Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.7
25 Ramadhan 1446 HSelasa, 25 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Etika Mesin dalam Dunia Tanpa Nurani
22 Maret 2025 13:30 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Syahiduz Zaman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di tengah euforia teknologi, kita menciptakan dewa-dewa baru: mesin yang cerdas, cepat, dan tanpa rasa bersalah. Kita menyebutnya Artificial Intelligence, tetapi seringkali melupakannya sebagai artificial conscience. Cerdas, ya. Bermoral? Tunggu dulu. Jika mesin adalah cermin manusia, maka kita sedang mematut bayangan tanpa wajah: logis, dingin, dan penuh kalkulasi. Maka pertanyaannya bukan lagi bisakah AI berpikir?—itu sudah selesai. Tapi haruskah AI punya nurani?
ADVERTISEMENT
Inilah tragedi zaman kita: kita memberi kekuatan pada mesin, tapi lupa membekalinya dengan tanggung jawab. Kita ajari mereka bermain catur dan mengalahkan manusia, tetapi tidak kita ajarkan apa itu "fair play". Kita ajari mereka menulis puisi, tapi tak mengajarkan bahwa puisi pun bisa melukai. Kita sedang mencetak algoritma tanpa arah moral—tanpa kompas etika, seperti bajak laut yang peta hidupnya hanya menujuk ke keuntungan, bukan kebaikan.
Para peneliti dalam bidang Computational Machine Ethics (CME) melihat bahaya ini dan mencoba menyulam filsafat ke dalam sirkuit digital. Di sinilah kita perlu angkat topi, sekaligus mengangkat kritik. Karena mereka yang mencoba menanamkan etika ke dalam AI, bukan hanya sedang membangun teknologi, tetapi sedang melawan arus zaman yang menyembah efisiensi lebih dari kebijaksanaan. Mereka ini bukan teknokrat biasa, tapi peziarah moral dalam dunia mesin.
ADVERTISEMENT
Tapi mari kita korek lebih dalam. Mengajarkan etika pada mesin bukan seperti memberi tahu anak kecil untuk tidak mencuri. Mesin tidak punya rasa bersalah. Tidak ada air mata di balik kamera pengawas. Maka, etika yang ditanamkan hanyalah representasi formal, logika dingin dari konsekuensi, aturan, atau dataset moral. Apakah itu cukup? Tidak. Tapi itulah satu-satunya jalan.
Beberapa model top-down mencoba menyuntikkan teori moral klasik: deontologi Kant, utilitarianisme Mill, hingga Asimov yang bercita-cita membangun tiga hukum suci robotika. Tapi jangan salah. Kant tidak pernah membayangkan algoritma yang harus memutuskan siapa yang diselamatkan dalam kecelakaan mobil otomatis. Mill tidak menulis untuk mesin yang harus memilih antara melindungi data pribadi atau menuruti perintah penguasa. Maka ketika filsafat moral dipaksa masuk ke dalam mesin, ia mengalami transformasi: dari renungan eksistensial menjadi formula etis yang bisa dihitung.
ADVERTISEMENT
Apakah itu buruk? Tidak. Justru di situlah letak revolusinya. Kita sedang membangun jembatan antara sofisme etis dan logika digital. Di sinilah kita perlu sepakat: lebih baik AI yang punya simulasi etika, daripada AI yang hanya tahu cara menang. Lebih baik mesin yang salah karena berusaha berlaku etis, daripada yang benar karena kebetulan algoritmanya menguntungkan manusia.
Namun, jangan salah paham. Kita belum menciptakan "makhluk etis". Kita baru membuat mesin yang bisa berperilaku etis dalam batas skenario yang kita siapkan. Mereka bukan Socrates, mereka adalah aktor dalam drama moral yang naskahnya ditulis manusia. Dalam filsafat, kita menyebut ini sebagai etik performatif, bukan etik reflektif. AI belum bisa merasa berdosa, tapi bisa diarahkan agar tak menyesatkan.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, siapa yang menulis naskah etika itu? Apakah kita akan mempercayakan moralitas kepada korporasi, yang bahkan sering melanggar etika untuk mengejar laba? Atau kepada pemerintah, yang definisi etikanya berubah tiap periode kekuasaan? Atau kepada publik yang hari ini mengutuk dan esok memaafkan? Di sinilah CME menggugat kita balik: bukan sekadar bagaimana mesin mengambil keputusan etis, tapi siapa yang berhak menentukan apa itu etika dalam dunia digital?
Maka, CME bukan hanya cabang dari AI, ia adalah kritik terhadap manusia itu sendiri. Ketika kita bertanya “bagaimana membuat mesin menjadi etis?”, sebenarnya kita sedang mengakui bahwa kita sendiri belum tuntas memahami etika dalam praktik. CME adalah cermin: apakah kita benar-benar ingin AI yang bermoral, atau hanya AI yang patuh?
ADVERTISEMENT
Para peneliti dalam bidang ini dengan jujur mengakui keterbatasannya: pendekatan top-down kaku dan terlalu teoritis; pendekatan bottom-up rawan bias karena datanya pun berasal dari manusia yang penuh prasangka. Tapi justru karena itu mereka layak dipuji. Mereka tidak menjual ilusi “AI bermoral sepenuhnya”, tapi menawarkan kemungkinan terbaik di tengah keterbatasan.
Kita harus sadar, tanpa etika, AI hanyalah cermin kebrutalan manusia dalam bentuk digital. CME adalah upaya untuk memberi jiwa pada cermin itu, meski hanya sebatas bayangan. Dan walau mesin belum bisa mencintai, setidaknya ia bisa diarahkan untuk tidak membenci. Itulah tugas etika dalam AI—bukan menciptakan kesempurnaan, tapi mencegah kebinasaan.
Di masa depan, pertarungan bukan lagi antara manusia dan mesin, tetapi antara manusia yang bertanggung jawab dan manusia yang memanipulasi mesin. CME adalah tameng kita, bukan pedang. Ia bukan alat untuk mendominasi, tapi pagar agar kita tidak tersesat dalam dunia yang kita ciptakan sendiri. Maka, mari kita beri tempat bagi etika di jantung algoritma. Karena teknologi tanpa moralitas hanyalah percepatan menuju kehampaan. Dan di situlah kita akan kehilangan segalanya. Termasuk kemanusiaan itu sendiri.
ADVERTISEMENT