Konten dari Pengguna

Menghidupkan Kembali Sistem NEM: Langkah Mundur atau Maju?

Syahiduz Zaman
Dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
27 Juni 2024 8:52 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahiduz Zaman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana ujian akhir semester di salah satu SMK di Jawa Tengah. (Foto:  ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra via Kumparan.com)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana ujian akhir semester di salah satu SMK di Jawa Tengah. (Foto: ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra via Kumparan.com)
ADVERTISEMENT
Hasil polling yang dipublikasikan oleh kumparanNEWS (19/06/2024) menunjukkan bahwa 79,34% responden mendukung penerapan kembali sistem Nilai Ebtanas Murni (NEM) dalam proses penerimaan siswa baru, sementara 20,66% lainnya lebih memilih sistem zonasi yang saat ini berlaku. Polling ini diikuti 1600 lebih pemilih. Angka ini menunjukkan betapa kuatnya dukungan masyarakat terhadap kembalinya sistem NEM. Namun, apa sebenarnya yang mendasari opini masyarakat ini, dan apakah penerapan kembali NEM merupakan solusi terbaik bagi sistem pendidikan di Indonesia?
ADVERTISEMENT
Sistem NEM adalah sistem penilaian yang digunakan di Indonesia sebelum digantikan oleh sistem zonasi pada tahun 2017. NEM berfokus pada hasil ujian akhir yang menjadi acuan utama dalam menentukan kelulusan dan penerimaan siswa di jenjang pendidikan berikutnya. Sistem ini dianggap lebih objektif karena menilai berdasarkan kemampuan akademis siswa secara individual tanpa mempertimbangkan faktor lokasi tempat tinggal.
Sistem zonasi yang diperkenalkan pada tahun 2017 bertujuan untuk mengurangi kesenjangan pendidikan antar daerah dengan mendekatkan akses pendidikan kepada siswa. Namun, sistem ini telah menuai berbagai kritik. Banyak yang menganggap bahwa zonasi tidak efektif karena sering kali mengabaikan kualitas akademis siswa. Beberapa kasus menunjukkan siswa dengan kemampuan akademis tinggi tidak diterima di sekolah yang diinginkan hanya karena lokasi tempat tinggal mereka tidak berada dalam zona sekolah tersebut. Menurut data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tahun 2022 menunjukkan peningkatan keluhan masyarakat terhadap sistem zonasi sebanyak 25% dibandingkan tahun sebelumnya (Voi.id, 26/07/2023).
ADVERTISEMENT
Para pendukung NEM berpendapat bahwa sistem ini lebih adil karena menilai siswa berdasarkan kemampuan akademis mereka tanpa memandang latar belakang sosial atau geografis. Mereka juga mengeklaim bahwa NEM mendorong siswa untuk belajar lebih giat karena penilaian akhir mereka akan menentukan masa depan akademis mereka. Tokoh pendidikan seperti Prof. Dr. Sutrisno, Guru Besar di Universitas Negeri Jakarta, menyatakan bahwa kembalinya NEM dapat memotivasi siswa untuk mencapai prestasi akademis yang lebih tinggi dan mengurangi ketidakadilan yang timbul dari sistem zonasi.
Meskipun dukungan terhadap NEM cukup signifikan, tantangan tetap ada. Salah satu kekhawatiran utama adalah potensi meningkatnya tekanan pada siswa untuk berprestasi dalam ujian akhir, yang dapat berdampak negatif pada kesehatan mental mereka. Selain itu, adanya ketimpangan kualitas pendidikan antar sekolah di berbagai daerah juga menjadi isu penting. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kualitas pendidikan yang signifikan antara sekolah di kota besar dan di daerah terpencil.
ADVERTISEMENT
Polemik antara sistem NEM dan zonasi mencerminkan kebutuhan akan evaluasi mendalam terhadap kebijakan pendidikan di Indonesia. Dukungan mayoritas terhadap NEM menunjukkan ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem zonasi yang ada. Namun, sebelum mengambil langkah untuk mengembalikan NEM, penting untuk mempertimbangkan dampak jangka panjangnya dan memastikan bahwa perubahan kebijakan ini benar-benar dapat meningkatkan kualitas pendidikan secara merata di seluruh Indonesia.

Analisis Dampak dan Rekomendasi Kebijakan

Mengembalikan sistem NEM akan membawa berbagai implikasi, terutama pada aspek psikologis siswa. Tekanan untuk meraih nilai tinggi dalam ujian akhir dapat meningkatkan stres dan kecemasan di kalangan siswa. Studi yang dilakukan oleh Pusat Kajian Pendidikan dan Kebijakan (PKPK) pada tahun 2022 menemukan bahwa 30% siswa yang menghadapi ujian nasional menunjukkan gejala stres tinggi dibandingkan dengan 15% siswa yang mengikuti sistem zonasi. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan mekanisme pendukung yang dapat membantu siswa mengelola stres, seperti konseling dan program kesehatan mental di sekolah (Grahanusantara.co.id, 28/07/2023).
ADVERTISEMENT
Suasana ujian akhir semester di salah satu sekolah di Indonesia. (Foto: Pramata/Shutterstock)
Salah satu tujuan utama sistem zonasi adalah untuk menjamin kesetaraan akses pendidikan bagi semua siswa, terlepas dari latar belakang sosial-ekonomi mereka. Namun, kritik menyatakan bahwa zonasi tidak disertai dengan pemerataan kualitas pendidikan di seluruh sekolah. Data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2023 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan dalam kualitas guru dan fasilitas antara sekolah di perkotaan dan pedesaan. Jika NEM diterapkan kembali, langkah-langkah harus diambil untuk memastikan bahwa semua sekolah memiliki standar pendidikan yang setara agar siswa dari berbagai daerah memiliki peluang yang sama untuk berprestasi (Kumparan.com, 21/06/2024).
Mengembalikan NEM tanpa reformasi sistem evaluasi pendidikan akan menjadi langkah yang setengah hati. Sistem evaluasi harus dirancang untuk tidak hanya menilai aspek akademis tetapi juga mengukur kemampuan kritis, kreativitas, dan karakter siswa. Menurut laporan dari World Bank tahun 2021, negara-negara yang sukses dalam pendidikan mengadopsi pendekatan evaluasi holistik yang mencakup berbagai aspek kemampuan siswa. Indonesia bisa mengadopsi sistem serupa untuk memastikan bahwa NEM yang diusulkan kembali tidak hanya menekankan pada prestasi akademis tetapi juga pengembangan karakter dan keterampilan siswa.
ADVERTISEMENT

Rekomendasi Kebijakan

1. Peningkatan Kualitas Pendidikan di Daerah: Pemerintah perlu melakukan investasi besar-besaran untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerah-daerah tertinggal. Ini termasuk pelatihan bagi guru, peningkatan fasilitas sekolah, dan penyediaan sumber belajar yang memadai. Langkah ini akan memastikan bahwa semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk meraih nilai tinggi dalam ujian NEM.
2. Mekanisme Dukungan Psikologis: Implementasi program kesehatan mental di sekolah harus menjadi prioritas. Siswa perlu diberikan akses ke konseling dan program dukungan untuk membantu mereka mengelola stres dan kecemasan yang berkaitan dengan ujian akhir.
3. Evaluasi Holistik: Mengadopsi sistem evaluasi yang holistik dan komprehensif yang tidak hanya berfokus pada hasil ujian akhir tetapi juga mengukur keterampilan dan karakter siswa. Ini bisa mencakup penilaian proyek, partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler, dan evaluasi sikap serta nilai-nilai.
ADVERTISEMENT
4. Pengawasan dan Transparansi: Pengawasan yang ketat dan transparansi dalam pelaksanaan sistem NEM harus dijaga untuk menghindari penyimpangan dan manipulasi yang pernah terjadi dalam sistem sebelumnya. Ombudsman dan lembaga independen lainnya harus dilibatkan untuk memastikan bahwa proses berjalan sesuai aturan.

Kesimpulan

Mengembalikan sistem NEM memiliki potensi untuk meningkatkan motivasi belajar siswa dan mengurangi ketidakpuasan terhadap sistem zonasi. Namun, tanpa perbaikan mendasar dalam sistem pendidikan, terutama dalam pemerataan kualitas dan dukungan psikologis, kebijakan ini dapat menimbulkan masalah baru. Pemerintah harus berhati-hati dalam mengambil keputusan ini dan memastikan bahwa setiap langkah yang diambil benar-benar mengarah pada peningkatan kualitas pendidikan bagi semua siswa di Indonesia.