Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.7
26 Ramadhan 1446 HRabu, 26 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
AIED: Akal-Akalan Teknologi dalam Pendidikan?
24 Maret 2025 11:40 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Syahiduz Zaman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Kita sedang dibombardir oleh istilah-istilah baru yang tampak canggih tapi sering kosong isi. Salah satunya: AIED, Artificial Intelligence in Education. Di telinga kita, istilah ini mungkin masih asing. Tapi di forum-forum global, ini sudah menjadi mantra baru. Katanya, ini masa depan pendidikan. Tapi tunggu dulu, benarkah demikian? Atau ini hanya kosmetik digital untuk menutupi masalah lama yang tak kunjung selesai?
ADVERTISEMENT
AIED menjanjikan efisiensi, personalisasi, bahkan "pembelajaran yang disesuaikan dengan keunikan siswa." Tampak mulia. Tapi jika kita perhatikan dengan nalar yang sehat, bukankah semua janji itu sudah lama didaur ulang dari jargon-jargon sebelumnya? Dulu kita heboh dengan E-learning, lalu LMS, lalu Big Data. Sekarang AI. Selalu ada "alat baru" yang katanya akan menyelamatkan dunia pendidikan dari keterpurukan. Tapi mengapa hasilnya stagnan, bahkan sering menyisakan lebih banyak pertanyaan ketimbang solusi?
Pertama-tama, mari kita bongkar ilusi ini: AI tidak netral. AI dalam pendidikan bukan sekadar program cerdas yang membantu guru. Ia adalah produk sosial, politik, dan ekonomi. Ia dirancang, didanai, dan didistribusikan oleh aktor-aktor yang punya kepentingan. Kita bicara tentang investor, perusahaan edtech, dan lembaga donor internasional. Mereka bukan orang jahat, tapi mereka juga bukan malaikat penyelamat pendidikan. Mereka punya target pasar, punya model bisnis, dan punya logika untung-rugi.
Pertanyaannya: mengapa pendidikan—yang seharusnya menjadi ruang otonom untuk membebaskan pikiran—malah dipasrahkan pada sistem yang logikanya berasal dari dunia korporat? Bukankah ada ironi di situ? Kita bicara tentang pendidikan karakter, tapi menyerahkannya pada mesin yang bahkan tak punya moral.
ADVERTISEMENT
Kedua, AIED dibangun di atas data. Banyak data. Anak-anak kita direkam, dianalisis, dan dipetakan perilakunya demi "pemahaman mendalam". Tapi siapa yang memegang data itu? Untuk apa data itu digunakan? Dan yang lebih penting: apakah siswa tahu bahwa mereka sedang menjadi objek algoritma? Di sinilah letak masalah etis yang besar. Anak-anak bukan hanya subjek didik, tapi juga sumber data. Dalam sistem ini, mereka tidak hanya belajar, tapi sekaligus "dipelajari" oleh mesin. Dalam diam, mereka menjadi komoditas.
Dan ketika muncul sistem yang bisa "memprediksi" kemampuan siswa, kita pun tergoda untuk percaya pada ilusi objektivitas. Tapi prediksi bukan kebenaran. Prediksi adalah proyeksi, dan proyeksi bisa bias. Kita tahu bahwa algoritma bisa memperkuat ketimpangan, bukan menghapusnya. Maka jangan heran jika AIED justru berisiko memperdalam diskriminasi yang sudah ada. Anak dari keluarga kaya, yang punya akses pada gawai dan jaringan stabil, akan tampil lebih "cerdas" di mata mesin. Yang dari desa dengan sinyal tersendat-sendat akan tampak "tertinggal". Bukan karena kemampuan, tapi karena sistemnya cacat sejak lahir.
ADVERTISEMENT
Ketiga, AI dalam pendidikan (AIED) juga sedang merayap ke dalam kebijakan. Pemerintah-pemerintah mulai tergoda menjadikannya bagian dari "reformasi digital". Tapi teknologi tidak akan pernah netral ketika masuk ke ruang publik. Ia akan mengabdi pada ideologi yang dominan. Dalam banyak kasus, AI digunakan untuk mempercepat sistem akuntabilitas berbasis kinerja. Artinya, guru dan siswa dinilai lewat angka, grafik, dan skor yang dihitung mesin. Dimensi manusiawi pendidikan—relasi, konteks, empati—perlahan tergeser.
Apakah kita sedang menciptakan sistem pendidikan yang lebih baik, atau sekadar lebih rapi secara administratif? Apakah kita sedang mendidik manusia, atau hanya mengelola populasi? Ini bukan pertanyaan retoris. Ini pertanyaan mendesak.
Kita tidak anti teknologi. Justru karena kita peduli pada pendidikan, kita perlu skeptis. Kita perlu bertanya: untuk siapa teknologi ini? Siapa yang diuntungkan? Dan apakah benar teknologi ini menjawab kebutuhan guru dan siswa, atau hanya memenuhi ambisi industri?
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, sebelum kita ikut-ikutan mengagung-agungkan AIED, ada baiknya kita duduk sejenak dan berpikir. Apakah kita benar-benar paham apa itu AIED, atau hanya terpesona oleh bunyinya yang kebarat-baratan? Apakah kita siap secara infrastruktur, etika, dan kapasitas manusia? Atau ini hanya jadi proyek uji coba, yang hasilnya akan ditanggung oleh generasi muda kita?
Sudah terlalu lama pendidikan kita jadi ladang eksperimen. Kurikulum berubah seperti ganti musim. Kini giliran AIED yang ditawarkan. Tapi ingat, AI bukan guru. Ia tidak tahu kapan harus diam, kapan harus mendengar. Ia tidak bisa menatap mata murid yang bingung, atau menangkap kecemasan yang tak terucap. Guru bisa. Dan selama pendidikan masih menyangkut manusia, maka tidak ada mesin yang bisa menggantikan sentuhan itu.
ADVERTISEMENT