikologi yang makin beragam, sebetulnya aliran-aliran yang “tersisihkan” itu kian memperoleh dukungan dan pembenaran. Dengan demikian, berpikir dalam hukum yang masih mengikuti abad lalu akan ketinggalan dan menjadikan praktik hukum sebagai “fosil” yang kurang bermanfaat bagi masyarakat .
Philippe Nonet dan Philip Selznik, mengetengahkan teori mengenai tiga keadaan dasar hukum dalam masyarakat yaitu:
1. Hukum Represif yaitu hukum yang merupakan alat kekuasaan represif;
2. Hukum Otonom yaitu hukum sebagai suatu pranata yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritasnya sendiri; dan
3. Hukum Responsif yaitu hukum yang merupakan sarana respons atas kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi masyarakat.
Konsep hukum responsif ini merupakan jawaban atas kritik, bahwa seringkali hukum tercerai dari kenyataan-kenyataan pengalaman sosial dan dari cita-cita keadilan. Konsep ini juga merupakan suatu usaha untuk mengintegrasikan kembali teori hukum, filsafat politik, dan penelaahan sosial.
ADVERTISEMENT
Tesis yang diajukan oleh Nonet dan Selznik bukanlah suatu teori yang mampu menyelesaikan semua problem praktis. Namun, tesis tersebut memberikan suatu perspektif dan kriteria untuk mendiagnosis dan menganalisis problem-problem hukum dan masyarakat dengan penekanan khusus atas dilema-dilema institusional dan pilihan-piliihan kebijaksanaan yang kritis.
Ilustrasi Pulau Rempang. Foto: HASIHOLAN SIAHAAN/Shutterstock
Jika dikaitkan tesis Nonet dan Selznik dengan peristiwa bentrokan yang terjadi di Pulau Rempang, Kepulauan Riau baru-baru ini maka keadaan hukum yang terjadi adalah hukum represif.
Hukum represif sebagaimana yang digambarkan Nonet dan Selznick, menganggap bahwa tatanan hukum tertentu dapat berupa ketidakadilan yang tegas. Keberadaan hukum tidak menjamin keadilan, apalagi keadilan substantif . Sebaliknya, setiap tatanan hukum mempunyai potensi represif sebab hingga tingkat tertentu ia akan selalu terikat pada status quo, dan dengan baju otoritas kepada penguasa, hukum membuat kekuasaan kian efektif.
ADVERTISEMENT
Dilihat dari cara kerjanya, hukum represif merupakan hukum yang sangat efektif dan mengorbankan masyarakat serta keadilan bersama. Yang harus dikedepankan dalam pendekatan mengenai konflik teneurial yang terjadi di Pulau Rempang adalah hukum responsive.
Tipe hukum responsif mempunyai ciri yang menonjol, yakni:
a. Pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan;
b. Pentingnya watak kerakyatan (populis) baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya.
Tipe hukum responsif membedakan dirinya dari hukum otonom di dalam penekananya pada peranan tujuan di dalam hukum. Pembuatan hukum dan penerapan hukum tidak lagi merupakan tujuan sendiri, melainkan arti pentingya merupakan akibat dari tujuan sosial yang lebih besar yang dilayaninya.
Dilihat dari sisi ini, aturan-aturan hukum kehilangan sedikit dari sifat keketatannya. Aturan-aturan ini sekarang dilihat sebagai cara-cara khusus untuk mencapai tujuan yang lebih umum, dan aturan yang banyak macamnya itu diperluas atau mungkin malahan dibuang, apabila dipandang lebih baik ditinjau dari segi tujuan yang akan dicapai. Apa yang menjadi tujuan hukum dan apa yang harus dilayani oleh aturan hukum tidak selalu tampak, mungkin tersembunyi dan implisit sifatnya.
ADVERTISEMENT
Pokok yang penting adalah bahwa dalam pembentukan arti dari aturan-aturan, pertanyaan yang harus diajukan adalah: maksud-maksud apa yang dilayani, nilai- nilai apa dan kepentingan-kepentingan apa yang harus dipertaruhkan. Mungkin diperlukan analisis khusus untuk menemukan kepentingan-kepentingan tersebut, untuk membuat lebih jelas nilai-nilai tersebut dan untuk memperjelas tujuan-tujuan hukum.
Ilustrasi Palu Sidang. Foto: Shutterstock
Nonet dan Selznick menggambarkan pendekatan ini dengan contoh mengenai proses hukum yang tepat. Di bawah suatu rezim hukum otonom, konsep ini mungkin berarti tidak lebih dari pada keteraturan prosedural dari pembuatan keputusan dari aturan hukum yang sudah dibentuk.
Akan tetapi, tipe hukum responsif yang dicita-citakan menuntut suatu penafsiran yang lebih luwes yang melihat aturan hukum sebagai terikat kepada problem dan konteks khusus. Suatu institusi yang responsif mempertahankan secara kuat hal-hal yang esensial bagi integritasnya sembari tetap memperhatikan atau memperhitungkan keberadaan kekuatan-kekuatan baru di dalam lingkungannya.
ADVERTISEMENT
Untuk melakukan ini, hukum responsif memperkuat cara-cara di mana keterbukaan dan integritas dapat saling menopang walaupun terdapat benturan di antara keduanya. Lembaga responsif ini menganggap tekanan-tekanan sosial sebagai sumber pengetahuan dan kesempatan untuk mengoreksi diri. Agar dapat memperoleh sosok seperti ini, sebuah institusi memerlukan panduan berupa tujuan.
Tujuan-tujuan menetapkan standar-standar untuk mengkritisi tindakan yang mapan, dan karenanya membuka kesempatan untuk terjadinya perubahan. Pada saat yang bersamaan, jika benar-benar dijadikan pedoman tujuan dapat mengontrol diskresi administratif sehingga dapat mengurangi resiko terjadinya penyerahan institusional (institutional surender). Sebaliknya, ketiadaan tujuan berakar pada kekakuan (rigidity) serta oportunisme.
Kondisi-kondisi yang buruk ini ternyata hidup berdampingan dan terkait satu dengan yang lainnya. Suatu institusi yang formalis, yang terikat pada peraturan, merupakan institusi yang tidak memiliki kelengkapan yang memadai untuk hal-hal yang benar-benar dipertaruhkan dalam konfliknya dengan lingkungan sekitar.
ADVERTISEMENT
Institusi ini cenderung beradaptasi secara oportunis karena ia tidak mempunyai atau kekurangan kriteria untuk secara rasional merekonstruksi kebijakan-kebijakan yang sudah ketinggalan jaman atau yang tidak layak lagi. Hanya ketika sebuah lembaga benar-benar mempunyai tujuan barulah dapat ada kombinasi antara integritas dan keterbukaan, peraturan dan diskresi. Jadi, hukum responsif beranggapan bahwa tujuan dapat dibuat cukup objektif dan cukup berkuasa untuk mengontrol pembuatan peraturan yang adaptif
Konsep rule of law dan tipe hukum otonom untuk sebagian besar sinonim, sedangkan perbedaannya yang utama terletak pada fakta bahwa konsep rule of law digunakan maksimal untuk menggambarkan cita-cita dari pemerintahan oleh hukum (rules by laws) dan bukan pemerintahan oleh orang-orang (rules by men), sedangkan konsep hukum otonom memfokuskan perhatiannya pada kondisi sosial empiris dari konsep rule of law.
ADVERTISEMENT
Ciri-ciri utama tipe hukum otonom adalah:
a. Penekanan kepada aturan-aturan hukum sebagai upaya utama untuk mengawasi kekuasaan resmi dan tidak resmi.
b. Terdapat pengadilan yang bebas yang tidak dapat dimanipulasi oleh dan bebas dari kekuasaan politik dan ekonomi, serta memiliki otoritas khusus untuk mengadili pelanggaran hukum, serta memiliki otoritas khusus untuk mengadili pelanggaran hukum, baik oleh pejabat maupun para individu.
c. Terpisahnya hukum dari politik, yakni bahwa para ahli hukum dan pengadilan adalah spesialis-spesialis dalam menafsirkan dan menerapkan hukum, tetapi isi hukum tidak mereka yang menentukannya, melainkan merupakan hasil dari tradisi atau keputusan politik.
d. Pengadilan tidak dapat menjamin hukum itu adil, tetapi dapat mengusahakan agar hukum diterapkan secara adil, sehingga sumbangan yang paling penting bukanlah keadilan substantif, melainkan keadilan prosedur.
ADVERTISEMENT
Gagasan bahwa “prosedur merupakan jantung dari hukum” menjadi perhatian yang sangat besar dalam etos hukum otonom. Penjinakan terhadap represi dimulai dari tumbuhnya komitmen pemerintah terhadap aturan-aturan hukum dan prosedur merupakan jaminan utama bagi penerapan aturan hukum yang tak berat sebelah. Secara potensial otoritas represif dikendalikan oleh proses yang tepat. Dalam penyelesaian konflik antara negara dan rakyat, sistem hukum memberikan hasil yang paling tampak berupa keadilan prosedur semata.
Nonet dan Selznick lewat hukum responsif, menempatkan hukum sebagai sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Sesuai dengan sifatnya yang terbuka, maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi publik.
Bahkan menurut Nonet-Selznick, hukum responsif merupakan program dari sosiological jurisprudence dan realist jurisprudence. Dua aliran tersebut, pada intinya menyerukan kajian hukum yang lebih empirik melampaui batas-batas formalisme, perluasan pengetahuan hukum, dan peran kebijakan dalam putusan hukum.
ADVERTISEMENT
Hukum responsif merupakan teori tentang profil hukum yang dibutuhkan dalam masa transisi. Karena harus peka terhadap situasi transisi di sekitarnya, maka hukum responsif tidak saja dituntut menjadi sistem yang terbuka, tetapi juga harus mengandalkan keutamaan tujuan (the souvereignity of purpose), yaitu tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum itu. Lebih lanjut Nonet dan Selznick mengatakan:
““....Thus a distinctive feature of responsive law is the search of implicit values in rules and policies... a more flexible interpretation that sees rules as bound to specific problems and contexts, and undertakes to identify the values at stake in procedural protection.”
Apa yang dikatakan Nonet dan Selznick itu, sebetulnya ingin mengkritik model analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek yang hanya berkutat di dalam sistem aturan hukum positif, model yang mereka sebut dengan tipe hukum otonom.
ADVERTISEMENT
Hukum responsif, sebaliknya, pemahaman mengenai hukum melampaui peraturan atau teks-teks dokumen dan cenderung pada hasil akhir, akibat, dan manfaat dari hukum itu. Itulah sebabnya, hukum responsif mengandalkan dua “doktrin” utama.
Pertama, hukum itu harus fungsional, pragmatik, bertujuan, dan rasional.
Kedua, kompetensi menjadi patokan evaluasi terhadap semua pelaksanaan hukum. Karena kompetensi sebagai tujuan berfungsi sebagai norma kritik, maka tatanan hukum responsif menekankan:
i) Keadilan substantif sebagai dasar legitimasi hukum,
ii) Peraturan merupakan sub-ordinasi dari prinsip dan kebijakan,
iii) Pertimbangan hukum harus berorientasi pada tujuan dan akibat bagi kemaslahatan masyarakat,
iv) Penggunaan diskresi sangat dianjurkan dalam pengambilan keputusan hukum dengan tetap berorientasi pada tujuan,
v) Memupuk sistem kewajiban sebagai ganti sistem paksaan,
ADVERTISEMENT
vi) Moralitas kerjasama sebagai prinsip moral dalam menjalankan hukum,
vii) Kekuasaan didayagunakan untuk mendukung vitalitas hukum dalam melayani masyarakat,
viii) Penolakan terhadap hukum harus dilihat sebagai gugatan terhadap legitimasi hukum,
ix) Akses partisipasi pubik dibuka lebar dalam rangka integrasi advokasi hukum dan sosial.
Jika ditinjau Berdasarkan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya seharusnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Oleh karena itu, pemerintah memiliki tugas untuk menguasai dan menjaga itu semua, serta kemudian mengelolanya dengan sebaik-baiknya agar rakyat mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya.
Tony Budidjaja, Ketua Akademi Mediator dan Arbiter Independen Indonesia (MedArbId) menyatakan pada 23 September 2023 di Harian Kompas:
ADVERTISEMENT
“Konflik yang dihadapi adalah konflik tenurial atau hak adat. Dengan adanya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, seharusnya Menteri Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa segera turun tangan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan yang diperlukan."
Sehubungan dengan itu, perlu dilakukan analisis sejarah kawasan di mana lahan itu berada, termasuk kronologi penggunaan lahan itu berikut dengan para pemangku kepentingannya. Selain itu, perlu dilakukan analisis regulasi dan kebijakan, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang terkait dengan konflik tenurial yang sedang terjadi.
Pendekatan yang terbaik adalah musyawarah bersama atas dasar kepentingan dan, apabila perlu, meminta jasa mediasi oleh pihak ketiga yang netral guna merumuskan suatu kesepakatan bersama. Pendekatan ini akan mendorong para pihak untuk berhenti bertikai atau menggunakan kekerasan paling tidak untuk sementara waktu.
ADVERTISEMENT
T.O.Ihromi dalam studinya tentang pola-pola penyelesaian sengketa di pedesaan dan perkotaan di Indonesia mengungkapkan bahwa penyelesaian sengketa di desa dikategorikan menjadi dua macam.
Pertama adalah sengketa yang berkaitan dengan para pihak yang berasal dari kelompok etnis yang sama,akan diselesaikan dengan menggunakan pranata hukum adat melalui musyawarah keluarga, atau lembaga peradilan desa yang dipimpin oleh pemimpin komunitas atau pemimpin informal lain.
Namun di lain pihak dapat diamati, bila berkaitan dengan pengaruh modern, khususnya bila persoalan ekonomi dikaitkan dengan uang (monetized), maka sengketa yang menyangkut sumber daya uang yang besar atau berkaitan dengan hal yang menimbulkan prestise, akan cenderung dibawa ke pengadilan (negara).
Kedua, bila sengketa berkaitan dengan para pihak yang berasal dari kelompok etnis yang berbeda dengan disertai rasa permusuhan, biasanya diperlukan mediator yang berasal dari pegawai pemerintah lokal seperti polisi atau komandan militer lokal. Namun bila kelompok-kelompok tersebut berhasil bertenggang rasa, maka mekanisme antar kelompok tersebut dapat dimunculkan.
ADVERTISEMENT
Jika dijalankan dengan tepat, konflik ini bisa mendorong terjadinya kerja sama yang baik antara pemerintah dan warga untuk menjadikan Batam (termasuk Rempang) sebagai salah satu kawasan industri, perdagangan, dan wisata yang terbaik di Asia Tenggara.