Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kajang Ammatoa, Suku yang Unik di Sulawesi Selatan.
17 Desember 2022 17:19 WIB
Tulisan dari Syahidatul Amalia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di Sulawesi Selatan tepatnya di Kabupaten Bulukumba, terdapat kawasan wisata yang cukup menarik perhatian wisatawan, yakni kawasan adat Tanatoa. Kawasan ini dihuni oleh salah satu suku yang paling ditakuti di Sulawesi Selatan, yakni Suku Kajang Ammatoa. Kajang terbagi menjadi dua, yaitu Kajang dalam atau yang biasa disebut “Ri lalang Embayya (Tanah Kamase-Masea)” dan Kajang luar atau yang biasa disebut “Ipantarang Embayya (Tanah Kausayya)”.
ADVERTISEMENT
Kajang luar atau “Ipantarang Embayya (Tanah Kausayya)” merupakan masyarakat yang tinggal di sekitar suku Kajang dan mereka menerima modernisasi. Dengan kata lain mereka hidup dalam kemajuan teknologi seperti listrik, internet, dan lainnya. Berbeda dengan Kajang dalam atau “Ri Lalang Embayya (Tanah Kamase-Masea)” yang tidak menerima kemajuan teknologi. Ammatoa (kepala suku Kajang) berkata “Di Kajang tala kulle modern” artinya di Kajang tidak bisa modern seperti masyarakat pada umumnya. Untuk berkunjung ke kawasan ini, wisatawan harus menempuh jarak sekitar 270 km dari kota Makassar dan memerlukan waktu kurang lebih 5 jam.
Keunikan dari adat Kajang Ammatoa yaitu, wisatawan yang akan masuk ke kawasan mereka harus melepas alas kaki dan tidak membawa kendaraan serta alat elektronik seperti kamera, handphone dan sebagainya dan wajib menggunakan pakaian hitam atau putih. Hitam merupakan warna adat yang kental akan kesakralan dan putih menunjukkan kesucian. Warna hitam mempunyai makna bagi masyarakat Ammatoa sebagai bentuk persamaan dalam segala hal, seperti persamaan derajat dan kesederhanaan. Berbeda dengan masyarakat yang memakai baju putih. Mereka dianggap sebagai orang yang berilmu tinggi. Memakai pakaian selain warna hitam dan putih sangat tidak diperkenankan terutama warna merah. Sebab warna tersebut dianggap sebagai penentangan. Jika melanggar aturan tersebut, maka akan dikenakan denda sebanyak 2.000.000 rupiah. Ammatoa berkata: “Ri Kajang andekki ma’ ring amminahang ri zaman, iaji kullea antama’ ammake pi baju le’leng areka baju pute, na tala ma’ ringki ammake sandala antama”. Artinya “Di Kajang itu tidak boleh modern dan yang bisa masuk di Kajang hanya baju hitam dan putih, serta tidak memakai sandal”.
ADVERTISEMENT
Di Kajang Ammatoa tidak menggunakan listrik sebagai alat penerang. Mereka menggunakan sulo/pelita yang terbuat dari sumbu dan minyak tanah. Sumber airnya berasal dari mata air yang diambil dengan menggunakan bambu. Rumah-rumah yang ada di dalam kawasan adat Ammatoa itu semuanya menghadap ke arah barat. Arah barat dianggap sebagai simbol dari nenek moyang mereka berada. Selain itu, rumah-rumah yang ada di suku Kajang memiliki bentuk yang serupa, seluruhnya terdiri dari 16 tiang dan berdinding kayu, serta atap rumah yang terbuat dari daun rumbia yang dianyam.
Ada 3 aturan untuk perempuan dan 2 aturan untuk laki-laki yang disakralkan Ammatoa. Untuk perempuan di antara : sanggul, baju, celana dalam serta sarung hitam. Jika wisatawan atau pendatang hendak berkumjung, maka boleh memakai jilbab hitam untuk masuk ke dalam kawasan. Tetapi jika anak atau keturunan dan orang yang tinggal di kawasan Adat Ammatoa tidak di bolehkan memakai jilbab. Adapun aturan untuk laki-laki ialah memakai baju dan celana. Kesakralan ini sudah termasuk dengan menutup aurat menurut masyarakat setempat. Jika anak, keluarga, ataupun kerabat terdekat Ammatoa melakukan pelanggaran maka Ammatoa tidak segan untuk memberikan hukuman apapun itu. Karena Ammatoa harus bersikap adil.
ADVERTISEMENT
Walaupun masyarakat Kajang Ammatoa menjunjung tinggi adat istiadat nenek moyang, mereka sendiri tidak melarang anak atau keluarganya untuk bersekolah dan berkuliah sampai ke luar negeri. Namun, ketika kembali ke kampung halaman, maka mereka harus melaksanakan aturan dan tradisi yang ada.
Masyarakat suku Kajang juga terampil dalam bertenun. Hasil tenun itu dijadikan sebagai sumber pendapatan. Selain itu sumber penghasilan mereka juga dari hasil bertani dan berkebun yang kemudian dijual di pasar tradisional di luar kawasan suku Kajang.
Suku Kajang Ammatoa juga dikenal sangat menjaga kelestarian hutan. Hutan diserahkan kembali kepada pemangku adat untuk di kelola. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan hutan adat Kajang Ammatoa seluas 314 hektare. Masyarakat Kajang dalam mengelolah sumber daya hutan tidak terlepas dari pasang (amanah). Masyarakat Kajang memahami bahwa dunia yang diciptakan oleh Turie’ A’ra’na (Tuhan) beserta isinya haruslah dijaga, terutama hutan. Salah satu pasal dari pasang atau amanah tersebut berbunyi : “Anjo boronga anre nakulle nipanraki, punna nipanraki boronga, nupanraki kalennu” artinya, hutan tidak boleh dirusak, kalau kamu merusak hutan, sama halnya kamu merusak dirimu sendiri. Selain itu ada juga pasal lain yang berbunyi : “Anjo natahang ri boronga karana pasang, rettopi tanayya rettoi ada” artinya, hutan bisa lestari karena dijaga oleh adat, jika bumi hancur, maka hancur pula adat Ammatoa.
ADVERTISEMENT