Konten dari Pengguna

Wacana Penghapusan Kolom Agama di KTP

Syafruddin SH MH DFM
Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (2005-2015) saat ini aktif mengajar sebagai dosen di tempat yang sama
16 Januari 2023 16:01 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syafruddin SH MH DFM tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Warga penyandang disabilitas memperlihatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) Elektronik di Desa Morang, Kecamatan Kare, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Foto: ANTARA FOTO/Siswowidodo
zoom-in-whitePerbesar
Warga penyandang disabilitas memperlihatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) Elektronik di Desa Morang, Kecamatan Kare, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Foto: ANTARA FOTO/Siswowidodo
ADVERTISEMENT
Bagaimana seharusnya negara berperan dalam konteks kebebasan beragama atau berkepercayaan?
ADVERTISEMENT
Pertanyaan seperti ini biasanya selalu muncul ketika membicarakan kebebasan beragama di Indonesia. Posisi yang diambil oleh negara Indonesia sering menimbulkan pertanyaan dari pemerhati dan aktivis HAM karena adanya beberapa paradoks. Jika mencermati Undang-Undang Dasar 1945, maka Indonesia ingin memberikan jaminan terhadap kebebasan beragama.
Pada Pasal 29 UUD 1945 ayat 2 dinyatakan:
Namun, "pasal jaminan kebebasan beragama" ini dinilai belum dilaksanakan sepenuhnya oleh negara. Yang banyak mendapat sorotan dalam kaitannya dengan jaminan negara terhadap kebebasan agama adalah pemberian pengakuan negara hanya pada enam agama yaitu: Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu.
Pengakuan negara ini mengundang sederet pertanyaan;
ADVERTISEMENT
Pertanyaan bisa terus bertambah jika ketentuan yang lain diungkap seperti keharusan mencantumkan identitas agama dalam KTP seperti diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Pada awalnya, pencantuman kolom agama dalam KTP didasarkan pada Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 1/PNPS/1965 jo Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China jo Undang-Undang Nomor 65 Tahun 1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama. Atas dasar ketentuan inilah, agama dimasukkan dalam KTP. Seiring berjalannya waktu, peraturan perundang-undangan tersebut diubah sehingga dasar hukum yang berlaku saat ini adalah Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, untuk selanjutnya disebut UU Administrasi Kependudukan.
ADVERTISEMENT
Kemudian, permasalahan mengenai penghapusan kolom agama dalam KTP menjadi diskursus yang hangat diperbincangkan dewasa ini. Pada awalnya semua terjadi karena berdasarkan Pasal 64 (1) Undang-Undang Administrasi Kependudukan dikatakan bahwa salah satu elemen penting yang mutlak harus diisi seseorang dalam KTP adalah kolom agama. Namun sejalan dengan direvisinya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 terdapat perubahan fundamental yang tertuang dalam Pasal 64 ayat (5)-nya bahwa:
Rumusan pasal tersebut pun senada dengan hal yang dikemukakan oleh Tjahjo Kumolo pada waktu itu selaku Menteri Dalam Negeri yang mempertegas untuk memperbolehkan pengosongan kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) terhadap orang yang agama atau kepercayaannya tidak/belum diakui secara yuridis oleh negara. Bola panas yang awalnya hanya berkutat pada pengosongan kolom agama kini telah bergeser pada isu penghapusan kolom agama di KTP. Hal ini pun menuai banyak respons dari masyarakat.
Petugas melakukan perekaman data sidik jari saat pembuatan KTP elektronik bagi siswa di SMK Negeri 2 Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (3/11/2022). Foto: Nova Wahyudi/ANTARA FOTO
Ada pihak yang mendukung penghapusan kolom agama dalam KTP dengan dalih kebebasan beragama yang dipelopori oleh pegiat hak asasi manusia. Namun, di sisi lain ada juga pihak yang justru menentang keras penghapusan kolom agama seperti organisasi Islam dengan alasan bahwa negara Indonesia adalah negara yang berketuhanan sehingga kolom agama adalah urgent untuk tetap diadakan sebagai salah satu konsekuensi logis dari negara yang berketuhanan itu. Mengingat peliknya permasalahan mengenai kolom agama di KTP, hal ini tentunya menarik dibahas.
ADVERTISEMENT
Terlebih lagi isu ini tidak hanya berbicara mengenai masalah administrasi saja, melainkan di dalamnya terdapat pula masalah kebebasan beragama dan yuridis sekaligus. Sehingga membahasnya dari sudut pro dan kontra merupakan suatu hal yang arif dan bijak untuk mengetahui secara holistik permasalahan ini.
Pengukuhan keberadaan agama yang diakui negara dilakukan melalui Instruksi Presiden Nomor 1470 Tahun 1978 yang ditegaskan Surat Edaran Mendagri No 477/1978 yang intinya hanya mengakui lima agama: Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, dan Buddha. Bagaimana dengan agama lainnya, seperti Ahmadiyah, Bahai, Yahudi, dan semua aliran kepercayaan? Di sinilah diskriminasi itu bermula. Orang Tionghoa sejak 1967 dilarang melaksanakan upacara agama mereka secara terbuka. Lebih jauh dalam KTP tak boleh ada agama Konghucu dan orang Tionghoa harus menggunakan nama Indonesia, bukan nama Tionghoa. Mereka kehilangan hak-hak sipil mereka.
ADVERTISEMENT
Bayangkan, bagaimana nasib penganut agama dan kepercayaan lainnya?
Selanjutnya, dalam Tap MPR No II/MPR/1998 dikatakan bahwa penganut kepercayaan tak boleh mengarah pada pembentukan agama baru dan sedapat mungkin diarahkan bergabung dengan salah satu agama yang diakui negara.
Tiada tempat buat agama lain dan kepercayaan. Baru pada tahun 2000, 35 tahun kemudian, ketika Gus Dur menjadi Presiden, keluar Keppres No 6/2000 yang mengatakan bahwa upacara keagamaan penganut Konghucu bisa dilaksanakan secara terbuka tanpa memerlukan izin. Inilah salah satu produk reformasi yang penting. Sepertinya iklim kebebasan beragama sudah mulai tumbuh dan Presiden Gus Dur yang sangat pro kemajemukan memang memberi angin segar untuk tumbuhnya masyarakat yang pluralistis.
Namun, dalam praktik, iklim masyarakat yang pluralistis itu tidak sepenuhnya mulus. Dalam kartu identitas penduduk atau KTP, misalnya, dalam kolom agama, pemilik KTP tersebut harus mencantumkan agamanya dan agama tersebut harus salah satu dari agama yang diakui. Seorang penganut agama Bahai mengeluhkan bahwa dia tak boleh mencantumkan agama Bahai di kolom agama di KTP-nya.
ADVERTISEMENT
Dia harus menulis salah satu agama yang diakui oleh negara untuk memperoleh KTP itu. Semua ini mempunyai dampak turunan: kesulitan mengurus dan mencatatkan perkawinan, kesulitan mendapatkan akta kelahiran anak, memperoleh pekerjaan, dan sebagainya. Diskriminasi disahkan. Akibatnya, banyak orang yang memilih tidak mempunyai KTP. Lebih jauh, dalam masyarakat mereka, yang bukan berasal dari agama yang diakui akan dituduh sebagai tak beragama atau mengikuti aliran agama sesat.
Sementara itu, keberadaan kolom agama menurut Imam Besar Masjid Istiqlal Prof. KH. Nasaruddin Umar bukanlah dimaksudkan untuk mendiskriminasi bagi agama-agama diluar dari 6 yang telah diakui, akan tetapi kolom agama berfungsi sebagai cara untuk memaksimalkan pelayanan dari pemerintah itu sendiri. Tanpa adanya kolom agama di KTP dipastikan dapat terjadi kekacauan dalam tata administrasi yang berhubungan dengan masalah agama, sedangkan dengan adanya kolom agama di KTP akan membuat seseorang mudah diidentifikasi agamanya sehingga perlakuan administrasi yang diberlakukan dapat disesuaikan dengan agama atau kepercayaan yang seseorang peluk.
Ilustrasi KTP. Foto: Shutterstock
Salah satu contohnya dalam hal melaksanakan perkawinan, berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan yang sah adalah yang dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing, hal ini sekaligus menegaskan bahwa pada saat ini perkawinan beda agama tidaklah diperbolehkan. Ketiadaan kolom agama di KTP akan menyebabkan seseorang tidak mengetahui agama pasangannya dan apabila ternyata pada saat telah menikah kondisi faktualnya berbeda agama hal itu mengakibatkan perkawinannya menurut yuridis dan agama menjadi tidak sah karena telah terjadi perkawinan beda agama, lebih jauh lagi anak yang lahir dari perkawinan tersebut bukanlah sebagai anak yang sah.
ADVERTISEMENT
Contoh lainnya adalah terkait pengambilan sumpah di pengadilan yang disesuaikan dengan agama yang dipeluk oleh seseorang. Apabila tidak ada bukti otentik berupa kolom agama dalam KTP, hal ini tentunya mempersulit hakim untuk mengetahui agama seseorang yang faktual dan apabila orang tersebut memanfaatkan situasi ini dengan disumpah bukan dengan agama yang sejatinya ia yakini, itu artinya ia tidak memiliki keterikatan vertikal dengan tuhannya dalam bersaksi, lebih jauh lagi hal ini membuka peluang dirinya untuk membuat sumpah palsu di pengadilan karena memiliki hak ingkar.
Pembatasan negara terhadap jumlah agama di Indonesia dipandang perlu didukung untuk menghindari munculnya agama baru yang tidak memenuhi persyaratan sebagai agama. Tokoh Nahdlatul Ulama di Jombang, Israfil mengemukakan empat kriteria yang perlu dipenuhi jika suatu ajaran disebut agama, yaitu: kitab suci, nabi, pengikut, dan ajarannya harus universal. Jika empat ini tidak bisa dipenuhi, maka ajaran tersebut tidak bisa disebut dengan agama.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, banyak kasus ketika penganut agama yang tak diakui negara mengalami intimidasi, teror, dan kesulitan menjalankan agama mereka. Malah, tak sedikit yang dibunuh dan diusir. Ihwal kolom agama yang harus diisi dengan agama yang diakui hanya satu soal, tetapi ini soal yang sangat mengganggu dan menghambat banyak orang yang mencari pekerjaan, mendapatkan pelayanan pemerintah, dan sebagainya. UU No 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan sepertinya memberi jalan keluar dengan membolehkan kolom agama tak diisi dan mereka tetap bisa memperoleh KTP dan data mereka dicatat dalam database kependudukan.
Harus diakui bahwa pencantuman kolom agama ini sangat mungkin menjadi sumber diskriminasi, dan sebagai negara yang mengakui semua warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum, merupakan kewajiban kita menghilangkan semua peluang terjadinya diskriminasi. Seandainya secara statistik negara memerlukan data mengenai jumlah penganut setiap agama, data itu bisa diperoleh melalui berbagai survei dan sensus yang secara berkala dilaksanakan. Kebanyakan negara di dunia, termasuk negara tetangga dan negara Timur Tengah, tidak punya kolom agama dalam KTP mereka. Kebijakan tentang KTP tanpa kolom agama bukanlah sesuatu yang ahistoris.
ADVERTISEMENT