Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Refleksi Akhir Jabatan Presiden Jokowi - Perlukah Meminta Maaf?
4 Agustus 2024 13:58 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Syahiduz Zaman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah demokrasi yang matang, setiap langkah dan kebijakan seorang pemimpin selalu berada di bawah pengawasan ketat publik dan media. Baru-baru ini, sebuah polling yang dilakukan oleh KumparanNEWS mengungkapkan sebuah pertanyaan yang cukup provokatif: "Apakah masyarakat Indonesia memaafkan Jokowi atas kebijakannya selama menjabat?" Hasilnya menunjukkan angka yang signifikan dengan 68.85% responden mengatakan "Tidak," sementara hanya 31.15% yang berada di sisi afirmatif. Polling diikuti lebih dari 1900 responden selama 5 hari.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks politik dan ketatanegaraan, permintaan maaf oleh seorang presiden di akhir masa jabatannya menjadi sebuah simbolisme yang penuh makna. Di satu sisi, ini bisa dilihat sebagai bentuk tanggung jawab moral dan politis atas keputusan-keputusan yang mungkin tidak berjalan sesuai harapan. Namun, di sisi lain, ini juga dapat dipandang sebagai strategi untuk memulihkan citra atau bahkan sebagai langkah awal bagi transisi politik yang lebih mulus.
Presiden Joko Widodo, yang dikenal dengan kebijakan pro-infrastruktur dan pemberdayaan ekonomi lokal, tidak terlepas dari kritik dan kontroversi. Beberapa kebijakan besar yang telah diambil sering kali menimbulkan perdebatan, dari penanganan pandemi COVID-19 hingga kebijakan ekonomi yang berfokus pada investasi besar-besaran. Dalam hal ini, permintaan maaf mungkin dirasa perlu untuk mengakui bahwa tidak semua hasil dari kebijakan tersebut sesuai dengan yang diharapkan oleh sebagian masyarakat.
ADVERTISEMENT
Mengapa begitu banyak yang tidak memberikan maaf? Ini mungkin menunjukkan adanya ketidakpuasan yang lebih luas terhadap cara pemerintah menangani beberapa isu penting. Dalam negara demokratis, rasa tidak puas ini adalah bagian dari dinamika yang sehat, di mana masyarakat memiliki ruang untuk mengekspresikan pendapat dan kritik mereka.
Namun, skeptisisme muncul ketika kita mempertanyakan, apakah ini hanya sebatas ritual politik tanpa substansi? Permintaan maaf yang dilontarkan di penghujung jabatan bisa jadi hanya dianggap sebagai manuver politik yang bertujuan untuk memperhalus citra sebelum meninggalkan istana. Sebagai pemimpin negara, setiap tindakan tentu harus diukur dari dampak jangka panjangnya, bukan hanya dari respons instan masyarakat.
Lebih jauh, harus dipertanyakan juga apakah permintaan maaf ini akan diikuti dengan langkah konkret untuk memperbaiki kesalahan atau hanya sekedar kata-kata belaka. Kritikus mungkin berargumen bahwa tanpa adanya tindak lanjut yang nyata, permintaan maaf ini tidak lebih dari sebuah upaya pencitraan yang berusaha menutupi kekurangan tanpa berusaha memperbaikinya.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ketatanegaraan, seorang presiden memang tidak diwajibkan untuk meminta maaf sebelum meninggalkan jabatannya, tetapi melakukan introspeksi dan refleksi terhadap kebijakan yang telah diambil adalah hal yang etis. Ini menunjukkan bahwa presiden tersebut memandang serius tanggung jawab yang diemban dan menghargai prinsip akuntabilitas dalam kepemimpinan.
***
Dalam melihat permintaan maaf dari seorang presiden, kita harus kritis dalam menilai apakah ini merupakan langkah yang tulus atau sekedar taktik politis. Dalam kasus Jokowi, melihat dari respons yang cenderung negatif dari masyarakat, ada ruang yang cukup besar untuk merenungkan dan mempertimbangkan ulang pendekatan yang diambil selama ini, dan yang lebih penting lagi adalah bagaimana kita sebagai masyarakat memandang dan mengevaluasi kepemimpinan dalam berdemokrasi.
ADVERTISEMENT