Konten dari Pengguna

Diri Sendiri kok Dibenci, sih?

Syahidah Asma' A
Mahasiswa S1 Psikologi Universitas Syiah Kuala
9 April 2025 12:52 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahidah Asma' A tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi orang bingung dan lelah (sumber : Pexels - cottonbro studio https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-lelah-capai-letih-6951511/)
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi orang bingung dan lelah (sumber : Pexels - cottonbro studio https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-lelah-capai-letih-6951511/)
ADVERTISEMENT
Konflik Intrapsikis oleh Karen Horney
Syahidah Asma’ Amanina
Kita semua pasti pernah dijatuhkan atau direndahkan oleh orang lain, bukan? Tak bisa dipungkiri bahwa dianggap tidak cukup baik karena tak sesuai standar, dikritik habis-habisan, atau terus disalahkan atas satu kesalahan kecil tentu terasa menyakitkan. Tapi bagaimana jika yang melakukan itu semua justru diri kita sendiri? Bagaimana jika yang paling keras menekan dan menyakiti kita selama ini adalah diri kita sendiri?
ADVERTISEMENT
Nah, fenomena ini dijelaskan oleh Karen Horney, seorang tokoh psikologi, dalam teorinya tentang konflik intrapsikis—khususnya tentang bagaimana kebencian terhadap diri sendiri dapat muncul akibat kesenjangan antara diri ideal dan diri nyata.
Bagaimana itu bisa terjadi? Karen Horney (sebagaimana dikutip dalam Feist & Feist, 2009) menjelaskan bahwa konflik ini awalnya muncul dari pengalaman pribadi seseorang dengan orang lain—dikritik atau direndahkan misalnya. Jika seseorang mampu mengatasi pengalaman tersebut, hal itu tidak akan menjadi masalah. Namun, bagi mereka yang tidak mampu, pengalaman tersebut akan diinternalisasi menjadi kepercayaan negatif, seperti merasa bahwa mereka tidak cukup baik.
Dari sinilah mereka mulai membangun gambaran ideal tentang diri mereka, sebuah sosok sempurna yang sesuai dengan standar yang mereka tentukan sendiri, dan berusaha mencapainya. Ibarat memahat sebuah patung yang sempurna lantas kemudian berusaha menjadi sesempurna patung tersebut, mereka merasa harus bisa dalam segala hal, bisa menyukai dan disukai semua orang dan mengetahui semua hal (Horney, sebagaimana dikutip dalam Ryckman, 2008). Standar ini menjadi berbahaya bagi sebagian besar orang, karena standar yang mereka ciptakan terlalu tinggi dan sangat sulit untuk dicapai. Akhirnya, mereka terjebak dalam pengejaran yang mustahil, yang hanya akan menenggelamkan mereka dalam perasaan negatif terhadap diri sendiri (Horney, sebagaimana dikutip dalam Feist & Feist, 2009).
ADVERTISEMENT
Ketika standar itu sudah mengakar dalam diri seseorang, mereka cenderung ‘lupa’ siapa diri mereka sebenarnya. Mereka akan melihat diri mereka sebagai kegagalan karena diri berbeda dengan diri ideal yang mereka bangun. Akibatnya, mereka terus menyalahkan diri sendiri, misalnya dengan terus berpikir, “seharusnya kamu mendapat nilai sempurna” atau “kamu tidak seharusnya gagal dalam seleksi ini”. Mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi standar yang sudah mereka tentukan.
Horney (sebagaimana dikutip dalam Feist & Feist, 2009) menyebut fenomena ini sebagai tyranny of the should, yaitu ketika seseorang terus-menerus menekan dirinya untuk menjadi seperti gambaran ideal akan diri mereka yang sempurna. Bahkan, beberapa dari individu yang pernah mengalami penghinaan di masa lalu bisa saja mengejar dan menggunakan keberhasilan mereka untuk ‘membalas dendam’ dengan membuktikan bahwa mereka lebih unggul dari orang-orang yang pernah merendahkan mereka.
ADVERTISEMENT
Namun, apa yang terjadi jika mereka gagal mencapai standar tersebut? Orang pada umumnya mungkin akan merasa sedih sebentar, lalu kembali bangkit dan menjadikan kegagalan sebelumnya sebagai pembelajaran. Tetapi, mereka yang terjebak dalam pengejaran diri ideal akan merendahkan atau bahkan membenci diri mereka sendiri. Inilah yang disebut Horney sebagai self-hatred (Feist & Feist, 2009), yang merupakan salah satu akibat dari konflik intrapsikis. Mereka akan menyalahkan diri sendiri atas kesalahan sekecil apapun yang mereka lakukan, merasa tak cukup baik walaupun sudah berusaha semaksimal mungkin, dan dalam beberapa kasus dapat berujung pada perilaku merusak diri sendiri, baik secara fisik maupun emosional.
Semakin besar kesenjangan antara diri ideal dengan diri yang sebenarnya, maka akan semakin kuat rasa benci mereka terhadap diri mereka sendiri. Akibatnya, mereka merasa tidak cukup baik, tidak layak akan sesuatu atau tidak berhak bahagia, karena mereka gagal memenuhi tuntutan dari diri ideal yang mereka bangun (Horney, sebagaimana dikutip dalam Feist & Feist, 2009).
ADVERTISEMENT
Beberapa orang yang mengalami konflik ini akan terus menekan dirinya, bahkan setelah mencapai kesuksesan, karena merasa yang dicapainya belum cukup baik. Sebagian dari mereka menganggap keberhasilan yang mereka raih hanyalah kebetulan atau keberuntungan semata, bahkan merasa bahwa dirinya hanya berpura-pura kompeten. Dalam beberapa kasus, hal ini dapat mendorong mereka untuk mengambil keputusan ekstrem atau melakukan tindakan berbahaya tanpa mempertimbangkan keselamatan diri, seperti menyeberang jalan tanpa memperhatikan lalu lintas atau menyakiti diri sendiri (Horney, sebagaimana dikutip dalam Feist & Feist, 2009).
Lalu, bagaimana caranya ‘menyembuhkan’ hal ini? Langkah pertama adalah mengenali akar masalah yang membuat seseorang membangun diri ideal mereka—yang pada akhirnya justru memicu kebencian terhadap diri sendiri. Setelah itu, mencari bantuan profesional dan menjalani terapi dapat sangat membantu dalam proses pemulihan (Horney, sebagaimana dikutip dalam Ryckman, 2008).
ADVERTISEMENT
Konflik batin ini mungkin tidak akan sepenuhnya terpecahkan, karena keinginan untuk menjadi sosok ideal dan sempurna akan selalu ada dalam diri siapa pun. Namun, setiap orang perlu belajar menerima dirinya apa adanya—bukan diukur dari seberapa pintar atau sempurnanya mereka, melainkan sebagai manusia yang sedang belajar dan berproses, memiliki kekurangan dan terkadang mengalami kegagalan (Horney, sebagaimana dikutip dalam Ryckman, 2008). Karena pada akhirnya, mengejar kesempurnaan tak ubahnya seperti memburu ilusi di padang pasir—tampak nyata, tapi tak pernah bisa digapai. Sementara itu, menerima diri sendiri adalah perjalanan panjang yang membutuhkan banyak kesabaran. Meski tidak mudah, dengan lebih menghargai diri dan tidak terlalu keras pada diri sendiri, kita bisa terus berkembang tanpa harus terjebak dalam tuntutan yang tidak masuk akal serta menyadari bahwa setiap yang kita lalui adalah bagian dari proses menjadi pribadi yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
***
Referensi
Feist, J., & Feist, G. J. (2009). Theories of personality (7th ed.). McGraw-Hill.
Ryckman, R. M. (2008). Theories of personality (9th ed.). Thomson Wadsworth.